Bab 11

10.4K 1.1K 3
                                    

Laura sedikit tersentak dari tidurnya saat merasakan ada tangan yang menyentuh keningnya. Tangan yang lembut, sedikit dingin karena suhu ruangan yang sejuk.

"Ci Laura udah bangun?"

Laura tidak menyahut. Dia bahkan tidak membuka mata. Walaupun sudah bangun, Laura memutuskan untuk pura-pura masih tidur. Entah kenapa Aimee datang lagi, padahal kemarin Laura sudah bilang dia ingin istirahat sendiri. Rasanya tidak nyaman ketika Aimee begitu memperhatikannya. Mungkin, karena Laura tidak pernah melakukan hal yang sama kepada Aimee. Tak lama kemudian, Laura mendengar suara pintu dibuka. Ada seseorang yang menyapa Aimee. Dari suaranya, Laura bisa menebak orang itu adalah Ergi.

"Pagi, Aimee."

"Pagi, Dokter Ergi."

"Hari ini datang lagi?"

"Iya. Sepupu saya baik-baik aja, kan, Dok? Tadi saya pegang, keningnya nggak panas."

Kali ini gantian Ergi yang meletakkan tangannya di kening Laura. Laura bisa merasakan tekstur tangan yang lebih kasar dan hangat.

"Nggak apa-apa. Tenang aja. Kamu nggak ke kantor?"

"Iya, ini mau. Tadi saya mampir sebentar ke sini. Kalau begitu, saya duluan."

"Hati-hati di jalan."

"Terima kasih, Dok."

Laura mendengar suara pintu yang membuka dan menutup.

"Udah, nggak usah pura-pura tidur." Ergi memeriksa infus Laura sambil menggumam. "Kamu jahat banget, sih? Aimee capek-capek jenguk kamu, malah dicuekin."

Laura membuka matanya. "Dari mana kamu tau saya udah bangun?"

Ergi mencondongkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya pada Laura dan tersenyum. "I can read your mind."

Laura mendengus. Lalu, dia meringis saat berusaha untuk duduk. Ergi buru-buru membantunya.

"Aimee itu perhatian banget, lho, sama kamu. Sebelum ke kantor, mampir ke sini dulu untuk jenguk kamu. Ngecek pula apakah badanmu demam, takutnya infeksi," celetuk Ergi.

Laura cuma diam saja.

"Siapa yang handle pasien saya selama saya dirawat?" tanya Laura.

"Saya, lah." Ergi menjawab, membuat Laura menatapnya dengan horor. "Kenapa, sih? Kok, kayak nggak percaya gitu sama saya?"

Laura tidak membalas ucapan Ergi.

"Anyway, saya lihat Alfa Romeo kamu kesepian di lapangan parkir. Apa nggak butuh ditemani? Diajak jalan atau seenggaknya dipanasin? Saya siap, kok." Ergi nyengir, menadahkan telapak tangannya ke hadapan Laura, seolah meminta kunci mobil.

"Alfa Romeo nggak perlu dipanasin." Laura memutar bola matanya.

"Yang urgent sebagian di-handle Papa dan Dokter Irfan. Yang nggak urgent ditunda. It kind of pissed me off bahwa saya nggak diizinin handle pasien kamu." Ergi menggerutu. "Ayah saya sendiri aja nggak percaya sama saya."

Laura mengulum senyum. Welcome to the club. Rasanya sucks banget kan, kalau orangtua sendiri meragukan kemampuan kita? Atau lebih parah lagi, mereka menganggap kemampuan yang kita punya itu tidak penting.

"Kamu ngetawain saya?" Ergi merengut.

Laura menggeleng. Perlahan-lahan dia menurunkan kakinya dari ranjang.

"Kamu mau ke mana?" tanya Ergi.

"Ruang kerja saya."

"Udah bisa jalan? Biar saya bantu." Ergi segera mengulurkan tangannya kepada Laura, tetapi Laura tidak menyambutnya.

SINCERELY (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang