Yellow Daylily

400 43 5
                                    

"Dia sepupuku." Kata Wonshik, menjawab pertanyaan Sehun tentang mengapa dia sangat tahu bagaimana kepribadian Jongin.
Sehun menarik napas pelan. Seharusnya ini tidak terjadi. Jongin seperti ini, hatinya terluka, hanya saja dia mencoba untuk terlihat biasa-biasa saja.
"Dia sudah sangat terluka ku rasa." Lagi, Wonshik berkata. Mengemukakan pendapatnya.
"Aku sama sekali tak menyangka jika  ini akan terjadi." Sehun terlihat menyesal.
Wonshik tertawa pelan. Oden di tangannya sisa satu potong. Bibi pemilik warung tenda membawakan soju untuk mereka.
Sehun melirik jam di tangannya, menunjukan pukul 8 malam. Biasanya Jongin akan cerewet menelpon dan mengiriminya pesan singkat. Tetapi Jongin sekarang seolah tidak peduli. Sehun pulang atau tidak, itu sama sekali bukan persoalan untuknya.
"Pernahkah kau berpikir saat melakukan itu, Sehun?" tanya Wonshik, memakan satu potong oden terakhirnya.
"Saat itu yang ku tahu aku sangat membenci kenyataan dimana aku harus menikah dengan Jongin."
Wonshik menyipitkan kedua matanya.
"Mengapa kau tidak pernah menyukai Jongin?"
"Tidak pernah? Apa maksudmu?"
"Sejak kita kanak-kanak, remaja, bahkan sampai dewasa, kau selalu menolak kehadiran Jongin. Kenapa? Apa kau punya masalah padanya?"
Sehun mengingat-ingat. Kemudian dia baru menyadarinya. Dia memang tak pernah melihat Jongin. Baginya dulu Jongin adalah anak konglomerat yang selalu mendapatkan apapun yang dia inginkan. Mungkin saat itu Sehun iri, Jongin memiliki kasih sayang dari neneknya, dan tidak pernah merasa kesepian seperti dirinya.
"Dulu aku melihatnya seperti anak manja yang selalu mendapatkan apapun yang ia inginkan. Dia egois."
"Aku akui Jongin sangat egois." kata Wonshik. "Tapi dibalik itu semua dia anak yang baik, dia selalu melakukan sesuatu yang membuat semua orang berpandangan dia sangat menyebalkan untuk menutupi perasaannya, baik sedih ataupun kecewa. Mungkin dia tidak suka orang lain melihat perasaannya kacau."
.
.
.

On Purpose : Yellow Daylily

Rating : Mature

Genre : Romance/Drama

.
.
.

Jongin tiba di rumah besar Kim dengan sebuket bunga lily kuning di tangannya.
Ia meletakan bunga itu di atas vas bunga tepat di ruang rekreasi keluarga.
Hal yang membuat para maid dan butler bertanya-tanya, apa yang dilakukan oleh tuan muda mereka.
"Merasa patah hati, tuan muda?" Hae In berdiri angkuh sambil menyilangkan tangan di depan dada.
"Menurutmu?" Jongin balik bertanya. Tanpa menoleh.
Hae In merasa tidak takut sama sekali. Dia harus membuat ulah, agar nenek Kim mengusirnya dan dia bisa kembali hidup di luar rumah keluarga ini.
Meskipun dia akui, hidup di sini adalah mimpinya sewaktu dia tinggal di panti asuhan.
"Kuning adalah lambang kesedihan, aku pernah membacanya di sebuah artikel." Hae In menyombongkan diri, dia sudah merasa menang dengan kehamilannya.
Ia berjalan mendekat ke arah Jongin. Jongin berbalik badan, ia tersenyum begitu tipis—penuh arti yang sulit diartikan.
"Biar ku beritahu nona sok pintar." Jongin berkata. "Di tempat aku lahir, bunga lily kuning melambangkan rasa kepalsuan, kemarahan, dan kekecewaan. Kepalsuan adalah Oh Sehun; yang selalu berbohong di depan Kim Jongin, Kemarahan adalah Moon Hae In; yang marah karena tidak bisa memiliki Sehun seutuhnya, dan kekecewaan adalah hubungan kalian berdua; yang tidak akan pernah ada kepastian sampai akhir nanti."
Hae In mengepalkan kedua tangannya. Dan benar, semua yang dikatakan Jongin itu ada benarnya. Meskipun dia tahu tak pernah ada kepastian dalam hubungannya bersama Sehun, Hae In selalu merasa optimis mereka bisa bersama.
"Kau yakin bisa melawanku? Lawanlah! Maka aku akan melawanmu balik." kata Jongin, disertai seringai yang menyebalkan.

.
.
.
Sehun terpana ketika pulang, Jongin meletakan beberapa tangkai bunga lily kuning cerah. Yang membuatnya berpikir Lily kuning terlihat sangat kontras dengan tembok putih gading mereka.
"Apa itu?" tanyanya.
"Bunga." Jongin menjawab santai, ia mengelap vas yang sedikit basah.
"Aku tahu. Maksudku, kenapa tiba-tiba kau suka bunga?"
Jongin mendengus pelan. "Aku pikir akan sangat bagus kalau dipajang di kamar ini."
"Oh, iya. Tapi kenapa harus Lily Kuning?"
"Karena itu melambangkan dirimu dan Hae In. Kepalsuan, Kemarahan, dan Kekecewaan."
"Kekecewaan adalah kau, Jongin." kata Sehun, mencoba membela diri. "Kau kecewa karena aku tak bisa memberimu sedikit dari perasaanku."
Jongin mengepalkan kedua tangannya. Ia merasa benci ada orang yang mengatakan tepat sasaran tentang perasaannya.
Tapi ketika ia berbalik badan, ia tersenyum manis ke arah Sehun.
"Aku bisa saja menang jika kau tidak mencurangi aku, Oh Sehun."
Sehun mengambil napas panjang dengan ngeri. Wajahnya memerah pertanda ia marah, sangat marah, untuk saat ini.
"Apa kau sedang menuduhku?"
Jongin menelan ludah, kemudian menepuk bahu Oh Sehun dengan Masih mempertahankan senyumannya.
"Kalau sudah terjadi, apakah itu terdengar seperti tuduhan? Aku mendengarnya seperti fakta yang sedang dikuliti." Jongin mencibir.
"Kau selalu menghina aku." kata Sehun, marah.
"Kau pikir aku tidak kecewa saat mendengar rekaman suara kalian? Aku memikirkan siang dan malam, apa saja yang kalian bicarakan di belakangku. Aku marah, apa pedulimu?"
Jongin mengeringkan pipinya yang sembab dengan kedua tangannya. Seolah tidak suka melihat ada orang lain melihatnya begitu lemah saat ini.
"Tapi sisi baiknya, aku bisa tahu orang seperti apa kau itu, Oh Sehun." kata Jongin.
"Jongin, dengar." kata Sehun. "Aku tahu maaf tidak akan pernah cukup. Tapi percayalah, aku juga tidak ingin ini terjadi."
"Kau berkehendak atas perselingkuhanmu dengan Hae In, Oh Sehun. Dan hal seperti ini tidak kau pertimbangkan karena kau pikir aku akan melepaskan dirimu."
"Aku tak pernah berpikir kau akan melepaskan aku, Jongin."
"Yah, karena kau takut hidup miskin."
"Untuk saat ini iya. aku sangat takut. aku takut ibuku tak berdaya, aku takut adikku menjadi korbannya. Kau anggap aku tak tahu malu terserah. Karena memang begitu adanya. Sekarang apa maumu?"
"Mauku? Aku mau bergabung dalam permainan kalian. Bolehkan?" Jongin menatapnya tajam. "Aku ingin kalian bermain di dalam permainanku, kau paham itu, kan?"
"Lakukan apapun, Jongin." Sehun bersimpuh. "asal jangan menghancurkan tiga orang yang ku sayangi—ibuku, Adikku, dan juga Hae In."
.
.
.
"Sebentar lagi natal." kata Kyungsoo riang. "Kita akan merayakannya di panti asuhan. Oh pasti sangat menyenangkan."
Jongin masih berkutat dengan pekerjaannya. Seolah tidak menganggap Kyungsoo ada di ruangannya.
"Btw, kemana Luhan?" Kyungsoo bertanya. Sudah beberapa hari ini dia tidak melihat pria itu.
"Dia sedang ke Beijing." Jongin menjawab santai. "Ada pekerjaan yang harus dia lakukan."
Kyungsoo melirik meja Sehun yang kosong. Jongin bilang dia harus menemani Hae In pergi ke dokter untuk memeriksa kehamilannya. Sejak hamil, dia jadi sangat manja pada Sehun.
"Kau yakin itu anaknya Sehun?" tanya Kyungsoo, begitu pada intinya.
"Aku yakin. karena Hae In sangat mencintai Sehun. Ya, sulit ku katakan jika dia termasuk orang yang setia pada pacarnya."
"Jongin, pikirkanlah! Bisa jadi dia hamil anak orang lain dan meminta Sehun untuk bertanggungjawab."
"Tidak, nun. Aku tahu orang seperti apa Hae In itu. Dan Oh Sehun, sejak awal menikah dia memang selalu bersama Hae In."
"Kau sudah tahu? Tapi mengapa kau tidak melarangnya?"
"Yah, ku pikir dia tipikal pria yang akan luluh dengan usaha seseorang. Tapi ternyata aku salah. Memang tidak tahu malu."
Tidak aneh sama sekali, pikir Kyungsoo. Karena dia tahu betul Jongin sangat mencintai Sehun—atau mungkin obsesi. Kyungsoo juga bingung.
Tapi yang jelas, perasaan Jongin kepada Sehun inilah yang membuat dirinya melakukan hal yang sulit diterima akal sehat. Seperti; Membantu Sehun melaksanakan tanggungjawab tanpa menceraikan pria brengsek itu. Dengan dalih "Aku takut pasaran saham Kim Corps turun." memang ada benarnya, tapi membantu Oh Sehun, sungguh keterlaluan.
"Jujur aku kecewa sekali dengan tingkahnya." kata Jongin, terdengar suara printer berbunyi—Jongin baru saja melakukan printing untuk laporannya.
"Buka mata Jongin! bagiku sudah saatnya kau cerai dengan Oh Sehun. Lagipula usaha keluarganya sudah nyaris bangkrut, dan tidak ada gunanya untuk kita."
"Kalau noona bilang aku mencintainya, ya aku sangat mencintainya. Dibilang aku marah padanya, ya aku sangat marah. dibilang aku dendam, aku pun sangat teramat dendam padanya. Hanya dengan menahannya aku bisa melampiaskan semua yang ku rasa padanya. menyakitinya kemudian menyembuhkannya hanya untuk kembali menyakitinya lagi. Apa aku salah?"
Kyungsoo tidak tahu harus menjawab apa. Jongin orang yang sangat unik dalam menunjukan semua yang ia rasa. Jadi dia tidak bisa mengomentari apa yang salah, benar, dalam kondisi seperti ini.
"Mom." Pintu terbuka dan menunjukan Junmyeon kecil berlari ke arahnya.
Kedua kaki mungilnya membuat Kyungsoo terpana dan ingin sekali memeluk erat tubuh kecil itu.
"Uuh, anakku sayang." katanya, seraya menggendong tubuh Junmyeon.
"Bagaimana menginap bersama dad? Apa Moonie senang?"
Junmyeon mengangguk dan berkata "Ibu Baekie merawat Moonie dengan sangat baik."
Raut wajah Kyungsoo berubah menjadi sengit. Dimana dia sama sekali tidak menyukai istri baru Chanyeol yang menurutnya sama sekali tidak punya jiwa keibuan dalam dirinya.
"Dia wanita yang baik, kenapa noona membencinya?"
"Aku tidak membencinya. Hanya saja dia harus ikut konseling ibu muda supaya bisa jadi ibu yang baik." Kyungsoo menjawab, mengomentari Baekhyun yang begini, Baekhyun yang begitu.
"Ku harap liburan noona menyenangkan." Kata Jongin, mengakhiri sesi obrolan mereka.

...

Selepas makan siang, Sehun kembali ke kantor. Mendapati Jongin makan dari kotak bekalnya—dia membawa dua kotak bekal, hanya saja dia berikan itu untuk sekertaris Han ketika dia yakin Sehun sudah makan siang bersama Hae In.
"Kau bawa bekal?" tanya Sehun, basa-basi.
Jongin menoleh ke arahnya. "Begitulah. seperti yang kau lihat."
"Aku tadinya bawa dua. Tapi ku rasa kau tak akan kembali sampai jam istirahat selesai. jadi ku berikan kotak bekal itu kepada sekertaris Han."
Sehun ber Oh pelan. Kemudian melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai.
"Bagaimana dengan pacarmu?" tanya Jongin. seraya memakan nugget isi keju buatannya.
"Dokter bilang kondisinya sehat. hanya saja melarangnya melakukan banyak hal yang mudah membuatnya lelah." Sehun menjawab.
"Sebulan lagi kita sudah bisa tahu jenis kelamin anaknya." kata Sehun.
"Ku harap anaknya laki-laki." Jongin menyahut.
"Sebenarnya mau laki-laki atau Perempuan itu tidak pent—"
"Penting! Sangat penting."
"Kenapa?"
Jongin ber smirk dengan mata bulatnya yang indah.
"Dia akan jadi anakku, pewaris tunggal di keluargaku."
"Err—Jongin, ibuku sebetulnya tidak setuju untuk hal ini. Kalau kau mau kita bisa program kehamilan untukmu."
"Aku tidak bisa."
"Kenapa tidak bisa?"
"Hemofilia terlalu beresiko saat persalinan."
"Jongin kau—dari siapa?" tanya Sehun.
"Hemofilia tipe A. tidak dari siapa-siapa" jawab Jongin, santai.
.
.
.
Hemofilia.
Itu kata Jongin. Sehun tidak perlu bersusah payah mencari artikel mengenai hemofilia. Dia tahu betul apa itu penyakit hemofilia. Darah yang sukar beku, dan terlalu beresiko untuk persalinan.
Dia sudah benar-benar bahwa hidupnya bagai kutukan. Mendengar Jongin memiliki penyakit bawaan seperti itu membuatnya kacau, semakin merasa bahwa dia itu pria yang sangat brengsek.
Sehun menelpon teman-temannya, seperti Choi Minho dan Myungsoo yang selalu setia menemaninya di saat dia sedang dirundung masalah.
"Ah, akhirnya bisa sedikit bersenang-senang." Kata Minho.
Terakhir mereka bertemu itu saat Sehun mengundang mereka ke acara pernikahannya.
"Aku sibuk sekali dengan semua pekerjaanku. Eh, ku dengar kau akan menikah ya?" Myungsoo menyikut Minho dengan tawanya.
Sehun hanya diam dan menikmati wine nya dengan pikiran yang kacau.
Melihat Sehun yang mencoba melepas emosi. Membuat Minho berdehem pelan. Dia lebih peka dibandingkan ketiganya.
"Aku turut sedih dengan keadaanmu, sobat." kata Minho.
Sehun mendengus pelan.
"Hidup memang terkadang tidak seperti yang kita bayangkan." Myungsoo mencoba menghibur.
"Dia benar." kata Sehun, pelan.
"Siapa? Istrimu?"
Sehun mengangguk. "Dia menyarankan aku untuk menolak perjodohan itu. Tapi aku tidak melakukannya karena tak mau melihat ibu kecewa. Aku bertahan karena takut miskin, tapi ternyata aku malah menyakiti perasaannya sekarang."
"Yah, kalau itu urusan keluarga. Aku tak mau berkomentar, Sehun." kata Minho. "Tapi memang jika kau tak suka seharusnya kau jujur dari awal. Tidak seperti ini. kau tidak suka Jongin, dan kau masih tidur dengan pacarmu. kalau sudah seperti ini bukan hanya Jongin, Hae In pun juga kau lukai."
"Lagipula aku bingung, kalau kau membenci Jongin sejak dulu karena perjodohan. itu sama sekali tak beralasan. entahlah, dulu aku menganggap dirimu itu sangat aneh." Myungsoo menimpali.
"Aku benci dia karena dia selalu membuatku malu. berteriak dia menyukai aku, dan bertingkah sombong dengan kekayaannya. itu sama sekali bukan tipe ku." Sehun berkata. "Tapi beberapa bulan bersamanya, pikiranku tentangnya selama ini salah. Dia hanya seseorang yang selalu kesepian dan mencoba melakukan sesuatu dengan uangnya yang banyak itu. Aku jadi merasa brengsek, sungguh."
"Sehun." Minho menyebut namanya. "Kau tahu? Jarang sekali ada seorang istri seperti Jongin yang mencoba untuk membantu suaminya melakukan tanggungjawabnya. Dia orang yang berjiwa besar meskipun ku akui dia sangat egois. Tapi aku ingin kau harus memilih saat waktunya tiba. benarkan, Myung?"
Myungsoo mengangguk. "Kau tahu? Kalau aku dapat istri seperti Jongin, sampai mati pun tidak akan ku lepas. Tapi jika posisiku sama denganmu, aku akan mengerti. Sudahlah sobat, jangan seperti ini! wajahmu jelek sekali kalau seperti itu."

.
.
.
.
TBC
.
.

On Purpose (Hunkai 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang