Perjalanan Gianna lalui hingga dirinya tiba di tempat yang Azzima suruh. Namun, setelah melihat kondisi tempat itu terlalu ramai, Giana memutuskan untuk meneruskan perjalanannya. Gadis itu pun berhenti di lingkaran embung air besar, yang terdapat area berlari yang dibatasi pagar melingkar. Setidaknya tempat itu tidak terlalu ramai.
Tentu saja, di waktu menjelang siang seperti ini, tidak mungkin orang-orang memutuskan untuk lari jogging ataupun marathon. Gianna memarkirkan mobilnya, lalu menghubungi Azzima.
Azzima yang sudah menunggu di tempat itu pun mendapat telepon. Dia langsung menjawabnya, "Ya, aku tidak melihatmu. Di mana kau?"
"Hei, Azzima, tidak bisakah kau maju lebih ke depan. Aku tidak bisa berhenti di sana karena terlalu ramai. Sekarang aku berada di embung kampus, lebih baik kau cepat ke sini sebelum para reporter mengetahui keberadaanku."
Azzima hendak protes. Namun, belum sempat dia mengeluarkan suaranya, Gianna sudah memutus sambungan telepon itu.
Tut.
Pria itu melihat layar ponselnya yang sudah tidak tersambung pada gadis itu. "Aah, gadis ini! Kenapa jadi dia yang menentukan tempat," geramnya seraya menyimpan ponsel kembali ke saku.
Padahal, Azzima sudah membuang waktu untuk berjalan kaki menuju tempat itu, meski memang tempatnya tidak terlalu jauh dari ruangannya. Namun sekarang, akan jauh jika dia berjalan kaki lagi menuju embung, sedangkan mobilnya terparkir di depan gedung di dalam kampus. Akan memakan waktu lebih banyak lagi jika Azzima harus mengambil mobilnya.
Beruntungnya dia melihat seseorang yang naik sepeda. Hal itu memberikan Azzima ide untuk menyewa sepeda menuju embung. Pria itu pun menyapu pandangan ke sekitar, dan dia menemukan barisan sepeda yang terparkir dan siap disewakan. Segera Azzima menghampiri pemilik sepeda-sepeda itu.
Seorang wanita dengan topi anti matahari menyambut kedatangan Azzima. "Kau ingin menyewa sepeda?" tanyanya.
Azzima yang barusan menatap sepeda di depannya satu per satu pun menoleh pada wanita itu. Pria itu berdeham untuk mengiyakannya. Kepalanya juga mengangguk satu kali untuk meyakinkan bahwa dia benar-benar ingin menyewa sepeda.
"Lima puluh ribu," ucap wanita itu seraya menunjukkan lima jarinya dengan senyum menggoda.
"Bukankah biasanya hanya tiga puluh ribu?" kata Azzima.
Wanita itu tertawa cengengesan. "Baiklah kalau begitu diskon untuk pria tampan sepertimu," ucapnya sambil memukul pelan lengan atas Azzima, kedua matanya berkedip-kedip khas marketing handal.
Hal itu membuat Azzima menatap cengo. Apa dia tidak tahu kalau pria itu dosen di sini, wanita itu pasti mengiranya mahasiswa.
Segera Azzima meronggoh saku celananya untuk mengambil dompet. Pria itu memberikan uang pas padanya, dan langsung meraih satu sepeda di sana. Namun, wanita itu menahan sepedanya.
"Eh, tunggu dulu, kau harus memberikan kartu identitasmu sebagai jaminannya," ucap wanita itu.
Azzima menghembuskan napas sabar. Segera dia meraih saku celananya untuk kembali membuka dompet dan mengambil kartu identitas, lalu memberikannya pada pemilik sewaan sepeda itu.
"Apa aku sudah boleh pergi?" tanya pria itu memastikan sebelum pergerakannya ditahan lagi.
Wanita itu mengangguk. "Oke," jawabnya.
Azzima menghela napas singkat, lantas menyimpan kembali dompetnya. Dia mulai menaiki sepeda itu, dan menggantungkan topi milik Gianna di setang sepeda. Baru saja kakinya hendak menggoes, dering ponselnya membuat kegiatannya kembali tertunda.
"Aagh! Siapa lagi ini," gerutunya seraya meraih ponsel di saku kemeja.
Pria itu mendekatkan ponselnya ke telinga setelah menerima panggilan itu, lalu suara yang sangat mengganggu langsung keluar dari ponselnya.
"Hei, Azzima. Kau jadi datang ke mari, kan. Kenapa lama sekali?" protes Gianna terdengar tergesa.
"Apa kau tidak bisa menunggu? Tidak tahukah betapa sulitnya aku untuk ke sana!" protes pria itu balik.
Tut.
Azzima memutuskan sambungan teleponnya. "Aah, gadis ini! Kenapa aku memiliki mahasiswi sepertinya."
Pria itu menyimpan ponselnya dengan agak geram, lalu segera menggoes sepeda menuju tempat gadis itu.
Sementara itu, di tempat Gianna, dia sudah turun dari mobilnya, menunggu kedatangan Azzima dan topi kesayangannya. Gadis itu tampak gusar, sejak tadi dia mondar-mandir ke sana dan ke mari di dekat pagar embung.
Hingga akhirnya Azzima sampai di sana. Pria itu menoleh pada Gianna, lalu memarkirkan sepedanya. Dia turun, lalu tidak sengaja menjatuhkan topi gadis itu, membuat Gianna yang melihatnya membulatkan mata.
Azzima memungut topi yang jatuh barusan, lalu melangkah menghampiri gadis itu. Dapat dia lihat raut wajah Gianna yang tampak memerah. Hal itu cukup membuat Azzima bingung sementara.
Sampai akhirnya Gianna mengambil topi itu sebelum Azzima memberikannya. Gadis itu membersihkan topinya sambil berkata, "Kau menjatuhkan topiku. Tidak tahukah berapa lama perawatan untuk topi ini," protesnya.
"Dan kau membawanya dengan tangan kosong, memangnya tidak bisa membawanya dengan paper bag atau wadah lainnya. Tidak ada romantis-romantisnya sama sekali," gerutu gadis itu sambil masih membersihkan topinya.
Celotehan Gianna itu berhasil membuat Azzima melongo dengan bibir sedikit terbuka. Bukannya meminta maaf, pria itu justru semakin menantangnya.
"Ah, begitukah? Aku bahkan sering menjatuhkan topi itu sebelum ini, dan aku juga pernah tidak sengaja menginjaknya," ucap Azzima, meski berdusta. Dia sengaja ingin membuat gadis itu tambah kesal, menurutnya itu lucu.
Ucapan Azzima barusan membuat pergerakan Gianna terhenti seketika. Gadis itu melebarkan mulutnya, lalu perlahan mengangkat wajah, menatap tajam pada pria yang barusan berbicara tanpa dosa.
"Kau menginjaknya?" ucap Gianna dengan tatapan menakutkan, kedua bola mata gadis itu membesar seperti ingin keluar.
"Hm," jawab Azzima menantang.
"Kau ini…! Seperti tidak pernah memiliki barang kesayangan. Bagaimana jika aku menendang barang kesayanganmu?" kata Gianna.
Gadis itu melangkah cepat melewati Azzima. Sempat pria itu was-was sebab mengira Gianna akan memukulnya. Namun, ternyata gadis itu mengincar sepedanya.
Gianna mendekati sepeda yang tadi dibawa oleh Azzima, lalu menendang benda itu dengan geram.
"Hah! Rasakan! Bagaimana perasaanmu melihatku menendang-nendang sepedamu!" ucap Gianna sambil terus menendang-nendang sepeda Azzima.
Pria itu menatap konyol pada gadis yang sedang menendangi sepeda sewaannya. Kedua mata Azzima mengerjap sesekali, bibirnya terbuka, melongo heran. Batinnya ingin menertawakan gadis itu. Namun, pikirannya lebih merasa kasihan padanya. Itu bukan sepeda miliknya, dan yang dilakukan Gianna hanya akan membuat kakinya sakit dengan sia-sia.
"Ya, bagus! Kau melihatku menendang-nendang sepedamu! Rasakan sekarang!" Gianna terus menendang sepeda itu, bahkan gadis itu juga meninjunya dengan tangan kosong.
"Huh!" Gianna menghentikan tendangannya saat rasa lelah dan sakit sudah menyapa pergelangan kakinya.
Gadis itu tertawa penuh kemenangan. "Bagaimana? Kau marah bukan? Kau ingin marah sekarang? Ayo marah sekarang."
Azzima tertawa getir setelah bosan mengasihaninya. Pria itu menyimpan kedua telapak tangan di saku celana. "Itu hanya sepeda sewaan," jawabnya tanpa beban sedikit pun.
Gianna melemaskan otot-otot tubuhnya. Gadis itu melongo dengan tatapan bodoh. Kenapa dia tidak bisa menjaga image-nya. Sekarang pria itu akan dengan mudah menertawakannya.
"Aku sarankan agar kau bertanya lebih dulu sebelum menyakiti kakimu," ucap Azzima dengan tatapan dan suara mencibir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Satu Atap
RomanceSequel dari cerita Azalia Istri Seorang Mafia. Warning 18+ bijak dalam memilih bacaan. "Apa benar bahwa cinta hadir karena dua insan telah terbiasa? Jika itu benar, maka aku sangat bersyukur sebab bertemu dengannya." Gianna Alleva FR. "Aku sudah bek...