Bab 8

11.2K 1.2K 26
                                    

"Eh, Dokter Laura."

Ketika Laura keluar dari toilet, dia beramprokan dengan Suster Lisa. Laura membalas sapaan Suster Lisa dengan senyum kecil dan anggukan.

"Gimana sepupunya, Dok? Baik-baik aja?" tanya Suster Lisa.

"Iya, terima kasih." Laura menjawab singkat.

"Saya udah lapor soal Dokter Fabian pergi begitu aja buat beli gorengan saat jaga di IGD," celetuk Suster Lisa. "Setelah Dokter Laura pulang pun, dia masih belum balik, lho."

"Dokter Fabian? Kenapa Dokter Fabian?" Laura mengernyit heran.

"Kan, dia yang seharusnya jaga IGD bareng co-ass kemarin sore."

Laura melongo. "Bukannya Dokter Ergi?"

"Dokter Ergi? Bukan. Tapi, Dokter Ergi emang jaga di IGD sih, shift-nya setelah Dokter Fabian. Sewaktu ganti shift, saya ketemu Dokter Ergi. Sekalian aja saya ngadu juga ke dia."

Jantung Laura mencelus. "Ja-jadi bukan Ergi yang pergi beli gorengan dan nggak balik-balik?"

"Dokter Fabian, Dok. Bukan Dokter Ergi," Suster Lisa menegaskan. "Dokter Laura dengar dari siapa kalau itu Dokter Ergi?"

Ya ampun, Laura keburu menampar Ergi padahal dia tidak salah apa-apa! Rasanya ingin pingsan mendengar penjelasan Suster Lisa.

"Dok?" Suster Lisa melambaikan tangan di depan Laura. "Kok, bengong?"

"Oh—" Laura tersadar. "Sa-saya duluan, ya."

"Silakan, Dok. Jangan lupa sepupunya disuruh datang lagi minggu depan untuk buka jahitan." Suster Lisa melempar senyum.

Laura menyeret langkahnya dengan gontai menuju kantin rumah sakit. Saat kakinya menapak masuk, matanya langsung menangkap sosok Ergi yang sedang duduk sendirian di tengah kantin. Dia begitu lahap menikmati sepiring nasi rames di depan matanya. Cepat-cepat Laura memesan makanan sebelum Ergi keburu selesai dan pergi. Ergi mengangkat kepala saat Laura meletakkan nampan berisi makanan di hadapannya.

"Nggak salah, nih?" Ergi berhenti mengunyah dan menaikkan alis.

"Kosong, kan?" balas Laura.

"Kosong, sih. Tapi, nggak salah kamu mau duduk makan bareng saya?"

"Just this one time." Laura menggumam.

Ergi menggigit kerupuk sambil mengamati nampan makanan Laura. The same old thing again! Apalagi kalau bukan sup ayam?

"Kamu kenapa, sih, makan sup ayam terus? Udah kurus juga." Ergi geleng-geleng kepala.

"Karena sehat, enak, gampang dicerna," sahut Laura.

Ergi hanya mengangkat bahu dan melanjutkan makan.

"Ergi."

"Hmm?"

"Maafin saya, karena udah salah sangka." Akhirnya terucap juga maaf yang tulus dari mulut Laura. "Saya kira, dokter yang kemarin ninggalin IGD begitu aja untuk beli gorengan itu kamu. Ternyata Fabian. Barusan saya dengar dari Suster Lisa."

Laura pikir, Ergi akan balik memakinya, atau setidaknya meledeknya karena sudah sembarangan menuduh orang. Di luar dugaan, Ergi hanya mengangguk dengan santai. "Oke." Begitu saja balasannya.

"Kamu nggak marah sama saya?"

"Kenapa marah? Kamu cuma salah sangka, kan?"

Laura melongo. "Kamu sama sekali nggak marah bahwa saya udah salah sangka, ngatain kamu dokter yang nggak berguna, dan nampar kamu?"

"Saya bingung, tapi kan sekarang kamu udah jelasin karena salah sangka. Udah nyadar salah dan minta maaf pula. Ya udah."

Laura betul-betul tercengang. Sebegitu mudahnya Ergi memaafkan dan melupakan?!

"Anyway, saya lebih concern soal kamu. Apa ada orang yang pernah nyakitin kamu sebelumnya?"

"Hah?"

Ergi menjelaskan. "Maaf, kalau saya sembarangan nyentuh lengan kamu. Saya cuma refleks mau mencegat kamu. Tapi, reaksi kamu tadi abis dari ruangan Papa itu aneh. Apa kamu pernah dipukulin atau sejenisnya?"

Raut wajah Laura seketika berubah. Dia hanya menundukkan kepala, menatap mangkuk supnya lekat-lekat dan menyuapi dirinya dengan cepat. Kenapa Ergi selalu punya cara untuk membuat fokus percakapan mereka menjadi berubah ke arah Laura? She hates talking to people, especially about herself! Kalau dia bisa membuat dirinya tidak kelihatan, sudah pasti dia akan melakukannya. She hates being seen, she hates if people lock their eyes on her, she hates if they ask her "Are you okay?"

Because she is never okay.

"Kamu nggak perlu cerita apa-apa ke saya kalau nggak mau," ucap Ergi. Dia sudah berhenti memandangi Laura dan menyelesaikan suapan terakhirnya. "Tapi, kalau kamu butuh bantuan apa-apa, tolong bilang ke saya. Oke?"

Laura mendengus. "Kamu mau apa dari saya?"

"Hah?"

"Kamu mau apa dari saya?" Laura mengulang pertanyaannya yang membuat kening Ergi berkerut. "Why would you care so much about me?"

"Karena kamu rekan kerja saya."

"Saya cuma rekan kerja kamu."

"We don't even know each other that well."

"You don't have to know people that well to help them." Ergi masih mengernyit heran. "Kalau orang kesusahan, ya, dibantu. Itu aja. Nggak perlu kenal baik dengan orang itu. Bukankah itu juga tugas seorang dokter?"

Laura tak menyahut. Dia cepat-cepat menghabiskan makanannya.

"Or precisely, isn't it the reason why you became a doctor? Kenapa kamu memilih jadi dokter?"

Laura sudah selesai makan. Dia mengambil gelas air minum di meja dan ikut menenggak habis isinya.

"Karena dokter banyak duitnya." Laura menjawab Ergi sambil berdiri. Dia mengangkat nampan bekas dan membawanya ke troli piring-piring kotor. Ergi betul-betul dibuat tercengang oleh ucapan Laura. Karena dokter banyak duitnya?! What the—

Cepat-cepat Ergi menghabiskan teh di gelas minumnya dan ikut beranjak. Setelah meletakkan nampan bekasnya di troli, Ergi berlari-lari kecil, berusaha menjajari langkahnya dengan Laura.

"Karena dokter banyak duitnya? Kamu nggak malu ngomong kayak gitu?" celetuk Ergi. "Kamu nge-charge berapa sih untuk setiap operasi?"

Laura tak menjawab. Bukan karena dia tidak ingin pendapatannya dibaca Ergi, tapi karena dia sudah malas bicara. Apalagi pembicaraannya tidak penting seperti ini. Kenapa juga dia jadi terseret ke dalam sebuah percakapan bersama dengan Ergi? Dia kan hanya ingin meminta maaf saja. It should have been simple and short, bukan malah jadi lanjut ke percakapan bertele-tele seperti ini!

"Nggak heran kamu naik Alfa Romeo. Tapi, beneran itu punya kamu? Kenapa plat nomornya D? Emangnya iya kamu orang Bandung?"

Lama-lama, suara Ergi sungguh-sungguh seperti kaleng rombeng, menanyakan hal yang sama lagi dan lagi bagaikan kaset rusak. Laura masuk ke dalam elevator dan memejamkan mata sejenak, untuk menutup telinganya dari celotehan Ergi yang tiada habisnya. Kenapa dia memilih untuk menjadi seorang dokter? Jelas, bukan 'karena dokter banyak duitnya'. That's a stupid answer. That's a shallow thought!

Namun, alasan utama Laura sendiri juga sama memalukannya. Dia ingin kuliah kedokteran karena durasinya yang panjang, sehingga dia bisa selama mungkin tinggal jauh dari rumahnya. Itulah alasan utama Laura ingin menjadi dokter sejak SMP. Dia benci tinggal di rumahnya. Dia menyesali mengapa harus lahir di keluarga itu. Dia ingin pergi jauh selama yang dia bisa. Lalu sesuatu terjadi saat dia duduk di bangku SMA, yang membuat dia diusir dari rumah. Her wish came true, not completely in a way that she wanted, in fact in a rather torturing, traumatising way. Tapi, pada akhirnya apa yang dia inginkan sejak kecil akhirnya terjadi: dia berhasil pergi jauh dan tak pernah kembali lagi.

~

SINCERELY (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang