Menyembuhkan luka dari trauma memang tak ada yang mudah. Seringkali kita terlihat biasa saja, namun bukan berarti sudah lupa. Kenyataannya kita hanya berpura-pura, dan terus membodohi diri sendiri seolah baik saja, tapi ketika berada di dalam kesunyian akan terlihat bahwa luka itu masih menganga.
Barangkali kalian pernah membaca perihal memaafkan, dan melepaskan.
Tentu saja mau tidak mau kita harus melepas bukan? Memang apalagi yang bisa diharapkan?
Kadang juga kita menyakiti diri dengan berangan yang telah pergi akan kembali, mengingat-ngingat memori indah seolah dia tak pernah datang menoreh luka dan membuat celah, lalu semua berakhir menyalahkan diri sendiri.
Lucu bukan?
Manusia itu lucu, para pecinta itu lucu.Dia yang pergi, tapi kita yang merasa bersalah. Kita lihat seluruh kurangnya kita sebagai manusia, membandingkan diri dengan orang lain, dan menjadikan hal itu alasan seolah mereka yang kini pergi karena kita tak bisa memberi yang cukup untuk mereka butuhkan.
Pada kenyataannya, kita adalah kita.
Aku adalah aku, kamu adalah kamu,
Dan dia adalah dia.Semuanya tak bisa merubah apapun, baik kamu berubah bersikap seperti keinginannya, tak akan menjadi penghalang jika ia sendiri ingin pergi. Justru hal itu membuat kamu kehilangan dirimu sendiri.
Semakin lama, kamu akan kehilangan caranya tertawa, kamu akan lupa caranya menyayangi dirimu, kamu lupa cara mencintai dirimu, kamu lupa caranya peduli pada dirimu sendiri, karena terlalu sibuk memberikan itu semua pada orang lain.
Berharap orang yang kita limpahi kasih sayang, akan membalas hal serupa. Ingat, tak semua orang bisa mengerti apa yang kita inginkan, dan tak semua orang juga paham cara membalas kasih sayang yang mereka dapatkan.
Jangan berbohong dengan bicara kamu sudah merelakan sepenuh hati. Nyatanya siapa yang setiap malam menangis di ruang gelap, menyesali seseorang yang pergi, mengingat kenangan yang tak kunjung hilang?
Tidak! Jangan berbohong lagi dengan berkata:
‘Jika ia bahagia maka aku pun bahagia’
Kamu pembohong ulung, tak ada yang benar-benar baik saja jika kehilangan cintanya. Siapa yang berusaha kamu bodohi? Teman-teman mu? Keluarga mu? Bahkan mereka bisa mudahnya tahu hanya dengan mendengar ceritamu yang selalu terselip namanya dengan embel “Dulu juga aku bersama dia...”
Jadi mari biarkan waktu yang menghapus, cukup nikmati dan jangan biarkan dia yang pergi, kembali masuk walaupun dalam celah mimpi. Jangan pula memaksakan diri, karena hatimu bukan barang yang bisa sekali ganti.
Begitupun dengan Renjun, sudah lima bulan pernikahannya dengan Jeno, belum ada tanda bahwa si mungil kini telah membuka hati. Ingatannya tentang Jaemin kerap kali datang dan sulit untuk dihilangkan. Waktu bersama pria 13 Agustus itu bukanlah waktu yang singkat, berbagai cerita sudah dilalui baik suka maupun duka.
Renjun sadar betul begitu egoisnya dia membiarkan kasih sayang Jeno melimpah sendirian, sedangkan dirinya masih sibuk memikirkan orang lain. Jeno baik, teramat baik padanya. Ia bisa merasakan cinta dari pemuda itu, hanya saja ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Ia ingin mendengar penjelasan langsung dari Jaemin, bukan hanya sederet kalimat yang diukir di atas seutas kertas dengan pena hitam saat pernikahan mereka.
Ah maaf, bukan pernikahan mereka. Tapi pernikahan Renjun, dan Jeno.
Jeno masih sabar, teramat sabar menanti istrinya kelak akan membuka hati. Walaupun akan lama, tak masalah baginya, yang penting mereka sudah bersama. Ngomong-ngomong, mereka juga sudah pindah ke rumah hadiah pernikahan dari kedua orang tua Jeno. Tak ada yang berubah kok, mereka tetap memutuskan tinggal satu kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Life
Fanfiction"Berjanjilah untuk bertemu lagi, berjanjilah untuk mencintaiku lagi di waktu yang tepat, berjanjilah untuk datang dan mencariku. Peluk aku tanpa bersembunyi, katakan cinta tanpa rasa takut. Ayo berbahagia di kehidupan selanjutnya." ucap Renjun salin...