The Ring

1K 66 13
                                    

Pemakaman menjadi dua orang. Jennie tak henti-hentinya menangis, pingsan, menangis dari semalam. Dia sudah lebih baik pagi ini.
Menerima kenyataan bahwa ibunya meninggal di rumah sakit, karena gagal jantung. Kemudian kakaknya yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas—terlalu panik, sedih, dan tak fokus berkendara.
Jongin hanya diam. Tak seorang pun tahu bahwa dia dan Sehun akan bercerai. Karena baru semalam Sehun pulang ke apartemen mereka, dan meminta maaf—berkata bahwa dia sangat senang atas 1 tahun kebersamaan mereka.
Hae In menangis, dia pingsan, dan sudah lebih dulu dibopong untuk dibawa pulang.
Bibi Soo Hee, adalah seorang wanita yang baik hati. Dia sangat mirip dengan Oh Hari. Hanya saja bibi Soo lebih terlihat keibuan dengan tatapan yang lembut dan sarat akan kasih sayang.
Dia terus menepuk punggung Jennie, menguatkan anak yatim piatu itu agar lebih tabah.
"Kau sudah lebih baik sekarang, Sehun." kata Jongin, ketika semua pelayat termasuk anggota keluarga kembali ke mobil mereka karena sebentar lagi hujan.
Jongin memakai setelan hitam, menatap nisan yang masih merah itu dengan sendu.
"Kau mati terlalu cepat, dan aku benci kenyataan bahwa kau benar-benar setia pada sumpahmu untuk tidak mencintai diriku bahkan sampai kau mati." katanya. "Aku hancur di sini, aku hancur. Kau tahu itu." Ia terjatuh di samping makam, tak peduli dengan celananya yang kotor.
"Aku hanya ingin memilikimu dengan caraku, Sehun..Kenapa kau tinggalkan aku, pria jahat!" Jongin menangis dan memukul-mukul tanah makam Sehun. "Kenapa..Oh Sehun, kenapa.."

.
.
.
On Purpose : The Ring

Rating : Mature Language

Genre : Romance / Drama
.
.
.
Seminggu setelah kematian suami dan ibu mertuanya. Jongin sudah kembali bekerja.
Beberapa orang tak berani menyapanya. Karena Jongin terlihat begitu sedih. Tak ada senyum ramah di wajahnya, hanya duka yang tersirat dalam pandangannya.
"Permisi." suara seorang gadis membuat Jongin menoleh ke arah pintu.
Jennie dengan canggung berjalan ke arah Jongin. Ia juga sama kacaunya, masih belum bisa menerima kenyataan bahwa dia sudah kehilangan semua keluarga kandungnya.
"Hi, Jennie. Lagi libur kuliahkah?" Tanya Jongin, berbasa-basi.
Jennie mendudukan dirinya di atas kursi, berharapan dengan Jongin.
Dia melihat meja kakaknya, entah kenapa dia jadi merindukan sosok Sehun yang dulu dianggapnya jelek dan menjengkelkan.
"Kakak Ipar, aku sungguh minta maaf atas apa yang terjadi selama ini. Sungguh." ucapnya, tulus.
"Jennie, semua bukan kesalahan dirimu." Jongin mencoba untuk menghibur.
"Kau selalu mengatakan seperti itu, semua bukan salahku. Kau selalu menghiburku sejak aku kecil. Kau bahkan lebih memperhatikan aku dibandingkan kakakku sendiri. Aku harap dikehidupan kedua aku terlahir menjadi adikmu, kakak ipar."
Jennie menyorongkan sebuah kotak cincin kepadanya.
"Ini adalah cincin yang diturunkan dari ibuku untukku. Tapi ini cincin pernikahan nenekku. Seharusnya Sehun memberikan ini untuk melamar kekasihnya. Tapi aku ingin kau memiliki ini. Karena biar bagaimanapun kau adalah istri abangku."
"Jennie." kata Jongin, seolah menolak. "Aku minta maaf, tapi Sehun tidak pernah mencintaiku. Seharusnya kau memberikan ini pada Hae In."
Jennie menunduk dalam, ia menangis dalam diam. "Aku mencoba untuk melihatnya, tapi tidak bisa. Aku benci kakakku dan aku benci pacarnya. Entahlah, kenyataan bahwa kakakku tak lebih dari seorang brengsek membuatku sangat marah."
"Kau bisa menyimpannya kalau kau mau."
"Tidak! Aku ingin kakak ipar menyimpan ini untuk anak mereka." kata Jennie.
.
.
.
Moon Hae In masih sama. Dia mengelus perutnya yang membesar dengan tatapan kosong.
"Ada sesuatu yang mau ku katakan." Kata Jongin.
"Katakan saja!" serunya.
Jongin melihat ke arah Hae In yang terlihat pucat dengan wajah sembab.
"Aku ingin kau menyimpan ini." Jongin menyorongkan cincin yang diberikan Jennie padanya. "Ini dari keluarga Oh, kau harus menerimanya."
"Untuk apa? Kau akan mengambil bayiku saat aku melahirkan nanti." kata Hae In.
Mungkin karena Jongin masih terlihat angkuh.  Jadi Hae In berpikir seperti itu. Ia melihat air mata Hae In merebak membasahi pipinya.
"Aku juga mencintainya, bukan hanya kau. Jadi berhentilah menangis! Dan ku mohon kau harus berjuang untuk anakmu. Aku tak akan mengambilnya, kau tenang saja." ujar Jongin.
"Aku tak suka kau mengasihaniku, Jongin." Hae In terlihat marah.
Jongin mengalah. "Kalau begitu berhentilah bersembunyi. hadapilah dunia untuk masa depan anakmu nanti."
Ia meletakan cincin itu di atas nakas. Kemudian pergi dari kamar Hae In tanpa mengucapkan sepatah kata.
.
.
.
Bersama-sama, Luhan dan Jongin berjalan memasuki cafetaria. Dia akan berdiskusi menjual apartemennya atau menyewakannya saja, karena Jongin tidak mau tinggal di sana lagi. Dia tak mau mengingat kenangan yang paling menyakitkan di sana. Kenangan dimana terakhir kalinya dia dan Sehun bertemu dan saling berbicara perpisahan. Hingga akhirnya mereka benar-benar terpisah karena maut.
Luhan mencoba membuat Jongin sedikit lebih rileks. Dia memesan ayam saus kecap untuk Jongin, dan sup jamur untuk dirinya sendiri.
"Aku akan menghubungi properti nya lagi nanti." kata Luhan, deal.
"Terimakasih, Luhanie. Kau sangat membantuku." ucap Jongin.
Dua pesanan tiba bersamaan. Jongin terlihat senang, walaupun dia masih tidak terlalu nafsu untuk makan.
"Jongin, aku turut berdukacita atas apa yang menimpamu. Tapi jangan seperti ini, kau jadi agak menutup diri dari siapapun."
"Aku hanya mencoba bangkit dari duka, Luhan. Ku mohon jangan memaksaku untuk langsung bangkit tanpa proses."
"Sungguh, aku khawatir padamu."
Sentuhan tangan Luhan di wajah Jongin membuatnya salah tingkah.
"Maaf."  ucap Luhan ketika Jongin terlihat sedikit tak nyaman.
"Aku ingin uang itu dipakai Hae In untuk membesarkan anaknya." kata Jongin, ketika Luhan bertanya soal apartemennya.
"Apa dia tak mau tinggal di sana?"
"Tidak, dia tidak mau. Dia hanya mau tinggal di apartemen yang tidak terlalu mewah. Aku sudah mendapatkannya."
"err—Dia akan bersama anaknya?"
"Aku tak bisa mengambil anak itu darinya. Dia sudah sangat terpukul dengan kematian Sehun."
"Aku bahagia bisa mengenal orang seperti dirimu, Jongin. Kapan dia melahirkan?"
"Kalau tidak ada halangan mungkin satu bulan lagi."
.
.
.
Hari kelahiran tiba.
Hae In tampak sedikit takut.
"Berjanjilah, Jongin." katanya sebelum masuk ruang persalinan.
"Apa?"
"Jika aku mati, kau harus merawat anak kami."
Jongin terlihat gusar. "Jangan bicara begitu, bodoh! Kau harus berjuang."
Sedangkan Hae In, bayangan akan kematian begitu dekat dan sulit sekali dia hindarkan.
"Terimakasih." ucapnya, tulus.
Ia melepaskan genggaman tangannya di lengan Jongin. Beberapa perawat mendorong ranjang pasien—dimana Hae In berbaring memasuki ruang persalinan.
Dengan cemas Jongin berharap. Meskipun neneknya bilang Hae In akan baik-baik saja. Jongin tak henti-hentinya berdoa.

On Purpose (Hunkai 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang