03

1.6K 239 56
                                    

Selamat membaca

Udara malam kota Vienna membuat Jaemin berkali kali mengusap lengannya sendiri, seharian menghabiskan waktu dengan Jeno membuatnya lupa waktu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Udara malam kota Vienna membuat Jaemin berkali kali mengusap lengannya sendiri, seharian menghabiskan waktu dengan Jeno membuatnya lupa waktu. Kini mereka berdua berjalan berdampingan, Jeno keras kepala untuk mengantar Jaemin hingga depan rumahnya, biola Jaemin dibawa oleh Jeno membuat sang pemilik sedikit merasa sungkan karenanya.

“Hatchi!” Jaemin bersin.

Jeno mengalihkan pandangannya, menatap Jaemin yang bersin tadi. “Kau tidak apa?” tanya Jeno.

Jaemin menggeleng, “Tidak apa Tuan, maafkan aku karena lancang tadi.” kata Jaemin.

Jeno menatap kemeja tipis berwarna coklat yang dipakai oleh Jaemin, sang tuan menghentikan langkahnya lalu melepas mantel tebal yang dia pakai. Lalu menyampirkan mantelnya di bahu Jaemin. Merasakan hangat melingkupi tubuhnya Jaemin menatap ke arah Jeno yang sedang menyampirkan mantel kulit mahal miliknya ke bahu Jaemin.

“Ah, Tuan Lee, ini tidak perlu.” ucap Jaemin, berusaha melepaskan mantel Jeno yang ada di tubuhnya.

Jeno memegang bahu Jaemin, jaraknya begitu dekat dengan si manis. Dia tersenyum dan berkata, “Tidak apa, kemejamu sangat tipis Jaemin, kau bisa sakit nanti.”

Seketika rasa panas menjalar dari pipi Jaemin hingga telinga, Jeno tepat berada di belakang Jaemin, bahkan Jaemin bisa merasakan nafas Jeno di telinganya dan tangan Jeno masih berada di pundaknya. Jaemin memilih mengalihkan pandangannya ke depan, tidak mampu melihat ketampanan Lee Jeno dari dekat.

“Terima kasih, Tuan.” ucap Jaemin pada akhirnya.

Mereka berdua kembali berjalan, jalanan mulai sepi karena memang sudah larut mereka menghabiskan banyak waktu seharian ini dan mereka selangkah lebih dekat.

“Jadi, kau adalah mahasiswa Hauptuni?” tanya Jeno, lelaki disampingnya sempat bercerita bahwa dia adalah mantan mahasiswa Hauptuni.

Jaemin mengangguk semangat, dia kembali mengingat bagaimana bahagianya dia ketika salah satu universitas tertua di Eropa itu menerimanya sebagai salah satu muridnya. “Dulu aku sempat bersekolah disana, tapi aku berhenti dua tahun lalu setelah kematian orang tuaku.”

Jeno mengangguk, tidak ingin bertanya lebih jauh tentang hal ini. Jaemin berhenti berjalan membuat Jeno ikut berhenti. “Ini rumahku.” ucap Jaemin.

Jeno menengok ke arah kanan, sebuah bangunan rumah sederhana namun pagarnya di kelilingi tanaman rambat dan beberapa bunga yang sedang mekar. Sama cantiknya dengan wajah Jaemin. Jeno tersenyum ke arah Jaemin.

“Rumahmu indah, seperti dirimu.”

Jaemin terkekeh, “Aku rasa Anda harus berhenti memuji diriku.” ucap Jaemin. “Anda ingin mampir?” tanya Jaemin.

Jeno menolaknya dengan alasan sudah terlalu larut untuk bertamu, Jaemin hanya mengangguk memahami bagaimana bisa dia menawarkan seorang saudagar kaya dan keturunan bangsawan seperti Jeno untuk mampir ke rumahnya ini.

Sonata | NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang