Ketika makan bersama dengan Aimee, Laura memang tidak banyak bicara, tetapi dia juga mendengarkan cerita Aimee dengan seksama. Aimee bercerita tentang teman-teman kuliahnya yang seru, dosen-dosennya yang aneh, rekan-rekannya di kantor magang yang baik, tempat-tempat angker di kampusnya, makanan-makanan enak dekat kosnya, everything about her. Laura mendengarkan semuanya, penuh minat, sesekali tersenyum tipis, sesekali tertawa kecil.
"Kenapa kamu memilih untuk jadi arsitek, Aimee?" tanya Laura, setelah mereka selesai makan dan akan menyudahi percakapan.
"Karena aku suka gambar." Aimee menjawab. "Tadinya aku mau jadi ilustrator, tapi waktu SMA aku nemu sebuah sketsa yang bagus. Ternyata, orang yang buat sketsa itu punya harapan tersendiri di balik gambarnya. Aku baru sadar, setiap sketsa punya cerita, setiap rumah punya makna. Dari situ, aku berubah ingin jadi arsitek."
Laura mengangguk-angguk. "Seperti apa sketsanya?"
"Mmm—" Aimee menggumam. "Nggak bisa aku jelaskan, tapi yang jelas, sketsa itu membekas buatku."
"Terus, apa rencanamu selanjutnya?"
"Rencanaku?"
"Iya. Setelah magang ini selesai, kamu mau ngapain?"
"Oh. Aku harus balik ke Bandung, nyelesaiin kuliah di sana, tinggal 2 semester lagi. Tapi, aku sebetulnya apply buat pertukaran mahasiswa ke Jerman. Kalau diterima, setelah magang ini aku lanjut kuliah dan skripsi di sana."
"Jerman?"
Aimee mengangguk. Laura terdiam sejenak. Jerman? Jauh sekali. Seumur hidup, paling jauh Aimee tinggal dari kedua orangtuanya adalah di Jakarta.
"Tapi, Jerman kan jauh banget. Emangnya kamu diizinin sama orangtuamu?" Laura bertanya.
"Diizinin, kok. Mama dan Papa bebasin aku, malah dukung aku, biar aku punya pengalaman yang lebih luas," jawab Aimee.
"Tapi, kamu bakalan sendirian di sana."
"Nggak apa-apa. Aku akan jaga diri dengan baik."
"Tapi, kalau kamu kenapa-napa, nggak ada yang—"
"Ci Laura khawatir sama aku?" Aimee memotong ucapan Laura sambil tertawa kecil.
Laura tak menyahut. Khawatir? Bukan begitu. Tapi, kehidupan di Eropa jauh berbeda dengan di Indonesia. Untuk anak muda seusia Aimee—
"Bukannya Ci Laura bahkan lebih muda dari aku saat pindah sekolah ke Perth? Jauh dan sendirian, tapi Cici bisa jadi orang berhasil."
It's a different case. Laura berbeda dengan Aimee. Laura pindah ke sana karena terpaksa, for her it's a redemption. Dia tidak tergoda dengan apapun karena dia bahkan tidak membuka diri untuk siapapun. Selama hidup di Perth, mulai dari kelas 12 sampai selesai menjadi dokter spesialis, Laura tidak memiliki teman satupun. Ketika hatinya senang setelah resmi menjadi dokter, dia menyimpan perasaan itu sendiri. Ketika dirinya sedang sakit dan merasa menderita, dia pun menyimpan perasaan itu sendiri. Tetapi, Laura sendiri yang memilih jalan hidup seperti itu.
"Tidur, yuk." Mendadak Laura beranjak dari kursi. Dia segera membereskan bekas makan mereka di meja. "Besok kita harus kerja lagi."
Aimee ikut beranjak dan membantu Laura beres-beres. "Biar aku aja yang cuci piring."
"Nggak usah, kamu istirahat aja." Laura menolak.
Aimee tidak pergi, melainkan berdiri di tepi bak cuci piring, menonton Laura.
"Ci," panggil Aimee.
"Hmm?"
"Untuk skripsi nanti, aku mau menyempurnakan sketsa yang menjadi inspirasiku untuk kuliah arsitektur," ucap Aimee. "Supaya suatu hari kalau si pembuat sketsa itu betul-betul mau bangun rumah dari apa yang dia gambar, aku bisa nawarin karyaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
SINCERELY (Completed)
ChickLitDi setiap keluarga, pasti ada saja satu orang yang dilabeli pecundang dan satu lagi yang menjadi everybody's darling. Pecundang itu adalah Laura, cucu pertama, dan everybody's darling adalah Aimee, cucu terakhir. Laura berusaha sebisa mungkin untuk...