Hari sudah siang ketika akhirnya kremasi jenazah ibu Laura selesai. Ergi tidak ikut prosesi kremasi, membuat Laura merasa lebih terasingkan lagi di antara orang-orang yang sebetulnya merupakan keluarga besarnya sendiri.
"Jangan tersinggung, tapi sebaiknya kamu nggak ikut supaya keluarga saya nggak banyak nanya tentang kamu." Laura menjelaskan.
"Iya, saya ngerti." Ergi mengangguk. "Kabari aja setelahnya, kalau udah waktunya kita pulang ke Jakarta."
Rasanya begitu melelahkan. Kali ini Laura menuruti semua perkataan tetua-tetua di keluarganya, meskipun dia tidak mengerti satupun tata cara yang dilakukan. Laura sadar betul bahwa dirinya begitu menarik perhatian, dalam konteks yang kurang baik tentunya. Beberapa dari om-tantenya tidak tahan untuk tidak menghadapnya langsung dan berkomentar.
"Laura, kamu kok nggak ngelihat jenazah ibumu sebelum tutup peti? Kamu nggak mau ngucapin selamat tinggal?"
"Udah, dalam hati." Laura menjawab sekenanya, membuat mereka terkejut dan diam-diam berdecak heran. Sungguh, anak yang durhaka.
Hanya saja, mereka tidak tahu alasan Laura tidak ingin lagi melihat wajah ibunya. Dia tidak ingin membangkitkan rasa dendam dan kecewa yang sudah mati suri selama bertahun-tahun di dalam hatinya. Dia tidak mau melihat wajah itu, lalu tersulut kembali segala rasa sakitnya, meskipun wajah itu kini sudah tidak bernyawa. Mereka tidak tahu betapa banyak luka yang sudah ditorehkan ibunya pada Laura, so yeah, it's only natural that they assumed a thousand things about her.
Mereka juga kerap membicarakan raut wajah Laura yang datar, tanpa satu air mata pun menetes. Tetapi, bagaimana dia bisa menangis, kalau dia saja tidak pernah merasa kehilangan? Bagaimana dia bisa merasa kehilangan, kalau dia saja tidak pernah merasa punya ikatan? Bagaimana bisa punya ikatan, kalau dia saja tidak pernah merasa dicintai? Bagaimana bisa merasa dicintai, kalau ibunya terang-terangan menyebut Laura janin sial yang masih hidup juga walau berusaha digugurkan?
Selesai kremasi, Laura dan Ergi segera kembali ke Jakarta. Dia tidak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di antara keluarga yang membuatnya selalu berkeringat dingin.
"Makasih banyak, Ergi." Laura mengucap dengan senyum kecil setibanya di Jakarta. Telapak tangannya membuka, memberi isyarat supaya Ergi mengembalikan kunci mobilnya. "Sampai besok."
"Kamu beneran udah mau masuk kerja besok?"
Laura mengangguk. "Mau ngapain juga saya di rumah? Saya lebih suka di rumah sakit, di mana saya lebih merasa berguna."
Ergi tidak membantah lagi. Dia pun pamit untuk pulang dan meninggalkan Laura. Harus Laura akui, setelah Ergi pergi, tiba-tiba dia merasakan sepi. Suasana apartemennya yang sunyi, yang biasanya Laura sukai, kini malah membuatnya merasa tidak nyaman. Laura menyalakan televisi, bukan untuk menonton, melainkan hanya supaya ada suara ramai yang menemaninya. Dia membereskan barang-barangnya, mandi, lalu memasak mi instan di dapur. Rumah itu. Surat ibunya. Ingin rasanya Laura melupakan keduanya.
Saat dia sedang setengah jalan menyantap mi instan, tiba-tiba intercom apartemennya berbunyi. Laura tercengang kaget melihat satpam yang berdiri di sana bersama sosok yang familiar baginya—Aimee!
"I-iya?" Laura segera mengangkat panggilan itu.
"Malam, Bu. Ini ada tamu katanya mau ketemu sama ibu. Saya kasih naik atau gimana?" tanya si satpam.
"Ah—"
Kenapa Aimee tiba-tiba muncul di apartemen Laura?! Setahu dia, Aimee baru akan kembali ke Jakarta lusa. Kenapa dia sudah kembali sekarang dan mendatangi Laura?
"—saya jemput di lobby aja, Pak. Terima kasih."
Laura segera berganti baju, mengambil ponsel dan kuncinya lalu turun. Apa ada hal penting? Dia mengecek ponselnya. Tidak ada pesan atau panggilan tak terjawab. Ketika pintu elevator membuka, Laura melihat sosok Aimee sedang berdiri menunggunya.
"Ci Laura." Aimee menyapa. Dia menggendong ransel di punggungnya dan terlihat lusuh.
"Aimee? Kok, kamu udah balik ke Jakarta?"
"Iya. Tadi aku cepat-cepat nyari tiket kereta balik, untung masih ada."
"Bukannya kamu baliknya lusa?"
"Iya. Tapi, aku putusin untuk balik sekarang aja."
"Kenapa nggak bilang aku? Kamu kan bisa ikut mobil aku."
"Ci Laura udah keburu berangkat." Aimee meringis. "Ci Laura, aku mau tidur di tempat Cici malam ini."
Kedua mata Laura melebar. Apa Aimee diusir dari kosnya? "Kamu nggak kenapa-napa, kan?"
"Nggak ada apa-apa. Aku cuma mau nemenin Ci Laura aja." Aimee menjawab. "Mungkin, Cici memang nggak nangis. Mungkin juga, Ci Laura nggak sedih walaupun Tante Nina baru meninggal karena Cici nggak dekat. Tapi, sekarang pasti Ci Laura ngerasain banyak hal. Aku cuma mau nemenin aja, supaya Cici nggak sendirian."
Laura tercengang mendengarnya.
"Ci Laura pasti butuh seseorang buat nemenin dan meskipun bukan aku orang yang Cici mau, meskipun Ci Laura nggak suka aku ada di sini, meskipun Ci Laura ngusir aku pun, aku akan tetap di sini."
Aimee mengucapkannya dengan tegas dan percaya diri, seolah-olah dia memang bisa membaca hati Laura dengan gamblang. On any given Sunday, Laura would have driven her away. Tapi hari ini, dia tidak sekuat hari-hari yang lalu. Hari ini, emosinya begitu hancur berantakan. Memang, dia ingin sendirian, tetapi di saat yang sama dia juga ingin ada yang menemani. Lagi pula hari sudah malam, tidak mungkin Laura menyuruh Aimee pulang.
"Kamu udah makan belum?" tanya Laura, sambil memencet tombol elevator, pertanda dia menerima Aimee untuk menginap di tempatnya malam itu.
"Belum." Aimee menjawab.
"Mau makan apa? Biar aku pesan. Di rumahku cuma ada mi instan."
"Nggak usah. Aku dibawain makanan banyak sama Mama." Aimee tersenyum kecil.
Saat elevator datang, Laura mengajak Aimee untuk masuk. Langkah Aimee begitu riang mengikuti Laura. Untuk kedua kalinya, dia kembali ke apartemen sepupunya itu. Tak pernah terlintas di benak Aimee, dia akan diterima oleh Laura di sini.
"Kamu punya baju ganti?"
"Ada." Aimee melepas tas ranselnya. Dia mulai mengeluarkan barang-barangnya. "Ci, kali ini aku tidur di sofa aja."
"Nggak usah. Biar kamu tidur di kamarku."
Aimee terlihat ragu, tetapi akhirnya mengangguk. Aimee meletakkan makanan-makanan yang dibawakan Tante Rena untuknya. Ada picnic roll, brownies, batagor dalam kemasan vakum. Semua kesukaan Laura.
"Oh ya, ini buat Dokter Ergi. Katanya dia suka basreng, tapi pasti dia lupa beli oleh-oleh." Aimee meletakkan makanan yang dibungkus plastik warna merah.
Laura mengulum senyum. Ergi pasti senang. Dia sudah bisa menebak, bagaimana Ergi akan menyindir Aimee yang sangat berbeda dengan Laura—Aimee adalah orang yang begitu thoughtful, sedangkan Laura... oh well. Sering kali dia bertanya-tanya, kenapa Aimee bisa menjadi anak yang begitu baik?
"Kamu mau makan yang mana? Biar aku panasin dulu. Kamu mandi aja," ujar Laura.
"Ini semua buat Ci Laura, terserah Cici mau makan yang mana."
Laura mengangguk. Mendadak dia merasa mendapat energi baru saat sedang memotong-motong picnic roll dan batagor untuk dihangatkan kembali. Mungkin, karena itu adalah makanan favoritnya. Mungkin, karena dia jadi punya tujuan lain yang mengalihkan perhatiannya, yaitu menyajikan makanan untuk Aimee. Atau mungkin, sesederhana karena dia senang Aimee masih tetap memperhatikannya dengan tulus, meskipun dia sudah berkali-kali menolaknya, menunjukkan bahwa ternyata masih ada orang di dunia ini yang menganggapnya ada.
~
KAMU SEDANG MEMBACA
SINCERELY (Completed)
ChickLitDi setiap keluarga, pasti ada saja satu orang yang dilabeli pecundang dan satu lagi yang menjadi everybody's darling. Pecundang itu adalah Laura, cucu pertama, dan everybody's darling adalah Aimee, cucu terakhir. Laura berusaha sebisa mungkin untuk...