Tidak ada pembahasan apapun dari Ellyana maupun Alfred. Keduanya sama-sama diam hingga hujan pun turun dengan deras, membuat Ellyana memeluk tubuhnya menggigil. Kakinya masih susah digerakkan, entah kenapa Ellyana merasa ada sebuah tangan yang menghalanginya sehingga ia tidak bisa kemana-mana selain berdiam diri di tempat.
Alfred memicingkan matanya selidik, memperhatikan gerak-gerik Ellyana yang bersusah payah ingin menggerakkan kakinya. Tangannya terus saja mengelus-elus sikutnya karena kedinginan. Lama kelamaan Alfred pun tidak tega dengan Ellyana, ia menatap mata kaki Ellyana tajam dengan sorot mata birunya, seakan-akan memerintahkan kaki Ellyana agar bisa bergerak seperti sedia kala lagi.
Tidak lama kemudian kaki Ellyana yang tadinya susah digerakkan kini ringan untuk bergerak kesana-kemari. “Aeughhhh ... pegal sekali.”
Mendengar lenguhan Ellyana, dengan segera Alfred mendekatinya. “Ada apa? Apa kakimu terluka?”
“Tidak,” ucap Ellyana mengelus-elus kakinya yang membiru. “Aku tidak terluka, tadi kakiku susah untuk digerakkan, dan mungkin kakiku saat ini sedang keram. Tidak apa, nanti juga sembuh sendiri.”
“Coba aku lihat, pasti itu sangat sakit, terlihat dari warnanya yang membiru,” ucap Alfred berjongkok, tepat di hadapan Ellyana yang menutupi kakinya menggunakan rok nya yang panjang.
“Tidak, aku tidak apa-apa. Kau bol---.”
“TOLONG!!”
Ucapan Ellyana terpotong oleh jeritan seseorang yang meminta tolong dari luar gua. Alfred menatap Ellyana sebentar, lalu menatap pintu gua sekilas. “Suara siapa tadi?”
“Aku tidak tahu, tetapi dari suaranya, seperti orang yang meminta bantuan dari luar.” ucap Ellyana berusaha bangkit dari duduknya.
Alfred mengernyitkan dahinya bingung saat melihat Ellyana berjalan keluar gua. “Kau mau kemana?”
“Membantu orang yang tadi meminta tolong. Apakah kau tidak mendengarnya? Orang itu berteriak-teriak meminta pertolongan?” Ellyana membalikkan badannya menghadap ke arah Alfred yang kini sudah berada di depan pintu gua.
Terdengar helaan napas panjang yang keluar dari mulut Alfred. Laki-laki segera keluar dari gua, dan menerobos hujan yang kian mereda. “Sebaiknya kau istirahat di dalam. Biar aku saja yang menolong orang itu, diluar masih hujan.”
Ellyana menggeleng-gelengkan kepalanya tidak mau. “Kau tahu, aku ini penakut. Mana mungkin aku bisa istirahat dengan tenang di gua yang gelap seperti itu? Lagian hujannya tidak terlalu deras seperti tadi.”
Alfred menggeembuskan napasnya, sabar. “Keras kepala,” gumam Alfred berjalan keluar dari tempat persembunyiannya. Tetapi sebelum itu, Alfred memejamkan matanya untuk memeriksa lingkungan yang berada di sekitarnya, aman atau tidak?
Setelah dirasakan aman. Alfred segera keluar dari gua diikuti oleh Ellyana di belakangnya, kedua mata mereka menangkap seorang laki-laki berpakaian serba emas, namun dengan kaki yang diikat dengan berbagai tali rantai yang cukup membuatnya kesakitan.
Ellyana menutup mulutnya syok. Tetapi berbeda dengan Alfred yang tampak biasa-biasa saja saat melihat orang itu merintih kesakitan. Ellyana segera menghampirinya, dan membuka ikatan tali rantai yang mengikat kakinya.
Tetapi tetap saja, tenaga Ellyana tidak kuat untuk membuka tali rantai tersebut. “Alfred. Tolong bantu aku untuk melepaskan rantainya.”
“Tidak usah dilepaskan. Dia pantas mendapatkan hukuman seperti itu,” ucap Alfred menatap orang yang berada dihadapannya dengan tatapan tajam.
Ellyana melotot kaget. “Apa maksudmu? Dia kesusahan untuk bergerak. Apa kau gila? Kakinya sudah terluka.”
Orang yang berada di hadapannya berubah menjadi seekor ular yang berwarna-warni, membuat Alfred menatap Ellyana tajam. Ular itu hendak mematuk kaki Ellyana, untung saja Alfred segera memeluknya sehingga Ellyana terjatuh ke dada bidang laki-laki itu.
“Kau lihat? Dia bukan manusia biasa, tetapi siluman ular yang menyamar sebagai manusia untuk mengetahui keberadaan kita, dia mata-mata Laneglar,” ucap Alfred menjauh dari pohon yang tadi ditempati siluman ular yang Alfred kenal sebagai mata-mata Raja Laneglar.
Ellyana tampak terdiam kaku. Mereka segera memasuki gua itu kembali, namun saat Alfred melangkahkan kakinya, tiba-tiba ada seseorang yang menahan tangannya.
“Tuan!” panggil seorang prajurit yang memakai baju besi di seluruh tubuhnya.
Alfred menoleh ke arahnya. “Ada apa? Kenapa kau ada disini? Bukannya aku menyuruhmu untuk menjaga istanaku yang berada di langit?”
Prajurit tersebut menundukkan kepalanya. “Maaf Tuan, saya hanya ingin menyampaikan pesan dari Ibunda Ratu. Kalau Tuan disuruh untuk berperang dengan Raja kneth untuk merebut sang kekuasaan penduduk.”
Alfred menatap prajurit itu dengan tatapan datar. “Kenapa harus aku? Bukannya ada Jhon yang berada di istana? Dia lebih ahli dalam bidang perperangan.”
“Tidak Tuan, Ibunda Ratu hanya menyuruh Tuan untuk berperang. Bukan Tuan Jhon,” ucapnya menundukkan kepalanya, menghormati atasannya.
Alfred menggeembuskan napasnya, sabar. Tatapannya jatuh kepada Ellyana yang masih menundukkan kepalanya seperti prajuritnya yang berada di sampingnya. “Ellyana.”
Mendengar namanya disebut, Ellyana langsung mendongakkan kepalanya karena tubuh Alfred dan dirinya bagaikan tiang listrik dan pohon cabe yang tidak bisa dijangkau lebih, selain bahunya saja yang dapat Ellyana jangkau.
“Kenapa?”
Alfred mendekatkan wajahnya di hadapan Ellyana. “Ikutlah denganku Ellyana, ikut aku berperang dengan Raja Kenth.”
Ellyana menggeleng-gelengkan kepalanya kuat. “Tidak. Aku takut dunia perperangan. Lagian, siapa aku yang harus menemanimu berperang?”
“Kau---.” Alfred menjeda ucapannya, menatap manik mata Ellyana dengan serius. “Permaisuriku.”
--- TBC --
KAMU SEDANG MEMBACA
King Alfred The knight [SELESAI]
FantasiLuka, derita, derai air mata. Semua itu telah Ellyana dapatkan. Ditinggalkan kedua orang tuanya bukanlah kebahagiaan untuk Ellyana. Melainkan keburukan yang harus dijalaninya selama hidup di muka bumi ini. Jerit hati dan luka duri yang keluarganya t...