Kara's POV
Aku terbangun dalam keadaan gamang, seperti tidak ingat kau berada dimana dan mengapa berada di sini.
Tempat ini terlihat begitu gelap dan dingin, hanya cahaya dari lilin-lilin kecil yang menempel pada permukaan dinding yang menerangi. Bau nya pun apak, seperti campuran besi berkarat, keringat dan bau hewan.
Aku bangkit duduk dan melihat kondisiku saat ini. Badanku lebam dan memar di sekujur tubuh, badanku menggigil kedinginan dan kehausan
"Ughh.." erangku. Punggungku begitu kaku dan sakit. Kulihat tempat yang kutiduri sebelumnya, sebuah ranjang dari besi.
Tempat apa ini?! teriakku dalam hati.
Air mata sudah berkumpul di pelupuk mataku saat kenyataan beberapa jam yang lalu kembali masuk ke ingatanku. Aku jatuh pingsan karena seseorang. Aku ingat lengannya yang sekeras kayu itu, dan aku juga ingat hantaman keras di kepalaku yang membuatku tak sadarkan diri.
Air mata tumpah tanpa aba-aba dari mataku. Aku menggedor pintu kayu yang mengurungku di ruangan ini sambil menangis dan meraung marah.
"KELUARKAN AKU DARI SINI, SETAN!" Aku begitu marah dan panik, tidak perduli dengan bahasa yang kupakai. Apa salahku sampai orang itu menculikku?!
'Sayang sekali gadis manis ini akan dieksekusi esok hari.'
Ucapan itu membuatku ngeri seketika. Siapa orang itu dan apa lagi salahku sampai aku akan di eksekusi?! Aku tidak mungkin dibunuh! Aku tidak mungkin mati di tempat laknat seperti ini!
"HEYY KELUARKAN AKU, ANJ*NG!!" Teriakku lagi di sela-sela tangisan. Tiba-tiba sebuah suara yang berat dan terdengar begitu keji tertawa di balik sana. Aku takut, tapi aku tidak akan berhenti berontak. Toh, aku tidak salah.
Tak lama, pintu dibuka. Seorang lelaki bertubuh besar dan berpenampilan seperti algojo menyengir di sana. "Kau tau bahwa kami memang anjing. Selain manis, kau juga pintar tenyata."
"SEMUA ORANG TAU KALAU KAU ITU ANJ*NG!" Teriakku marah. "Sekarang kel-"
Plakk.
Satu tamparan telak mengenai wajahku dan setelah itu pandanganku kembali buram..
****
Aku terikat di sebuah tiang di tengah sebuah hall bangunan. Sinar matahari yang hangat menyinari tubuhku. Rentetan luka terlihat semakin bertambah di badanku yang semakin kuyu.
Di kanan-kiriku terlihat banyak manusia yang juga luka-luka dan diikat di tiang sepertiku. Orang-orang tak lama kemudian berdatangan mengelilingi hall ini. Ada apa dengan mereka?! Mengapa mereka tidak membantuku?! Aku ingin berteriak, tapi suaraku habis dan tenggorokanku tercekat.
Di atas sana, aku dapat melihat langit yang biru cerah, menambah siksaanku dan juga ada sebuah balkon yang tepat menghadap kebawah. Di sana terdapat sebuah kursi megah yang mewah.
APA-APAAN INI?! teriak batinku lagi.
Tak lama, seorang algojo. Orang yang berbeda dari yang membuatku pingsan sebelumnya datang dari balik kerumunan. Sebuah kapak berada di genggamannya. Badannya besar dan penuh bekas sayatan. Baju besinya terlihat tidak nyaman dipakai tapi dapat menambah kesan menyeramkan di diri algojo itu. Tanpa sadar aku meneteskan air mata.
Aku tidak mengerti situasi macam apa ini dan siapa mereka. Lalu, dengan tiba-tiba saja aku akan dibunuh. GILA!
Algojo itu mendatangiku. Senyum licik terpampang di wajahnya. "Kita mulai dari dirimu, Sayang." desahnya di telingaku membuatku merinding seketika.
Aku menutup mataku ketika kurasakan sebuah permukaan setajam pisau menyabet pipiku perlahan. Perih.
"ARGGHHH!" teriakku kesakitan ketika darahku menetes sempurna. Air mataku menetes semakin deras. Mataku membelalak karena rasa sakit yang tak terkira dan saat itulah retinaku menangkap lelaki itu.
Dia duduk di kursi mewah dan megah di balkon tadi. Matanya juga lurus menatapku. Pandangan kami bertemu dan seketika itu pula ia meloncat dari atas sana.
MELONCAT?!
Tiba-tiba, seperti hantu, lelaki berbadan tegap itu berdiri di sebelahku. Matanya berwarna merah darah dan berkilat marah menatap algojo tadi.
Diraihnya kapak yang digenggam algojo dan seketika itu pula semuanya terjadi..
Kapak itu menembus kepala algojo yang barusan menyiletku.
Aku berteriak kaget dan panik melihat orang di depanku terkapar tak berdaya dan bersimbah darah, begitu pula orang-orang di sekeliling hall. Air mataku menetes dengan deras melihat pemandangan di depanku. Perutku terasa begitu mual saat ini.
Lelaki yang membunuh algojo barusan bervalik menatapku. Matanya seketika berubah menjadi biru laut yang menenangkan. Pandangannya sedikit membuatku rileks, tapi aku masih dilanda kepanikan yang begitu hebat.
Lelaki itu melepaskanku dari jeratan di tiang dengan mudahnya dan membawaku ke pelukannya dengan tiba-tiba. Aku merasa aman di lingkupan tangannya. Tangan besar yang dipenuhi otot yang alot dan tato serigala di lengan kirinya.
Pelukannya begitu posesif, tak ada lagi jarak di antara aku dan dia. Matanya nyalang menatap orang di kerumunan yang ribut berbisik dan terbengong.
Bibirnya yang tipis menempel di leherku sesekali. Aku begitu risih namun tak berdaya melepaskan diri di kondisi tubuhku yang seperti ini. Aku saja tak sanggup berdiri kalau lelaki ini tidak memegangi sekeliling pinggangku.
"MY MATE. MINE!!" teriak lelaki itu dengan suaranya yang tegas di depan sekumpulan orang-orang yang seketika terdiam karena kharismanya. Sekali lagi aku bergerak ingin terlepas dari cengkraman lelaki 'eight pack' tersebut.
"What the-" ucapku spontan terputus karena cengkraman sang lelaki yang semakin kuat di pinggangku sampai aku yakin tulangku bisa remuk kalau dia bergerak. Bagian pinggangku itu terasa ditekan oleh sesuatu yang begitu keras dari celana sang lelaki.
"Here the thing, honey," suaranya selembut angin yang menerpa leher jenjangku, lelaki berbadan kekar tadi semakin mendekatkan dirinya padaku yang sedang dia rengkuh. Mengantarkan gejolak aneh di perut.
"Kau milikku. Seutuhnya. Tak ada yang boleh menyentuhmu, selain... aku."
Dengan begitu kurasakan bibir tipis dan manisnya menekan keras bibirku.
.
.
.
wdyt gais? hahahh :))
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Alpha [ON HOLD]
WerewolfKaralina Wiratama, seorang dokter muda keturunan Indonesia-Yunani memutuskan untuk menjalankan tugasnya di East Wolf. Beberapa keanehan sering terjadi di sana sampai semua rahasia itu terkuak dan kenyataan bahwa ia harus menjadi pendamping Sean, san...