05

1.2K 201 25
                                    

Mentari dan rembulan menjadi saksi dua Adam itu selalu menghabiskan waktu bersama, mereka kira ini hanyalah sebuah perasaan baru layaknya pertemuan biasa lainnya. Waktu membawa mereka menjadi satu, semakin dekat dan mengenal satu sama lain. Jaemin dan musiknya adalah hal yang sangat candu bagi Jeno, seperti saat ini dihadapannya Jaemin tengah memainkan sebuah nada indah dari komposer ternama Debussy.

Claire De Lune.

Jemari lentik Jaemin yang biasa Jeno genggam menghasilkan nada yang mendayu-dayu dan menari di udara hingga sampai ke telinga Jeno. Rumah Jaemin yang hangat membuat Jeno sangat nyaman didalamnya meskipun tak semegah rumahnya.

Cahaya rembulan dari jendela membuat Jaemin tampak bersinar, matanya terpejam sedangkan jarinya terus menekan tust piano itu. Bagaimana bisa Jaemin seolah terlihat menyatu dengan nada-nada yang dia mainkan. Jeno mengagumi Jaemin lebih dari selama ini dia mengagumi tiap koleksi pedang milik kakeknya dahulu.

Ketika Jaemin berhasil menuntaskan lantunan nada itu, Jaemin tersenyum ke arah Jeno. Disambut oleh tepukan tangan Jeno dan senyum manis mereka. Keduanya terkekeh, menikmati waktu berdua seperti ini entah sejak kapan terasa sangat menyenangkan. Ada perasaan bahagia, hangat, serta tak ingin terpisahkan setiap detiknya. Seolah Jeno ingin menghentikan waktu agar ia bisa selamanya bersama mahluk manis bernama Navier Jaemin.

“Tuhan menganugerahimu jari yang indah dan berbakat.” ucap Jeno sembari menggenggam jari Jaemin dan menatapnya.

Jaemin tersenyum senang, menarik pelan tangannya dan menatap Jeno. “Kau selalu berlebihan, Tuan. Semua orang pasti bisa melakukannya, kau juga bisa bermain piano.” bantah Jaemin.

Jeno menggeleng setuju, “Jika pun seluruh Vienna akan memainkan Claire de Lune hanya permainan tanganmu yang akan aku dengarkan.” Jeno seratus persen yakin dengan kata-katanya.

“Tuhan memberkatimu dengan mulut yang manis.” ucap Jaemin menanggapi pujian Jeno.

“Kau mau mencobanya?”


🎻


Sebuah festival digelar menyambut musim gugur. Daun-daun berjatuhan mengotori sepanjang jalan disamping Sungai Donau. Udara menjadi semakin dingin namun anehnya terasa hangat karena bau pie apel yang dilelehi sirup mapple. Jalanan ini sangat ramai karena festival tahunan ini selalu menjadi tempat terbaik untuk memulai musim gugur. Seniman-seniman turun ke jalan sekedar untuk memeriahkan atau mencari nafkah.

Pun dulu Jaemin akan turun ke jalan dan memainkan pianonya, tapi tahun ini dia menghabiskan festival musim gugur bersama seseorang yang diam-diam sudah berhasil mencuri hatinya. Seseorang yang begitu agung namun mau menurunkan kakinya dan berjalan bersamanya, menunjuk kanan dan kiri ketika sesuatu terlihat menarik perhatian. Mencoba satu per satu makanan yang tersedia.

Tuan Friedrich Jeno Lee, begitu orang Vienna memanggilnya. Menunduk hormat atau menyapa ketika orang paling kaya di Vienna itu berjalan dengan seorang lelaki yang tidak mereka ketahui. Jeno dengan mantel berbulunya sangat cocok dengan tubuhnya yang menjulang, Jaemin berada di sampingnya berjalan berdampingan.

Jeno berusaha membuat Jaemin tetap berada di dekatnya karena udara dingin, dan Jaemin memakai pakaian yang tidak cukup hangat menurut Jeno. Ingin sekali Jeno melepas mantelnya untuk Jaemin, tetapi lelaki itu melarangnya. Mereka berdua sedang berjalan menuju sebuah gedung untuk menonton Opera.

“Jaemin, pujian apa lagi yang harus aku katakan padamu?” ucap Jeno tiba-tiba.

Jaemin terkekeh, sedikit terbiasa dengan Jeno yang selalu menggodanya seperti itu, “Apa anda telah kehabisan kata-kata, Tuanku?” tanya Jaemin.

Sonata | NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang