Zain Cryo Elmora

28 6 0
                                    

Sinar mentari masuk dari celah jendela menyinari seseorang yang tertidur sangat pulas. Sepertinya mimpi indah menahannya untuk membuka mata.

"Zain ayo bangun, Ibu buatkan cupcake untukmu kalau tidak bangun nanti cupcakenya diambil Ayah" suara lembut itu berusaha membangunkan sang anak dari tidurnya.

"Mana cupcakeku?" dia terbangun dan suaranya seperti mengigau mencari cupcake.

"Pertama-tama Zain harus mandi dulu, cupcakenya menunggu di bawah". Dengan cepat aku pergi ke kamar mandi dan bergegas turun. Cupcake itu tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Hanya aku yang akan memakan semuanya.

Drukk... Drukk...

Suara langkah kaki yang cepat terdengar menuruni tangga. Hampir tersandung kakiku sendiri tapi masih bisa seimbang.

"Pelan-pelan Nak" nasihat Ibu pun tak dihiraukannya.

Yang paling penting disini adalah cupcake berbentuk kelinci yang ada di depan mata. Serbu....

Nyam-nyam, makan sampai belepotan kemana-mana. Kelinci saja tidak makan seperti itu karena kelinci makan sayuran.

"Kau tidak mau memberikan satu pada Ayah?" tanya Ayah.

"Tidak, ini semua punya Zain" tangannya membuat lingkaran di meja seolah-olah memeluk beberapa cupcake.

Padahal Ayahnya hanya bercanda, tapi wajahnya seserius itu. Dia tetap makan dengan lahap sampai semuanya habis tak bersisa. Tidak termasuk bungkusnya yang tidak enak dimakan.

"Ah kenyangnya!" sambil mengelus perutnya.

"Apakah Popo sudah diberi makan?" tanya Ibu.

Popo itu adalah hewan kesayanganku. Dia seekor kelinci berwarna putih, bulunya halus sekali seperti kapas. Matanya bulat, pipinya tembam, giginya dua di depan imut sekali. Aku keasyikan makan sampai lupa pada Popo.

"Popo kau dimana?" suaraku agak berteriak takut Popo tidak dengar.

Di depan rumah ada halaman juga rumah kecil untuk tempat tinggalnya. Dia itu sangat kecil aku tidak bisa langsung menemukannya.

Baru dipanggil satu kali dia sudah muncul. Selain imut dan lucu, Popo sangat pintar juga penurut. Tapi dia hanya akan menurut pada majikannya yaitu aku.

"Ayo makan, Popo harus makan yang banyak ya" kataku.

Kuberikan dia sayuran berwarna oranye. Yups itu adalah wortel kesukaan kelinci pada umumnya. Kedua tangan memegang wortel yang digigiti dengan dua gigi tengahnya.

Karena tidak tahan, aku mengangkat dan memeluknya. Gemas sekali, sedangkan sang kelinci sibuk memakan wortel.

"Tuan ada yang mencari anda" ucap penjaga padaku.

Salah satu bodyguard Ayah yang berbadan besar, tinggi, dan sangar datang padaku. Awalnya aku memang takut padanya. Tapi setelah dia menolongku aku sudah tidak takut lagi. Aku mengerti sekarang mereka terlihat jahat diluar tapi baik di dalam hatinya.

Aku terus mengangguk dan pergi ke arah gerbang. Disana terlihat seseorang yang tidak aku kenali.

"Apa anda Zain?" tanya orang tersebut.

"Ya itu aku, ada apa memangnya?" kataku.

Dia menyodorkan sebuah amplop sedang dari dalam jubahnya. Dari bentuknya ini sudah pasti surat.

"Saya hanya ingin mengantarkan ini, saya permisi dulu" dia berbalik arah dan ingin pergi setelah membungkukkan badan.

"Eh tunggu, ayo mampir dulu ke rumahku ya ya" kataku girang. Sudah lama aku tidak mengajak seseorang main ke rumah karena satu hal.

Orang itu hanya pasrah karena tangannya di tarik oleh pria bergigi kelinci itu.

"Ini rumahku, silahkan duduk dulu aku akan membawakan cemilan untukmu" dengan agak berlari aku menuju ke dapur.

Aku mengambil beberapa snack dan jus buatan Ibu tadi.

"Makanan sebanyak itu untuk siapa Zain?" tanya Ibu.

"Untuk teman baruku" kataku.

Kali ini tidak berlari, hanya berjalan biasa. Aku tidak mau menumpahkan semua makanan ini. Lalu kuletakkan makanan di depannya tepatnya di atas meja.

"Silahkan dimakan, kalau kurang masih ada banyak kok" ucapku saat menyuguhkan makanan.

"Ayo makan yang banyak, oh iya siapa namamu kalau namaku Zain Cryo Elmora" ucapku sambil mengulurkan tangan.

"Namaku Vidian Ceiora". Dia menerima uluran tanganku. Hangat itu yang aku rasakan. Padahal di luar dingin sehabis hujan.

"Jadi, bagaimana?" tanyanya padaku.

"Apa?"
Aku kebingungan ketika dia menanyakan itu.

"Kau belum membuka suratnya. Coba buka sekarang!"

Surat yang tadi dia berikan kubuka. Dan kubaca perlahan sampai tulisan terbawah. Ini tentang sekolah dan kalian tahu aku senang sekali.

"Apa kau akan pergi ke sana?" tanyanya lagi, sedangkan aku hanya terdiam.

Sebenarnya aku masih ragu untuk pergi. Orangtuaku belum pasti akan mengijinkan. Ditambah fisik dan mental yang lemah. Semuanya tidak mendukungku.

"Dia tidak akan pergi kemana-pun!"

Tiba-tiba suara keras mengagetkan kami berdua. Dari nada yang terucap dia seperti tidak setuju dengan hal ini. "Ayah" hanya itu yang aku katakan.

Aku menunduk tidak berani menatap ke arahnya. Saat dia mengatakan tidak maka hal itu tidak akan terjadi. Sedangkan Vidian mencoba untuk berbicara dengan ayah.

Aku sedikit menggelengkan kepala padanya. Sebagai tanda bahwa ayah tidak akan mengijinkanku pergi. Walau dibujuk sekalipun dia tidak akan berubah pikiran.

Akhirnya hal yang tidak aku inginkan terjadi. Ayah mengusirnya keluar dari rumah. Mengusir Vidian dengan cara yang buruk. Sangat buruk hingga aku tidak tahan dengan semuanya. Dan pergi ke kamar mengurung diri.

Terdengar suara Ibu di luar sambil mengetuk pintu. Dia mencoba bicara padaku. "Nak, ayo keluar kita bicara dengan Ayah. Dia tidak bermaksud untuk melukai hatimu. Ibu mohon buka pintunya!"

Tidak, apapun yang terjadi aku tidak akan keluar dari sini. Bukankah dia egois, kasih sayangnya hanyalah sebuah kepalsuan. Bolehkah aku membencinya. Aku tidak bisa lagi seperti ini.

Aku tidak akan pernah memaafkanmu. Pergilah dari hidupku penjahat.
Aaaaaaaa......
Prangg....

Suara Ibu mulai terdengar samar seiring mata menutup.

The Seven Elements of the ContinentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang