Bab VI : Dormitory and Approval

136 19 3
                                    

Pagi itu Shabira menatap kembali jendela lebar dikamarnya. Otaknya kembali memikirkan ucapan yang nenek beberapa hari yang lalu. Ia tadi juga sempat menonton acara penyambutan siswa baru Antrophodia di televisi.

Ia tahu betul, ia akan didiskualifikasi dari murid undangan jika tidak hadir dalam penyambutan tersebut. Ia benar-benar masih bingung. Nenek bahkan sampai menginap tiga hari dirumahnya untuk berjaga-jaga jika ia berubah pikiran.

Tetapi hari ini nenek pulang kerumahnya. Tidak ada harapan lagi jika acara penyambutan siswa baru telah dilaksanakan. Shabira juga sejak tadi tidak mau keluar dari kamarnya. Gadis itu tetap tidak mau masuk Antrophodia.

"Maaf, Bunda. Shabira tetap ga mau masuk." Mama membawa tas nenek kedalam mobil. Bunda adalah panggilan nenek untuk mama dan papa. Nenek menggeleng kuat.

"Gapapa. Bunda juga tau anak itu sama keras kepala dengan bapaknya. Jadi nostalgia waktu bapaknya dipaksa masuk eskul bahasa inggris, tapi malah masuk eskul matematika."

Nenek melirik ke arah Papa. Yang dilirik hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mau bagaimana lagi? Ia lebih suka pelajaran angka dibandingkan bahasa asing.

Saat kaki nenek persis melangkah masuk mobil, Shabira turun memakai seragam dan almamaternya. Lengkap dengan tas dan sepatu miliknya. Entah bagaimana seragam itu bisa ada didalam lemarinya, Shabira menyuruh asisten rumah tangga dirumahnya untuk menyetrika seragam itu dengan cepat.

"Ayo. Antrophodia Junior High School?" Shabira tersenyum lebar. Menatap wajah keriput sang nenek yang juga tak kalah cerah. Mama dan Papa juga nampak bahagia.

"Masih ada waktu. Dewan komite Antrophodia sepertinya masih kasih sambutan. Cepat, naik mobil nenek aja. Kalian berdua dirumah ikutan nyusul nanti, bawa peralatan asrama Shabira. Ayo sayang." Nenek menarik tangan Shakila, menyuruhnya masuk kedalam mobil dengan cepat.

Mobil melaju kencang menuju sekolah elit tersebut. Telinga supir mobil nenek pasti sakit akibat kena omel oleh nenek selama perjalanan. Menyuruhnya ngebut karena perjalanan dari rumahnya ke Antrophodia cukup jauh. Ia sepertinya terlalu antusias. Shabira jadi takut jika asam urat neneknya ikut antusias.

Setiba disana Shabira memang sempat dihadang oleh beberapa penjaga disana. Itu daerah yang terlarang bagi orang asing termasuk para wartawan, selain wartawan resmi dari Antrophodia. Walaupun mereka sudah melihat seragam yang dikenakan gadis itu, tetap saja ia terlambat.

Gadis itu mengambil amplop coklat didalam tasnya. Menandatangani surat itu dengan cepat. Lalu menunjukkanya ke penjaga tersebut. Nenek juga ikutan mengamuk padanya karena tidak diperkenankan masuk oleh mereka.

Para penjaga mengalah. Kedua orang ini langsung berlari di auditorium yang ditunjukkan oleh penjaga tadi, nenek juga menyuruh Shabira berteriak apapun yang membuat pembawa acara itu batal mendiskualifikasi kan dirinya. Awalnya gadis itu menolak, itu sama saja dengan mempermalukan dirinya sendiri. Tetapi karena paksaan nenek, gadis itu terpaksa melakukannya.

Dan disinilah dia sekarang. Dengan nafas tersengal-sengal, rambut berantakan akibat berlari kencang, dan banyak sekali mata yang menatap dirinya dengan penampilan menyedihkannya sekarang. Terserah, yang penting ia berhasil.

"Shabira Alula Tirtana?" Pria itu mencocokan nama gadis itu dari map biodata siswa undangan ditangannya. Shabira mengangguk.

"Kamu terlambat sekali. Untung saja dewan komite belum mengetuk palunya." Pria itu tertawa kecil. Mencoba mencairkan suasana aneh ini. Murid undangan ini terlambat sekali. Ia yakin gadis ini tidak akan lolos dari hukuman.

"Silahkan duduk, Shabira. Namamu ada di kursi disebelah kanan sana. Kau boleh menempatinya."

Gadis itu bernafas lega. Kakinya bahkan lemas sampai terduduk dilantai. Beberapa anak ASC (Antrophodia's Student Council) sempat membantunya untuk berdiri kembali. Shabira mengucapkan terima kasih. Gadis itu kembali berdiri menuju kursinya.

***

Asrama ini keren. Warnanya dominan bewarna ungu dan putih. Sedikit corak emas yang menyilaukan sisi sisi ruangan. Ini asrama putri. Ada sekitar empat puluh murid perempuan disini. Masing-masing kamar dua orang untuk sementara. Jika hasil ujian para senior sudah keluar, seluruh murid akan mendapatkan kamar sendiri jika dapat memasuki A Class.

"ALE!" Gadis itu mendorong koper biru miliknya. Mengejar seorang gadis yang jauh didepannya.

Gadis itu berbalik. Memutar bola matanya malas. "Fara Fisa Alea. Dipanggilnya Alea. Berapa kali dibilang sih, Fa?"

Shafa tertawa. Melihat wajah sebal gadis itu membuat moodnya sedikit membaik sehabis kejadian dirumahnya yang sedikit berantakan.

"Suka-suka gue. Gitu aja ngamuk. Nih, kita sekamar." Shafa menyerahkan dua kunci kamar yang ia dapat diruang administrasi. Disana tertera namanya dan nama Alea disana. Agar tidak tertukar dengan murid lain.

"Gue bisa sendiri. Oh ya, biar gue aja yang bawa obatnya ke kakak." Gadis didepan gerbang asrama merampas sebuah kantong kecil bewarna cream dari tangan ibunya. Wajahnya selalu terlihat merah akibat menahan amarah jika berhadapan dengannya. Sang ibu tersenyum singkat. Mengangguk patuh.

"Jaga diri baik-baik. Ibu sayang kalian berdua."

Gadis itu mendecih. Membawa kopernya dan mencari nomor kamar yang terdapat pada kunci ditangannya. Setelah ditemukan, gadis itu menata ruangan tersebut senyaman mungkin. Ada sebuah kasur yang masih kosong. Belum tersentuh apapun. Berarti teman sekamarnya belum tiba. Gadis itu duduk di ranjang setelah menyapu sisa debu. Menatap kunci cantik yang bertuliskan namanya.

Naufal Rafa Putri, 7th grade.

Kita beralih ke gadis berambut panjang kecoklatan yang berlari tergesa-gesa entah menuju kemana. Ditangannya terdapat kotak bekal berisi sarapannya pagi ini. Mungkin ini sarapan terakhirnya yang dibuat oleh sang nenek karena ia akan segera tinggal di asrama. Matanya juga terlihat sembab, mungkin sehabis berpisah dengan keluarganya.

Sayangnya ia terjatuh tersandung oleh kakinya sendiri. Kotak bekal ditangannya telah terlempar jauh dan berserakan dimana-mana. Gadis itu merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia begitu ceroboh?

"Masih pagi, udah ceroboh aja ni Disya." Gadis itu mengeluh. Tangannya cekatan membereskan makanan yang tumpah dilantai.

Lorong ini sekarang sepi. Kebanyakan para siswa sudah masuk dan berbenah didalam kamarnya. Para orang tua kebanyakan juga rata-rata sudah berpisah di gerbang asrama. Tidak ikut masuk karena memang tidak diperbolehkan. Gadis itu sendiri sekarang.

Tunggu, kecuali gadis cantik diujung lorong. Awalnya Disya mengira gadis itu adalah hantu karena rambutnya yang panjang lurus dan wajahnya yang putih bersih. Ia sedikit terkejut saat gadis itu menghampinya tiba-tiba dan membantu memberikan sisa-sisa makanan yang tumpah. Gadis itu juga mengambil beberapa tisu dari dalam tas kecilnya.

Disya tidak mengenali gadis ini. Dari wajahnya sepertinya anak ini super pendiam. Yang jelas gadis ini bukan hantu seperti yang ia pikirkan. Ia yakin dari kebaikan hatinya. Gadis itu juga memanggil beberapa pengawas Antrophodia, agar lantai asrama ini kembali licin dan bersih.

"Tumpah semua ya? Mau makan bareng aku? Bekel yang mama siapin banyak, kita bagi dua mau?" Gadis itu menyerahkan bekalnya. Tersenyum manis.

***

Hi im back! wkwk
Iya emang udah lama banget si ga up. Tapi emang lagi sibuk. Minggu ini saya PTS. Ga bisa nulis banyak-banyak. Karena yang baca juga pasti udah pada tidur, jadi ku up sekarang.

Jadi aku keluarin draf dulu aja ya. Nanti saya nulis lagi wkwk.

 Nanti saya nulis lagi wkwk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Thank you!

A+ ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang