pukul satu pagi

311 29 4
                                    


Disclaimer: Contains explicit content

//Short//








Rasanya kewalahan setengah mati menahan seluruh debaran yang bergemuruh di dadaku, bahkan kepalaku rasanya jadi luar biasa pening. Kami berdua yang sama sama grasak grusuk bergerak tidak tenang, lalu tangan tangan yang kesana kemari tidak hentinya mencari cari dan mengikuti nalurinya menyentuh apapun yang sempat digapai.

"Lampunya---matiin aja." lidahku bahkan rasanya sampai kelu untuk berucap

Jujur. Yang semacam ini memang bukan hal tabu, apalagi aku dan mas Bram sekarang ini pasangan yang sudah menikah. Tapi aku belum pernah sejauh ini dengan siapapun--- ah ralat, aku memang tidak pernah sampai jauh. Aku cuma pernah dua kali membiarkan seseorang mengambil ciuman di bibir, itupun membuatku serasa berlumur dosa apalagi saat terbayang wajah jidah yang siap mengikat leherku lalu menggantungku hingga sekarat tiba tiba terlintas di benakku.

Tapi ini mas Bram. Sama sekali bukan masalah kalau kami akan berbuat sejauh apapun.

Jangan tanya bagaimana awalnya situasi ini bermula.

Jam satu pagi, di dalam kamar yang biasanya aku dan mas Bram tempati diantara beberapa kamar lain yang ada dirumah ini---diatas ranjang yang berantakan. Kami yang masih sibuk bertautan dan saling memeluk dengan keadaan lampu yang sudah diredupkan---juga nafas yang sedaritadi terengah-engah sekaligus mas Bram yang sudah ada diatas tubuhku entah sejak kapan tepatnya.

"Ira,"

"Mas Bram--" sautku

Aku akhirnya memberanikan diri menatap mata mas Bram karena sedari tadi aku tidak punya cukup keberanian untuk membuka mata ditengah kegiatan kami berdua saat ini.

"Nggak papa?" tanya nya

"Jangan nanya terus," aku masih mengatur nafasku sendiri "Tadi kan udah dijawab."

"Mau mastiin lagi aja."

"Lagian kenapa masih minta ijin?"

"Aku khawatir, mungkin kamu belum siap." Mas Bram berhenti sejenak dan menatapku sepenuhnya dengan jarak yang sangat dekat sampai sampai hidung kami saling bersentuhan.

Ya tuhan. Sorot matanya itu---aku tidak mengerti bagaimana harus menyebutnya.

"Aku nggak papa."

Setelahnya mas Bram kembali melanjutkan apa yang sebelumnya sempat ia tunda, bibirnya mulai bergerak lagi kesana sini---kurasakan kepalanya mulai berpindah ke pucuk kepalaku lalu seperti menghirup aroma rambutku yang padahal sepertinya sudah lumayan dipenuhi keringat selama beberapa saat, kemudian berselang sekian detik mas Bram tiba tiba menggigit kecil ujung kepalaku.

"Aduh! Mas??" aku reflek berjengit akibat ulahnya, sebetulnya bukan karena giginya yang menimbulkan sakit di kepalaku. Hanya saja aku terkejut karenanya.

"Gemes banget sama kamu Ira." wajahnya kembali turun tepat didepanku kemudian menatap kedua mataku lagi "Kepala kamu mau aku makan aja."

Lagi lagi aku bingung, kata katanya terdengar seperti ingin bergurau tapi anehnya nadanya itu terdengar datar dan membuatku jadi merasa aneh.

"Ira, liat aku."

Selepas itu jemariku kembali mencengkeram bahunya erat erat dengan tautan kami yang berlanjut---bersamaan dengan peluh di dahiku, dahinya, juga peluh di tubuh kami yang menetes lalu kulit yang saling bersentuhan. Juga sekeliling tembok ruangan ini yang menjadi saksi bisu.

.



Esoknya, aku terbangun lebih dulu dan baru menyadari kalau kedua kaki mas Bram seperti sedang mengapit kedua kakiku masih dengan selimut yang menutupi kami berdua---aku yang tidur dengan memunggungi nya dan mas Bram yang tidur dengan memeluk tubuhku dari belakang.

Selepas mengecek jam dari layar telpon aku baru menyadari kalau aku dan mas Bram bangun kesiangan untuk subuhan, ini sudah pukul enam pagi.

"Ira, udah bangun?"

Tubuhku entah kenapa seketika menegang, aku pikir mas Bram belum terbangun dari tidurnya.

"Iya,"

"Aku baru inget, semalem kelupaan sesuatu."

"Udah, jangan bahas itu dulu.."

"Ini penting, harus diomongin sekarang."

Aku menghela nafas agak kikuk, menebak nebak hal apa yang akan dikatakan nya.

"Apa?" tanyaku akhirnya pasrah

"Kelupaan pengaman."

"Hah?"

"Ira, maaf.."

Aku masih diam, masih mencerna pikiranku sendiri yang sepertinya belum tersadar sepenuhnya setelah bangun tidur.

"Walaupun kita belum pernah ngomongin masalah ini, tapi menurutku sekarang masih belum waktunya. Kuliah kamu aja belum selesai, setelah lulus kamu juga masih mau kerja dulu segala macem kan."

Aku mulai paham maksut mas Bram. Ternyata ia tidak memikirkan dirinya sendiri, dia masih peduli tentang apa- apa yang ingin aku lakukan kedepannya.

"Mas Bram, kan aku udah bilang nggak papa."

Sedaritadi semenjak kami berdua mulai saling bicara, posisi kami masih tetap seperti semula. Aku masih memunggungi nya.

"Aku nggak mau ngehalangin mau kamu sekalipun kita udah nikah. Kita punya anaknya ditunda aja dulu."

"Mas jangan ngomong gitu, kedengerannya aku jadi kayak jahat banget."

"Besok besok aku janji nggak bakal kelupaan lagi. Seenggaknya sampe udah tepat waktunya,"

"Iya,"

Kami berdua belum juga beranjak dari tempat tidur padahal ini sudah jam enam pagi dan harusnya mas Bram sudah harus mulai bersiap siap. Sedangkan aku untungnya tidak harus berangkat pagi pagi karena hanya akan ada bimbingan siang nanti bersama dosbingku yang minta dikejar sana sini dulu baru muncul.

"Mas, ini udah jam enam lebih."

"Iya." jawabnya masih belum bergeming

"Nggak siap siap?"

"Kamu gak ngampus?"

"Nanti siang, kalo dosbingnya nggak ganti ganti jadwal lagi."

Aku menggeser tubuhku supaya tidak lagi memunggungi nya dan berakhir kami berdua yang jadi berbaring bersisihan sesaat untuk kemudian bangun dari tempat tidur dan memulai hari.

○○○

Get YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang