Laura benci sekali jika disuruh bicara. Kadang dia ingin mengaku dirinya bisu saja, supaya tidak ada orang yang memaksanya bicara. Bukan cuma bicara di depan umum, tetapi juga bicara tatap muka satu lawan satu. Intinya, she hates talking. Di rumah sakit pun, dia terkenal pelit kata-kata. Bagi para petugas medis, serasa bencana kalau sedang tugas bareng Laura. She just does not speak.
Bukan cuma itu, mereka juga dibuat menderita oleh ruang operasi yang bahkan terasa lebih sepi daripada kamar mayat. Seandainya Laura tahan dengan berbagai bau jenazah yang busuk dan menyengat, sudah pasti dia akan memilih jadi dokter forensik. Selain dokter forensik, spesialisasi yang tidak memerlukannya untuk banyak bicara adalah bedah, or at least that's what she thought.
"Dok, boleh nggak kita pasang musik kalau lagi operasi?" pinta Suster Gita, perawat yang sehari-hari bertugas membantu Laura.
"Saya nggak bisa kerja kalau berisik."
"Musiknya pelan aja kok, Dok."
"Saya nggak bisa kerja kalau ada suara musik."
"Musik klasik kayak sama Dokter Arifin?"
Laura menggeleng. Suster Gita menyerah. Terpaksa dia mengabarkan kepada anggota tim lainnya bahwa operasi yang akan dimulai setengah jam lagi akan sesunyi biasanya. Sebelum operasi, Laura punya kebiasaan khusus. Selain kembali membaca ulang data pasien, dia juga harus minum kopi. Double shot espresso.
"Dok, jangan terlalu banyak minum kopi. Nanti tangannya gemetaran," komentar Suster Gita, menatap Laura dengan horor saat dia menenggak habis double shot espresso untuk kedua kalinya meskipun hari masih pagi.
Laura hanya tersenyum tipis, artinya: I'm fine and please stop nagging me. Setelah beberapa saat bekerja dengan Laura, Suster Gita mulai tahu makna dari bahasa tubuhnya. Ketika sedang lanjut membaca data pasien, ada yang mengetuk pintu ruang kerjanya.
"Permisi, Dokter Laura?" Seorang perawat menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Ternyata Suster Boni, perawat di tim Dokter Arifin, kepala departemen bedah di RS Petra. "Dok, maaf dipanggil Dokter Arifin sekarang."
"Saya ada operasi setengah jam lagi." Laura melihat jam tangannya.
"Katanya sebentar aja, sekarang. Ada orang manajemen mau ketemu." Suster Boni meringis.
Laura segera meletakkan berkas pasien di tangannya. Manajemen? Shit. Setiap petugas medis di rumah sakit pasti akan tegang jika dipanggil oleh manajemen, termasuk juga Laura. Walau dia bisa menjaga ekspresi wajahnya agar datar seperti biasa, sebetulnya jantung Laura berdebar ketakutan. Tanpa membantah lagi, dia keluar mengikuti langkah Boni menuju ruang kerja Dokter Arifin.
Sepanjang jalan mulutnya membisu, berusaha mengingat-ingat kesalahan apa yang sudah dia perbuat. Di depan pintu dengan papan nama Dokter Arifin, Laura berdiri dengan tegang sementara Boni mengetuk. Ketika pintu itu dibuka, kaki Laura langsung terasa lemas melihat pihak manajemen yang ada di sana: Bu Magdala dari bagian public relations. Tidak ada dokter yang mengharapkan bertemu dengan wanita ini, sebab itu berarti mereka sedang terseret kasus dugaan malpraktek.
"Lau, ini Bu Magdala." Dokter Arifin memperkenalkan mereka tanpa basa-basi.
Laura membalas tangan Bu Magdala dan bersalaman. Pikirannya masih menjalar kemana-mana, berusaha mengingat-ingat kesalahan apa yang sudah dia buat, sampai-sampai Laura lupa menyebutkan namanya dan membalas senyum Bu Magdala. Departemen bedah memang salah satu yang rentan kena kasus. Anything can go wrong in the operating theatre.
"Laura, jadi kan rumah sakit kita mulai tahun ini juga jadi rumah sakit pendidikan. Hari ini rombongan koas pertama datang. Bakal ada sedikit liputan pers, kamu yang maju, ya?"
