☕ Happy Reading ☕
Jeika POV
Setelah bergelut dengan mimpi yang fatamorgana, aku kembali dihadapkan oleh nyata yang tak berwarna. Sinar matahari yang mengintip dari celah jendela tak mampu menghidupkan gairah semangat di jiwa.
Menghela napas.
Itulah rutinitas sesaat setelah aku membuka mata dari keharusan mengisi energi. Ya, apalagi kalau bukan tidur. Ah, tidak juga sih, aku lupa kalau makan juga salah satu cara mengisi energi.
Oke, lupakan.
Aku harus segera bersiap, membersihkan diri, sarapan, menikmati pemandangan yang entah kapan bisa ku lihat lagi. Meski hidupku flat saja, tapi aku sudah sangat amat terbiasa menjalaninya. Seperti bujang yang ingin mencari jati diri dengan berkelana, maka di sinilah aku terdampar. Di pusat liburan kebanggaan para turis asing, Bali.
Setelah memutuskan keluar dari rumah di mana kedua orang tuaku tinggal, aku hidup di sini sendirian. Aku tidak muluk-muluk memilih tempat tinggal kok, hanya rumah sederhana di tepi pantai. Cukup lah untuk melepas penat setelah berkutat dengan berbagai permasalahan di tempat ku bekerja.
Setelah empat tahun menetap di Bali, inilah saatnya aku kembali pulang. Sepertinya, tanah kelahiranku sedang merindu pada salah satu makhluk tampan nan rupawan yang merantau jauh ke tepian.
"Gue besok nyampe Jakarta jam satu siang paling."
"Baik, Sultanes. Kevin makhluk paling tampan di Indonesia ini akan ke bandara tepat waktu. Mana rela sultan dibiarin nunggu.
Terdengar suara cekikikan Kevin setelah mengatakan kalimat lebay-nya.
"Sultan kepala lo peyang. Gue cuma rakyat biasa yang berusaha mencari nafkah lewat usaha memberi makan orang-orang yang ingin makan."
"Alah, gak usah merendah deh, Ka. Semut aja tahu lo tuh sultan abis."
Aku tertawa mendengar balasan Kevin. Humorku memang perlu diperbaiki. Masa karena kalimat abal-abal Kevin bisa membuat tawa seorang Jeika mengudara di pagi hari.
"Udah, stop bahas sultan. Gue mau lanjut mantau laut dulu."
"Sok rajin banget sih lo pake mantau laut. Udah gue tutup nih teleponnya."
"Jangan lupa ingetin si Adrian, bilang awas kalau lupa sama hadiah yang gue minta."
"Beres, nanti lah gue kasih tahu."
Jadi, Adrian itu sudah berjanji akan memberiku apapun sebagai ganti karena sudah mematahkan gitarku yang dia pinjam. Berhubung janjinya itu berguna saat ini, tentu saja aku tidak akan melewatkannya.
Aku menyelesaikan aktivitas membuat sarapanku. Hanya sarapan simple, cukup roti dioleskan dengan selai cokelat dan secangkir teh hangat yang akan menemani pagiku ini.
Besok awal dari keputusan terbesarku akan dimulai. Meninggalkan tempat di mana saksi perjuanganku membangun masa depan yang ku inginkan. Tentu saja aku bisa kembali ke sini, tapi tentu tidak bisa sesering itu. Karena nantinya kehidupan di Jakarta adalah prioritas utama.
Semoga saja keputusanku tepat.
***
"Gila, sultan mah dari jauh aja udah berkilau abis, Man," ujar Kevin yang menyambutku di bandara, sesuai janjinya. Dia tidak telat dan tidak membiarkanku menunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Travelling Decision
ChickLit[Follow-follow aku gais. Maaciw.] *** "Aku berubah pikiran." Aku menoleh bingung, berubah pikiran apa? Jeika duduk di sampingku tergesa, dia menatapku serius. "Aku pengen punya anak sekarang." WHAT?! "Ta-tapi kesepakatan kita gak gitu," tolakku cepa...