Chapter 4

19 6 0
                                        

Sepanjang perjalanan menuju kampus, Eléa berusaha sebisa mungkin agar ia duduk berjarak dengan Gale.

Ia tidak mau Gale mendengar detak jantungnya yang berdegup kencang.

Bagaimana tidak?

Mengingat senyuman maut Gale tadi saja membuat jantung Eléa semakin berdetak kencang tidak karuan.

Ditambah lagi gestur Gale yang mengelus lembut kepalanya, 100% sukses membuat Eléa baper.

'Ya Tuhan, kuatkanlah aku dari godaan-godaan halu ini', batin Eléa, sambil berharap mereka cepat sampai.

Ketika sudah mendekati fakultas, Eléa menepuk kecil bahu Gale.

"Mmm... Kak, aku turun di sini aja ya? Nggak enak nanti kalau dilihat sama yang lain."

Gale mengintip Eléa dari spion dan memberhentikan motornya kurang lebih 300 meter dari gerbang fakultas.

Eléa langsung melepas jaket Gale seketika turun dari motor.

"Ini Kak, makasih. Maaf jaketnya basah."

"Mmm, makasih juga buat tumpangannya Kak."

Tanpa menunggu respon dari Gale, Eléa langsung berlari kencang meninggalkan Gale.

Gale hanya bisa tersenyum simpul melihat sikap Eléa yang salah tingkah.

Ia masih duduk diam di atas motor, memastikan dari kejauhan kalau Eléa sudah memasuki gerbang.

***

Gale membuka kotak bekal yang sudah dari tadi tidak sabar ingin disantapnya.

Gale segera membuka kotak bekalnya. Ia melihat ada omelet dan beberapa potong sosis yang dilengkapi dengan saus sambal.

'Ah, Ibu...'

Terakhir kali ada seseorang yang membuatkannya bekal ketika ia duduk di kelas 4 SD.

Gale kecil selalu menantikan menu apa yang kira-kira akan dibuat oleh Ibu nya. Terkadang, ia juga sampai request kalau menginginkan makanan tertentu.

Ibunya paling sering membawakan bekal omelet dan sosis.

Tapi semenjak kematian Ibunya, tidak ada lagi yang memasakkan bekal untuk Gale.

Dan sekarang ketika Eléa memberikan kotak bekal untuk Gale dengan menu yang mengingatkannya kepada sosok Ibunya, kebahagiaan sederhana yang sudah sirna itupun muncul kembali.

Memikirkan tentang Ibunya membuat Gale tersenyum.

Gale yang tersadar dari pikiran nostalgianya, langsung memgambil sendok dan memotong kecil omelet itu.

Ia baru hendak memasukkan suapan pertama ketika tepukan keras di bahunya menjatuhkan potongan omeletnya.

"Woppp Gael mamennnn!" sapa Damian, salah satu teman Gael.

"Kok elo ninggalin kita sih !" sahut Alex, teman Gael lainnya yang super sensitif, dari arah belakang.

Damian dan Alex langsung mengambil posisi duduk di depan Gael.

Gael hanya diam, menatap potongan omeletnya yang jatuh.

"Oppss... sorry." kata Damian dengan santai tanpa merasa bersalah.

Gale, Damian dan Alex. Mereka bertiga pertama kali bertemu saat mereka menjadi mahasiswa baru, lebih tepatnya ketika kegiatan Ospek berlangsung. Saat itu mereka bertiga berada dalam satu kelompok karena Nomor Induk Mahasiswa mereka yang berdekatan. Dan entah kenapa, pertemanan itu berlanjut hingga sekarang, padahal sifat mereka bertiga jauh berbeda.

Gale, dikenal dengan sifatnya yang dingin tapi penuh dengan kharisma. Ia juga merupakan top 10 mahasiswa dengan nilai tertinggi di jurusannya. Karena itu banyak mahasiswi yang jatuh hati padanya. Tapi sayang, semua yang menyatakan cinta ditolak mentah-mentah.

Damian mempunyai pembawaan yang easy going, mudah bergaul dengan siapapun. Tapi dia juga cepat tersulut emosinya. Kalau untuk masalah perkuliahan, jangan ditanya. Hobinya adalah TA alias Titip Absen.

Sedangkan Alex, tipe orang yang mudah ikut terbawa arus alias so-so. Untuk urusan perkuliahan, ia tidak terlalu rajin, tapi juga tidak terlalu acuh untuk masalah perkuliahan. IPK nya masih bisa dibilang cukup bagus. Alex sendiri lebih dikenal oleh orang-orang karena suaranya yang merdu. Sering kali Alex menyumbangkan suaranya untuk acara kampus. Terkadang ia juga diminta untuk menyanyi di kafe sembari mengisi waktu luang.

"Lah Bro, sejak kapan lo bawa bekal ke kampus?" tanya Damian sambil mengambil tutup kotak bekal yang menarik perhatiannya.

"Eh tunggu dulu, ini unyu banget deh." lanjut Damian sambil membolak-balikkan tutup kotak bekal bergambar beruang 'unyu' itu.

Alex yang dari tadi juga mengamati pemandangan aneh di depannya a.k.a. Gael dengan kotak bekal unyu pun mulai ikut menginspeksi kotak bekal itu.

"Ini... dari cewek ya?" tanya Alex

"Jangan-jangan..."

"LO PUNYA PACAR?!"

Teriakan Damian berhasil membuat kepo beberapa orang di sekitar mereka.

"Berisik." jawab Gale.

"Kok lo nggak cerita ke kita-kita sih ?" tanya Damian sebal.

"Apalah arti persahabatan kita yang tak seberapa ini." timpal Alex dramatis sambil memegangi sebelah dadanya.

Gale hanya menghela nafas dan mengacuhkan teman-teman nya. Ia pun melanjutkan makan nya.

"Eh, ada sosis. Gue ambil ya!" Damian mencoba mengambil seopotong sosis dari kotak bekal di depan Gael.

Dengan sigap Gael langsung mengambil dan menutup kotak bekalnya.

"Nggak boleh."

"Yah, kan masih ada 2. Bagi satu bisa kali." kata Damian sambil kembali mencoba meraih kotak bekal yang kini berada di dekapan Gael.

"Ini punya gue. "

Gale pun langsung bangkit dari tempat duduk dan berjalan menjauhi kedua teman nya itu.

"Cihhh... Sama makanan aja posesif banget Boss!" sahut Damian kesal.

Alex yang melihat kelakuan kedua temannya itu pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa kecil.

Eléa & GaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang