Bab IV : Registration Antrophodia Day

151 27 13
                                        

Hari ini adalah dimana para murid baru yang lolos Entrance Examination sebanyak dua ratus siswa dari ribuan calon siswa baru. Banyak wajah-wajah baru disini, tentu saja sangat mereka semua sangat berbau uang. Mereka tidak akan bisa menyelesaikan registrasi jika mereka bukan orang berada.

Salah satu yang mengalihkan perhatian. Gedung registrasi ini sangat luas, walaupun tidak seluas auditorium. Bermacam pendingin ruangan, puluhan lampu yang membuat ruangan ini terang benderang walaupun ini disiang hari, dan ratusan kursi yang berjejer berhadapan dengan meja besar berisi para staf dan guru Antrophodia.

Hanya registrasi biasa. Membayar biaya daftar ulang dan mengambil seragam yang sesuai dengan ukuran pada siswa. Tentu didampingi oleh orang tua. Wajah mereka terlihat senang dan bangga melihat putri dan putra mereka saat mencoba dan mengenakan almamater Antrophodia.

Seragam Antrophodia terlihat elegan. Almamater dengan logo khas Antrophodia di sakunya. Blus putih dengan switer berwarna cream sebagai lapisan luar. Dan batik bermotif unik dengan ukiran khas seorang pembatik ternama.

Serta berbagai perintilannya seperti name tag, dasi, kaos kaki, dan sepatu. Masing-masing benda memiliki ciri khas Antrophodia. Tidak dijual diluar sekolah.

"Itu si nomor satu?" Mata gadis itu berusaha melihat ke depan. Matanya sedikit rabun dengan jarak sejauh itu sehingga tidak dapat melihat terlalu jelas apa yang ada didepannya. Ia hanya mendengar nama si nomor satu itu dari pengeras suara yang memanggil satu persatu nama murid baru.

"Gila sih. Berapa lama dia belajar buat masuk Antrophodia?" Gadis itu mengambil sebotol air mineral yang diberikan neneknya. Entah dari mana.

Setelah selang beberapa menit, satu nama kembali disebutkan. Wajah gadis itu tidak terlihat cerah. Ia hanya menunduk dan melangkah lesu menuju meja besar itu. Seorang pria disampingnya, yang ia yakini bahwa itu ayahnya berusaha membuat gadis itu tersenyum.

"Gapapa, Mama ga bisa dateng bukan karena ga sayang sama kamu. Toh ada Papa. Ga usah pikirin mama dulu oke? Don't let anything ruin your special day" Sang ayah mengelus rambut pendek putrinya. Perhatian seorang ayah pada putri sulung bisa mengalahkan perhatian kepada anak bungsu, yah walaupun tak jarang mereka memiliki gengsi yang tinggi.

Gadis itu mengangguk. Mengukir senyum lebar diwajahnya. Kembali melangkah dengan bersemangat. Bukan langkah orang tipes seperti tadi.

Beralih ke kursi barisan ke tiga puluh empat, matanya tidak berhenti menatap salah satu pemuda di sampingnya. Pemuda itu sadar jika gadis disampingnya menatapnya begitu lama. Membuat ia sedikit risih.

Pemuda itu akhirnya berani untuk berbicara. "Kenapa? Ada yang salah dengan penampilan gue?"

Gadis itu menggeleng. "Gue baru inget. Ternyata lo juga lulus. Baguslah. Makasih buat bantuan lo."

Pemuda ini pintar. Di otaknya banyak tersimpan memori rumus fisika dan kimia. Namun jika soal mengingat orang, dia lemah sekali. Ia sangat cepat lupa dengan orang yang sedikit berinteraksi dengannya.

"Kartu lo kebalik. Makanya ga bisa." Gadis itu sengaja menirukan suara milik pemuda itu saat membantu kecerobohannya saat Entrance Examination yang lalu. Pemuda itu mengangguk. Ia ingat sekarang siapa gadis yang menatapnya hampir satu jam hanya untuk berterimakasih.

"Iya sama-sama. Lain kali langsung bilang aja, ga usah pake acara melotot. Tau kok gue ganteng." Sifat tengil dari pemuda ini mulai terlihat. Gadis itu memutar bola matanya. Urusannya sudah selesai sekarang. Namanya juga persis terdengar lewat di pengeras suara di sudut-sudut ruangan ini. Ia berdiri, menuju meja registrasi.

Yang membuat pemuda ini sedikit heran, kenapa gadis ini hanya pergi sendiri?

"Antrophodia" Gumam seorang gadis yang berdiri disudut ruangan. Entahlah mengapa ia tidak tertarik untuk duduk. Padahal Orang tua dan adik kembarnya telah menyediakan bangku kosong disampingnya. Gadis ini malah memilih untuk berdiri.

A+ ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang