PS: Vote dan Komentar selalu dinanti-nanti dengan senang hati. Selamat membaca^^
.
.
.
.
Orangtuanya selalu mengelu-elukan Sehun. Sebagaimana istimewanya anak itu. Tumbuh tampan dan sangat pintar untuk anak seusianya. Jika dulu anak-anak suka liburan, Sehun malah sebaliknya. Mungkin juga karena tak ada yang istimewa di hari libur.
Selain berkumpul dengan adik perempuannya dan kedua orangtua yang selalu berdebat untuk sesuatu yang tidak jelas. Jika malam A ibunya pergi ke klub malam, maka di malam B ayahnya lah yang punya kesempatan untuk bepergian bebas.
Tapi biar bagaimanapun, bagi Sehun ayahnya lah yang paling menyayangi dirinya dan perhatian padanya dan juga sang adik. Meski ayahnya jarang ada di rumah, setidaknya ayahnya selalu mengajak dirinya untuk bertemu anak-anak kolega bisnis dan Sehun punya waktu untuk bermain, jadi hidupnya tidak sepi-sepi amat.
Dan begitu dewasa, di sinilah Oh Sehun berada. Maksudnya, berada dalam dilemma yang dia buat sendiri. Jongin atau Hae In selalu berhasil membuat kepalanya berdenyut sakit.
"Mengundangku?" Moon Hae In bertanya, seolah tak percaya.
Sehun mengangguk, "Karena presentasimu kesepakatan Kim Corps dengan Maya Corps berjalan lancar. Hanya itu saja."
"Pasti ada yang ingin dia lakukan. Dia kan licik."
"Dia tidak selicik yang kau bayangkan." Sehun menyahut, entahlah dia tidak setuju dengan ucapan Hae In tentang Jongin.
"Oh, ada yang membelanya." Hae In beranjak dari meja makan.
Apartemennya tidak seluas apartemen Sehun. Tetapi Hae In beranggapan jika Apartemennya lebih dari cukup untuk membesarkan satu atau dua orang anak bersama Sehun.
"Ayolah, Hae In." Sehun berusaha menghibur.
Hae In berbalik badan, posisinya sekarang sudah di dekat wastafel—mau cuci piring. "Setidaknya itu yang ku lihat." katanya, acuh.
Sehun berjalan mendekat. Ia menyentuh bahu Hae In. Menatap kedua matanya penuh kasih. "Ini sangat rumit. Tapi ku mohon jangan gunakan emosi untuk menghadapi semuanya. Kau paham, kan?"
Hae in luluh. Ia memeluk Oh Sehun dengan mesra. Mereka hendak bercinta, tetapi Sehun menolak dengan dalih dia tidak bisa melakukannya selama usia kandungan Hae In masih sangat muda dan lemah.
.
.
.
On Purpose : Strawberry Sour BeltsRating : M
Genre : Romance /Drama
.
.
.
Hidup tidak semanis nougat kacang kesukaan Kyungsoo noona. Tapi juga tidak sepahit Black Licorice kesukaan nenek.
Tetapi mungkin sama seperti permen strawberry sour belts kesukaan Jongin. Manis dan asam, yang lama kelamaan menjadi kenyal dan memberikan sensasi yang menyenangkan.
Ia sedang makan permen strawberry asam nya ketika Kyungsoo datang dengan berkas di tangannya. Kakaknya itu sudah jauh lebih tenang, dan baik-baik saja.
Bahkan mereka—Kyungsoo dan Sekertaris Han sudah bisa bekerja seperti biasa lagi. Tidak ada slek atau bersinggungan sinis di antara mereka.
"Ku dengar kau mengadakan pesta." kata Kyungsoo, seraya menyorongkan map di tangannya di atas meja.
"Iya, untuk perayaan kecil-kecilan." Jongin menyahut. Pikirannya mungkin Kim Manor rumah besar dimana ia menghabiskan masa kecilnya setelah kembali dari Inggris. "Aku juga mengundang nenek dan beberapa kolega."
"Itu bukan kecil-kecilan namanya." kata Kyungsoo, dengan decakan dari mulutnya. "Tanda tangani, nih."
Jongin menerima dokumen itu, membacanya dengan serius sambil mengemut permennya.
"Kau juga mengundang Moon Hae In." Kyungsoo berkata asal.
"Jelas." sahutnya. "Tanpa dia kita tidak akan bisa mendapatkan kepercayaan Maya Corps."
"Kau terlalu berlebihan begini." kata Kyungsoo. "Ya sudah, aku kembali dulu ke ruanganku."...
"Pesta?" Luhan membeo.
Jongin mengangguk membenarkan. "Kau ikut, ya?"
Jarang sekali anak ini mengadakan pesta. Pasti sedang senang sekali nih, pikir Luhan.
"Dimana?"
"Kediaman Kim." kata Jongin.
"Pesta musim panas, ya?" Luhan mencoba mengintrogasi. Ya mana tahu pesta menyambut musim panas atau apa.
Jongin tertawa melihat rasa ingin tahu di wajah Luhan. "Pesta keluarga dan kerabat dekat. Kau ada waktu, kan?" tanya Jongin.
Mendapati RSVP di hari yang sama membuat Jongin senang. Itu tandanya rencana yang dia jalankan akan berhasil.
Luhan melihat Jongin dari seberang meja cafetaria dengan seksama. Seolah memahami ada sesuatu yang disembunyikan. Tapi nampaknya Jongin tidak mau berbagi. Jadi dia urungkan saja untuk bertanya lebih banyak lagi.
"Ayamnya kurang asin, deh." Jongin berkomentar mencicipi makanannya.
"Masa? Sini ku coba." Luhan mengambil sedikit dengan garpunya. "Tidak kok, sudah pas. Wah, lidahmu bermasalah tuh."
Tidak biasanya chicken butter buatan cafetaria ini tidak membuat Jongin berselera untuk memakannya. Aneh, pikir Jongin.
"Mau makan di luar saja?" tanya Luhan.
Jongin menggeleng pelan. "Tidak, ah. Aku takut nanti Kyungsoo noona mencariku. Dia jadi agak bawel banget sejak tahu sekertaris Han sudah menikah."
"Hah? Kok bisa baru tahu?"
Keduanya tertawa saat Jongin menceritakan sesuatu tentang hubungan Kyungsoo dan Sekertaris Han yang terkesan membingungkan.
.
.
Malam hari berjalan begitu cepat. Dimana Jongin sudah bersiap untuk tidur, dan Sehun yang masih agak canggung kalau mengingat bagaimana gairah mereka saat bercinta.
Jongin memang seperti pertama kali Sehun memimpikannya diusia belasan. Sexy, binal, dan ribuan kali lebih menyenangkan dibandingkan orang-orang yang pernah menghabiskan malam bersamanya.
Seperti ada yang lain ketika ia masuk. Lenguhan Jongin terdengar mesra dan mampu membuat Sehun menikmati setiap permainan mereka.
"Sudah tidur belum?" tanya Jongin dalam keheningan.
Ia berbalik dan melihat punggung Sehun dalam keremangan malam. Sehun berbalik juga. Ia menatap Jongin dalam keraguan.
"Aku sama sekali tidak bisa tidur."
"Aku juga. Kau aneh sejak kemarin."
Sehun berdehem pelan. "Jujur ya, sejak kita berhubungan intim. aku merasa..merasa aneh setiap saat melihatmu?"
"Yah, memang gak seenak pacarmu. Tapi aku berusaha menjalankan rumah ini seperti layaknya rumah-rumah suami istri kebanyakan."
"Bukan begitu." Sehun menyahut cepat. "Hanya saja perasaan ini terlalu asing."
"Kau tidak suka, ya?"
"Eh, bukan." Sehun menggeleng. "Jantungku berdebar. nih pegang."
Sehun meraih tangan Jongin dan meletakannya di dada.
"Kau butuh olahraga tuh." kata Jongin.
"Aku pergi ke gym setiap hari."
"Oh iya." gumam Jongin. "Sudah tidur. Kau terlalu banyak berpikir."
"Mungkin aku memikirkan banyak hal akhir-akhir ini. Jongin, peluk aku, dong." kata Sehun.
.
.
.
Pesta itu berjalan sebagaimana mustinya sebuah pesta yang Jongin harapkan. Banyak kolega dan keluarga Kim serta kerabat dekat yang datang untuk hadir di sana hanya untuk menyelamati Jongin yang telah mendapatkan sesuai apa yang dia inginkan.
Suara microfon yang nyaring itu mengintrupsi beberapa orang yang sedang menikmati pesta di halaman belakang keluarga Kim yang besar dan indah.
Di atas panggung, diantara grup orkestra yang disewa, Jongin berdiri dengan senyum yang menawan. Setelah mengucap salam formal, ia berkata bahwa ada sesuatu yang membuatnya sangat bahagia selain keberhasilan bisnisnya.
"Seperti yang kita tahu tentang sepasang suami istri yang menikah dan keinginan untuk meneruskan generasi baru." kata Jongin, masih pula mempertahankan senyumnya. "Dengan bangga aku akan memberitahukan: untuk 9 bulan lagi kami akan kedatangan anggota baru."
Semua bertepuk tangan heboh. Dan membuat senyum atau lebih tepatnya seringai sombong terpatri di wajahnya.
"Karena suamiku dan pacarnya Moon Hae In akan memiliki seorang anak yang lucu."
Krik..Krik..Krik
Semua saling berpandangan. Bisik-bisik mengasihani Jongin, dan merutuki Sehun terdengar di segala penjuru pesta. Wajah Sehun dan Hae In merah padam, beberapa menoleh ke arah mereka.
Hae In yang tidak tahan pergi begitu saja. Sementara Sehun menarik pergelangan tangan Jongin dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Sehun. Nampak ia tidak senang sekali dengan kelakuan Jongin.
"Berbagi kebahagian. Salahkah?" Jongin memasang raut wajah polos.
Sehun sanksi jika itu benar-benar kepolosan dalam jiwa Jongin. Sehun bergumam tidak jelas. Jongin menaikan satu alisnya, memandang Sehun penuh tanya.
"Itu salah, Jongin." kata Sehun. "Lagipula sejak kapan kau tahu Hae In hamil?"
Jongin menepuk tangannya, memberi kode. Seseorang yang tak Sehun kenal mengangguk. Memutar rekaman suara percakapan Sehun dan Hae In. Tentang kehamilan Hae In, dan rasa muaknya Sehun untuk pernikahannya bersama Jongin.
Sehun tidak perlu melihat keselilingnya. Ketika semua orang memandangnya dengan cemooh. Bahkan ibunya maju mendekat dan menampar pipinya hingga memerah.
Semua itu membuat siapapun, termasuk Jongin terkejut dibuatnya.
"Nak, maafkan aku. sungguh. Aku tidak menyangka anak ini begitu bodoh untuk bermain belakang darimu." Nyonya Oh menggenggam kedua tangannya, seolah itu semua adalah kesalahah dirinya.
Jongin mempertahankan senyumnya, meski kenyataannya dia sudah menahan semua amarahnya.
"Itu bukan salahmu, Ibu mertua." Jongin melihat ke arah Sehun. "Semua ini adalah keegoisan banyak orang sehingga Sehun merasa dia harus mengorbankan segalanya."
"Kau benar-benar, Sehun. Ibu tidak menyangka kau akan sejahat ini." Nyonya Oh meraung, menangisi tingkah anaknya.
Hae In mencoba maju, untuk bersembunyi di balik bahu lebar Sehun. Adegan yang membuat Jongin menatap tanpa minat ke arah mereka.
Ketakutan akan hidup miskin menguasai diri Nyonya Oh. Ada banyak kemungkinan di dalam kepalanya, yang membuat dirinya terus menangis dan meronta—dua orang maid mencoba untuk menangkan.
Nenek Kim mencoba mendekat, ia ingin Jongin bisa mengendalikan emosinya.
"Apa yang kau lakukan, nak?" tanya sang nenek.
"Menumpahkan rasa kecewaku, nenek." Jongin berkata datar. "Selama ini aku diam meskipun aku tahu. Dan pria ini berpikir diamnya aku adalah kebodohan dan kelemahanku atas apa yang dia lakukan."
Tidakkah semua sudah terbukti? Perselingkuhan Sehun yang begitu keji. Orang-orang mulai memahami bagaimana rasa sakitnya Jongin atas pengkhianatan yang ia dapat dari suaminya itu.
"Kau tidak seharusnya seperti ini, Jongin." Sehun mulai merasakan penyesalan yang luar biasa. Meskipun akhir-akhir ini perasaan itu selalu muncul dan menyeruak dalam jiwanya. "Ini semua memang salahku."
"Ya, memang salahmu." Jongin mengulum senyuman. "Salahmu yang membuat pacarmu itu hamil."
Lantas dia harus apa? Sehun menatapnya iba.
"Bertanggungjawablah sebagai seorang pria." kata Jongin, dia pergi meninggalkan pesta yang canggung.
.
.
Well, Jongin memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Tinggal di sana meskipun Sehun tidak berani menunjukan batang hidungnya di sana.
1 minggu setelah kejadian itu, membuat Jongin seolah tidak ada apapun yang terjadi. Dia sudah terbiasa untuk hidup sendiri.
Sejak ibu dan ayahnya meninggal, dan dia tumbuh dewasa. Apalagi meskipun sudah menikah, Sehun jarang sekali menunjukan rasa perhatiannya yang membuat Jongin berpikir bahwa mereka sudah menikah. Luhan terus mengiriminya pesan singkat, tentang support penuhnya untuk Jongin, dan tak luput kata-kata yang menunjukan rasa khawatirnya terhadap Jongin.
Suara klik pintu membuat Jongin berjalan ke arah pintu masuk. Dilihatnya Oh Sehun yang bertambah pucat meletakan sepatu ke atas rak sepatu. Lingkar hitam ada di sekitar matanya yang membentuk seperti ikon panda.
"Pulang juga rupanya." Jongin berdiri bersedekap dada. "Ingat rumah?"
"Hm." Sehun ber hm pelan, dan berjalan melewati Jongin.
"Kau lapar?" Jongin seolah berbasa-basi.
Kebetulan dia memang sudah memasak makan malam. Mana tahu Sehun mau makan bersamanya.
"Tidak, Hae In memberiku makan yang layak selama di sana."
Oh, begitu, sahutan kecil Jongin membuat Sehun berharap Jongin tidak mengganggunya. Tetapi Jongin seolah sama menyebalkannya seperti pertama kali mereka tahu akan dijodohkan.
"Bagaimana soal pernikahan kalian?"
"Diamlah, Jongin." Sehun nampak tak suka.
"Ku pikir kau akan menikahinya." gumam Jongin, tersenyum tipis. "Kalau perceraian kita bagaimana?"
Belum pernah Sehun setakut ini ketika Jongin berkata 'cerai'.
"Kau masih bisa bekerja di kantor meskipun kita bercerai." kata Jongin.
Tapi Sehun bukan orang yang tidak tahu malu. Sementara di rumah Jennie bilang, ibu mereka jatuh sakit—mentalnya terganggu akibat kelakuan putranya yang kelewat busuk.
"Ibuku sakit, jangan bahas soal itu."
"Oh, ya..Jennie juga bilang begitu padaku." Jongin menyahut. "Bilang padaku jika kau mau surat cerai, dengan senang hati aku mengurusnya."
"Jongin."
Langkah kaki Jongin terhenti. Ia membalik badan, melihat Sehun berdiri di belakangnya.
"Apa salah Hae In sampai kau mempermalukannya?"
Jongin mendekat dan melihat Sehun dengan senyum licik. "Saat seseorang masuk ke dalam rumah tangga orang lain. Bukankah sebuah karma akan menanti di belakang permainan dramanya? Apa dia tidak mengerti, Sehun? Kalau tidak, kau harus lebih sering memintanya merenung kalau begitu."
.
.
.
TBC
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
On Purpose (Hunkai 2021)
FanfictionSehun dan Jongin akan menikah. Sehun menolak, Jongin bersikukuh harus menikah. Keduanya bertentangan. Sehun si keras kepala, Jongin yang egois. Apakah pernikahan mereka akan berjalan mulus?