Laura tercengang mendengarnya. "Gimana?"
"Nanti ada wartawan datang, kamu yang maju kasih sedikit tanya jawab, ya?"
Laura mengerjap. Dia masih tidak mengerti job desc yang dijabarkan Dokter Arifin. "Saya ada jadwal operasi."
"Nanti, jam 4 mereka baru datang. Harusnya udah selesai dong? Saya udah lihat jadwal kamu. Sengaja saya minta liputannya setelah kamu selesai operasi."
"Tapi—" Laura menelan ludah. "—kenapa saya?"
"Kamu nggak sendirian, nanti ada Bu Magdala juga dari PR."
"Tapi, kenapa saya?" Laura mengulang pertanyaannya. "Saya kan nggak bertugas membimbing co-ass."
"Soalnya Dokter Laura yang paling menarik di rumah sakit ini," Bu Magdala menjawab. Senyumnya tersungging ramah, tetapi ekspresi datar di wajah Laura tidak juga mencair. "Dokter bedah perempuan kan jarang, terlebih lagi Dokter Laura cantik banget, masih muda pula. Buat kita akan jadi publikasi yang bagus."
"Saya nggak mau."
Bu Magdala terkejut mendengar penolakan Laura yang tanpa basa-basi. Dokter Arifin sudah menduga. Dia memberi isyarat pada Bu Magdala untuk mengizinkannya bicara.
"Laura, harusnya juga bukan kamu, tapi anak saya Ergi. Sayangnya dia masih dalam perjalanan ke Jakarta dan pesawatnya delay," Dokter Arifin menjelaskan. "Nanti kamu cukup nyambut rombongan koas, lalu jawab 1-2 pertanyaan wartawan. Sisanya di-handle Bu Magdala."
"Kenapa nggak Dokter Arifin aja? Kan Dokter Arifin kepala departemen."
Dokter Arifin mendecak tidak sabaran. "Kamu mau saya yang tua dan botak ini maju untuk publikasi? Saya aja males ngelihat muka saya sendiri! Udah deh, Laura, saya nggak mau tau pokoknya jam 4, ya."
Kemudian Dokter Arifin memberi isyarat supaya Laura meninggalkan ruangannya. He isn't exactly the friendliest physician, boleh dibilang malah terkenal cukup belagu. Maklum, dia adalah salah satu pemegang saham terbesar. Setelah kembali ke ruang kerjanya, Laura menyalakan mesin espresso untuk ketiga kalinya hari itu.
"Eh, Dok, Dok!" Suster Gita buru-buru menahannya, mematikan mesin tersebut. "Dokter Laura mau ngapain? Tadi udah dua kali minum double shot!"
Laura memijat batang hidungnya. Dia mengangguk, setuju dengan Suster Gita bahwa dia sudah terlalu banyak minum kopi pagi ini. Dari semua kegiatan yang paling dibencinya sebagai dokter adalah berbicara. Entah itu dengan pasien, dengan sesama petugas medis, atau dengan manajemen. Sekarang, Dokter Arifin malah memberi tugas paling berat itu kepadanya? Tiba-tiba ponsel Laura bergetar. Nama Dokter Arifin berpendar di layarnya.
"Halo?"
"Laura, ingat jam 4, ya. Jangan bikin malu saya di depan manajemen."
Laura hanya diam saja.
"Halo? Hei, Laura? Kamu dengar nggak?"
"Saya dengar."
"Kenapa kamu susah banget sih disuruh ngomong?" Dokter Arifin mengeluh. "Anyway, pokoknya jam 4, ya."
Dokter Arifin memutus sambungan begitu saja. Kenapa susah sekali bagi Laura untuk bicara? Duh, if she knows why, maybe she wouldn't be like this in the first place!
~
KAMU SEDANG MEMBACA
SINCERELY (Completed)
Literatura FemininaDi setiap keluarga, pasti ada saja satu orang yang dilabeli pecundang dan satu lagi yang menjadi everybody's darling. Pecundang itu adalah Laura, cucu pertama, dan everybody's darling adalah Aimee, cucu terakhir. Laura berusaha sebisa mungkin untuk...