Ira : pengagum berkedok teman

265 32 0
                                    

Siang ini aku tengah terduduk di salah satu kursi restoran cepat saji yang biasa aku kunjungi, menunggu kedatangan orang yang sudah kutunggu sejak sepuluh menitan yang lalu. Karena aku sudah biasa berdiam disini seorang diri sambil sibuk dengan apa yang sedang kukerjakan, sepuluh menit menunggu bukan hal yang menyusahkan sedikit pun.

Dari sejak pertama aku kesini sampai hari ini pun, aku bukan satu satunya yang sering terlihat sendirian disini. Tempat ini memang akan selalu jadi andalan dan opsi pertama yang akan terlintas di pikiranku baik ketika ada yang mengajak hanya untuk sekedar makan, untuk janjian, ataupun seperti berkumpul dengan teman temanku. Mereka sampai bosan karena jika ditanya aku pasti akan merekomendasikan tempat ini sebagai tujuan.

Aku sadar betul jika kebanyakan mengonsumsi fast food amat sangat tidak baik, ah tapi sesuatu yang sudah jadi favorit ku akan sangat susah untuk digantikan.

Papa dan juga jidah sampai menyerah menasehati ku. Sebetulnya aku juga sudah mulai membiasakan diri mengurangi kebiasaan kurang baik ku yang ini.

Dari kejauhan akhirnya ada seorang laki laki yang terlihat seperti habis menengok kesana sini sibuk mencari yang dia cari kemudian tersenyum ramah setelah mata kami bertemu sambil melambai kecil untuk menarik atensiku.

Benar benar ciri khasnya. Gesture tubuhnya yang tegap, lalu matanya yang--ah sudahlah aku bingung bagaimana menjelaskannya. Kalau orang bilang mataku ini indah dan begitu lebar, menurutku sendiri matanya jauh lebih indah dari milik siapapun yang pernah kutemui. Matanya tidak lebar, tapi tidak sipit. Entahlah, matanya seolah selalu bersinar sinar ketika sedang menatap.

Ya ampun. Padahal pertemuan ini bukan dalam rangka nge date atau semacamnya, tapi aku senang sekali bisa menemuinya hanya berdua begini.

"Maaf ya Ra, gue telat."

"Gue juga belum lama kok Dit, hehe." jawabku cengar cengir sok manis "Gak mau pesen dulu?" tanyaku ke arahnya yang belum ada semenit duduk dihadapanku

"Bentar ya Ra, gue tinggal mesen."

Jangan kelamaan Dit.

Sayangnya itu hanya suara hatiku, mana berani aku berucap demikian. Anggap aku memang seorang pengecut.

Aku dipertemukan dengan Aditya karena awalnya kami berada dalam satu kepanitiaan saat kami masih semester tiga waktu itu. Kami mulai jadi berteman cukup dekat karena keterlibatan Adit denganku menangani urusan di satu divisi kepanitiaan yang sama.

Iya, hanya teman dekat.

Aditya yang masih satu fakultas denganku, dan baru aku sadari saat bertemu dengannya di kepanitiaan kalau pesonanya bisa membuat siapapun tertarik untuk ada di dekatnya. Aditya yang selalu terlihat cocok memimpin rekan rekannya. Aditya yang jarang tersenyum tapi begitu senyum justru kelewat manis--maksutku kelewat ramah. Iya, dia hanya ramah pada semua orang.

Kedua matanya yang selalu berhasil membuatku mengingatkan diri sendiri berkali kali agar tidak terus menerus kebablasan mengamati matanya saat sedang berbicara.

Haaaaaah. Aku seperti pengagum rahasia yang berkedok menjadi seorang teman sungguhan supaya bisa ada di dekatnya setiap ada kesempatan.

"Sekali kali jangan nongkrongin mekdi terus Ra. Nggak bosen apa lo?" tukas Adit duduk di tempatnya sambil membawa nampan pesanannya sendiri

"Enak tau Dit diem disini sambil nugas. Mau gue pake wifi nya sampe berjam jam juga gak bakal ada yang ngusir, padahal gue belinya kadang sebiji doang."

Jangan ketawa begitu Dit, lama lama gak sanggup.

"Raaa, Raa. Jangan kayak orang susah deh lo. Lagian emang disini doang yang ada wifi nya?"

Get YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang