"YEAY, JESSIE UDAH BOLEH PULANG!" Teriak suara cempreng sahabatnya.
Akhirnya setelah berada cukup lama di rumah sakit, tadi dokter mengatakan Jessie sudah boleh pulang karena keadaannya yang sudah sangat baik atau sembuh. Anehnya, orangtuanya masih ingin dirinya dirawat karena khawatir tapi dengan cepat ia membujuk mereka.
Di ruangannya sekarang hanya ada ketiga sahabatnya saja. orang tuanya tengah berbicara dengan dokter dan juga mengurus hal untuk kepulangannya sedangkan kakak kembarnya tengah berada disekolah. mereka sudah banyak membolos, lalu akhirnya mendapat teguran karena sudah kelas tiga.
Ketiga sahabatnya sekarang juga membolos, ketiganya tak terlalu perduli ketika mendapat teguran karena mereka juga baru duduk di bangku kelas dua.
"Gue senang banget, lo udah boleh pulang. Kita bisa shoping, nyalon, nongkrong bareng lagi nanti." Ujar Kate tersenyum lebar.
"Iya benar banget." Setuju Steffa, "Apalagi kemarin kafe depan sekolah baru aja open, kita bisa datang ke sana sama-sama nanti. nongkrong bareng lagi, kangen banget deh!" Ujarnya semangat.
"Kangen ditraktir, Jessie!" Ujar Tere membuat mereka menatap gadis itu sinis.
"Heran gue sama lo, Re. Anak orkay tapi maunya traktiran mulu." Ujar Steffa, "Eh, apa jangan-jangan bokap lo otw bangkrut?"
Tere melotot tak terima, "Lo doain bokap gue bangkrut?"
"Gue nanya!"
"Dalam kamus keluarga gue tuh gak ada kata bangkrut asal lo tahu aja!" Ujar Tere ketus.
"Terus, ngapain lo kangen di traktir? Dan kalau di ingat-ingat emang kita sering banget traktir lo tapi lo gak pernah."
"Kok gue baru sadar yah!" Ujar Kate menatap Tere.
"Enak aja, gue sering kok traktir kalian!"
"Kapan coba?" Kompak Kate dan Steffa.
"Dalam mimpi!"
"ANJING!"
Tere tertawa santai, berbeda dengan Jessie yang agak terkejut mendengar kata kasar itu.
"Ih, gak boleh ngomong kasar!"
Tawa Tere sontak terhenti, ketiganya menatap Jessie.
"Kita ngomong kasar di ajarin lu kali, Jessie!"
"Masa sih?"
"Iya, lagian aneh deh, lo tiba-tiba ngomong gak boleh ngomong kasar padahal lo jagonya ngumpat." Ujar Kate.
Ah, Jessie ingat itu. Tapikan, sekarang ia bukanlah dirinya. Kok ribet gitu katanya. Intinya, ia bukanlah Jessie yang dulu.
"Sayang!"
Mereka menoleh, menatap kedua orang tuanya yang masuk ke dalam ruangan.
"Siap-siap yuk!"
"Jeje udah boleh pulang sekarang, Mi, Pi?" Tanyanya senang.
"Iya sayang!"
"YEAYYY!" Bukan Jessie, tapi ketiga sahabatnya lah yang berteriak senang.
"Ayok mami bantu siap-siap!"
Jessie mengangguk, ia lalu mulai siap-siap. akhirnya bisa keluar dari rumah sakit, jujur saja tempat ini membosankan.
****
Mansion Keluarga Argentara.
Turun dari mobil, Jessie menatap takjub bangunan megah bertingkat tiga dihadapannya sekarang. lima kali lipat lebih besar dari rumahnya.
"Ayok sayang!" Ajak Andin.
Jessie menoleh, ia lalu mengangguk dan berjalan digandeng oleh Andin, lalu disampingnya juga ada Tara. ketiga sahabatnya pergi ke sekolah setelah orangtua mereka menelfon marena sekolah yang memberitahu ketiganya membolos lagi. Jessie menjadi merasa bersalah, karena ia ketiganya pasti dimarahi. Tapi mau bagaimana lagi, Jessie bukannya tak mengingatkan, sering tapi ketiganya tak perduli. jadi sudahlah, ia juga pasrah.
