☕ Happy Reading ☕
Nayara POV
Hari ini aku sudah harus ke kantor karena waktu cuti yang diajukan sudah habis. Padahal niat hati ingin melanjutkan tidur di kasur yang baru dua hari lalu menjadi tempat aku tidur. Iya, ini kamar tidur baru, yang artinya rumah baru juga untukku. Semenjak pulang dari Helsinki aku tinggal di sini. Di rumah milik Jeika yang niatnya dibangun khusus untuk ditempati sendiri ketika pindah dari Bali ke Jakarta.
Jangan mengira rumah ini memiliki kemewahan yang tiada tara dengan penjagaan ketat oleh berpuluh-puluh bodyguard. Sama sekali tidak benar. Nyatanya, Jeika hanya ingin tinggal di sebuah rumah sederhana--yang bagiku tetap termasuk mewah-karena yang paling penting baginya adalah kenyamanan. Tapi sepertinya aku tahu kenapa dia nyaman tinggal di sini. Walaupun kami belum sempat berkenalan dengan tetangga, tapi aku pernah melihat Yera di sekitaran sini. Tidak tahu juga sih kalau beberapa sahabatnya juga tinggal di komplek ini.
"Jeika, bangun. Aku buat sarapan, tapi cuma nasi goreng," ucapku sambil mengguncang lengannya. Dia menggeliat sebelum kemudian membuka matanya. "Ayo bangun. Aku hari ini udah masuk kerja, terus karena kemampuan masak aku terbatas jadi menu sarapannya nasi goreng."
Dia belum menjawab, masih membersihkan kotoran di mata. "Yaudah aku mandi dulu. Awas, kamu jangan tidur lagi!" ancamku memasang wajah galak, yang dijawabnya dengan deheman seraknya. Maklum masih pagi, baru bangun setelah tadi melanjutkan tidur.
Begitu aku keluar dari walk in closet ternyata Jeika juga sudah mandi. Sepertinya dia mau pergi, mengurus restoran di Jakarta yang sebentar lagi launching. Jeika bilang mau sarapan berdua, bukan jomblo kok jadi kenapa harus makan sendirian.
"Kamu berangkat sama aku." Aku yang sedang merapikan piring bekas makan mengerjab sambil berpikir.
"Gak bolak-balik emang kamu? Kita 'kan gak searah."
"Gampang. Kalau naik transportasi umum nanti kamu telat, mau telat?"
Sengaja banget sih dia. Mana mungkin ada pegawai yang mau datang telat. Karena tidak mau gajiku terpotong, akhirnya aku mau diantar olehnya. Hitung-hitung sambil mengenal daerah sini juga, maklum orang baru.
"Sahabat kamu itu pada tinggal di perumahan ini ya" tanyaku saat sudah memasuki mobil dan duduk di sampingnya.
"Ada beberapa. Yera tinggal gak jauh, tuh rumahnya," tunjukknya dengan dagu. Aku manggut-manggut melihat rumah Yera yang berjarak tiga rumahku dan letaknya di sebrang. "Dua lagi ada Gifar dan Levin," lanjutnya.
"Oh, mereka di mana?"
Dia melirikku sinis, seperti tidak menyukai pertanyaanku. Perasaan tidak ada yang aneh, hanya tanya rumah adalah hal biasa 'kan?
"Gitu banget ngeliriknya," dumelku.
"Mau ngapain tanya rumah mereka? Mereka udah punya istri. Jangan deket-deketin," peringatnya, yang langsung ku beri cubitan di perutnya. Siapa juga yang mau bertingkah aneh, cuma mau tahu buat silaturahmi aja kok.
Kalau Jeika macam-macam 'kan aku tahu bisa cari bantuan ke mana.
"Kapan mau ke rumah mama?" Oleh-oleh yang kami beli belum sempat kami antar. Kabar kepulangan kami juga baru bisa aku beritahu lewat telepon.
"Sabtu 'kan."
"Bukan mama aku, Ka. Mama kamu, papa kamu." Raut wajahnya yang terlihat tidak tertarik, membuat mataku memicing. Apalagi setelah mendengar perkataan selanjutnya.
"Gak perlu ke rumah. Dititipin juga udah langsung jadi."
"Kok gitu, Ka? Kalau diingat-ingat, kayaknya kamu juga gak pernah kirim pesan atau kasih kabar ke mereka deh." Suaraku sedikit meninggi begitu mengingat hal itu. Aku memijat dahi karena pusing dengan situasi yang seperti tidak baik, baru tebakanku sih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Travelling Decision
ChickLit[Follow-follow aku gais. Maaciw.] *** "Aku berubah pikiran." Aku menoleh bingung, berubah pikiran apa? Jeika duduk di sampingku tergesa, dia menatapku serius. "Aku pengen punya anak sekarang." WHAT?! "Ta-tapi kesepakatan kita gak gitu," tolakku cepa...