Kedatangan mereka di sambut baik oleh para supir, pengawal serta pelayan mansion yang turut senang si bungsu kembali pulang ke mansion.
Masuk ke dalam mansion, Jessie kembali dibuat takjub oleh desain interior mansion yang elegan namun mewah.
"Sayang, papi mau balik lagi ke kantor ada urusan pekerjaan, urgent. kamu istirahat yah!" Ujar Tara lalu mengecup kening anaknya setelahnya baru istirnya. Ia lalu pamit pergi.
Andin lalu mengajak Jessie ke kamarnya yang terletak di lantai dua, keduanya tak naik anak tangga tapi lift. yah, mansion ini memiliki lift.
Sampainya di lantai dua, Jessie mengikuti saja langkah Andin sampai keduanya masuk ke dalam kamarnya. Ruangan luas serba blue yang tertata rapi. mulai dari tempat tidur, sofa, karpet berbulu, tirai, lemari kaca berisi boneka, cat dinding serta banyak benda lainnya.
"Mami tinggal kamu harus istirahat yah! Ujar Andin.
"Iya, mami!"
Andin tersenyum lebar kemudian berlalu keluar dari kamarnya, tak lupa menutup kembali pintu.
Jessie tadi penasaran saat melihat pintu biru yang terletak di sudut kamarnya. Ia berjalan masuk ke dalam ruangan yang ternyata adalah walk in closet yang dipenuhi banyak gaun tertata rapi, ada juga lemari kaca berisi tas dan sepatu branded. Dan juga aksesoris.
"Chanel, gucci, hermes, louis vuitton." Ia menyebutkan barang-barang branded itu, ada banyak lagi.
"Semuanya masih kayak mimpi, dalam satu malam gue jadi anak konglomerat!" Ujarnya.
"Gue ngejalanin hidup karakter yang harusnya meninggal!"
Jessie baru ingat, "Eh, kalau gue gak jadi mati, terus gimana nanti si karakter utama? Kakak gue Kiara gimana nasibnya?" Tanyanya.
"Apa dia bakalan dapat donor atau gak?"
"Apa ceritanya bakalan berubah jadi sad ending?"
Jessie menjadi pusing memikirkannya, ia lalu melirik sebuah laci yang tampak terbuka. Ia berjalan melihatnya, hendak menutupnya tapi penasaran dengan isisnya jadi ia melihatnya terlebih dahulu.
Matanya sontak melotot,
"GILA!"
Isi laci itu penuh dengan handphone keluaran terbaru dengan harga selangit.
Ah, iya baru ingat jika karakter Jessie yang emosian hingga suka membanting handphonenya. Jadi gadis itu pun ngestok handphone. Anak orkay mah beda, bukan cemilan tapi handphone, mahal pula tuh.
Jessie menutup lacinya kemudian beranjak, ia lalu melihat laci-laci lainnya yang membuat penasaran.
Selain handphone, ternyata ada juga laci yang dipenuhi uang, jam alarm dan beberapa barang yang mungkin di koleksi Jessie.
Selesai dengan laci-laci itu kini Jessie menatap seragam sekolahnya. Alaska High School.
Kemeja putih dibalut almamater navy, dasi navy bergaris tapi Jessie lebih sering menggunakan dasi pita berwarna biru, lalu dipadukan rok berwarna cream.
Melihat seragam bagus itu membuat Jessie tersenyum lebar, ia jadi tak sabar memakainya besok.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTAGONIS | DUNIA NOVEL
Novela JuvenilJessie Argentara. Gadis berusia enam belas tahun itu tak menyangka modal berkhayal saja bisa membuatnya masuk ke dalam dunia novel. Tapi sayangnya buka sebagai peran utama, tapi sang antagonis. Antagonis yang harusnya mati, tapi malah hidup lagi. **...