☕ Happy Reading ☕
Jeika POV
Sesuai yang Nayara pinta, aku mengatur jadwal agar malam ini bisa pulang lebih awal. Meeting penting yang tadinya baru dimulai setelah makan malam, asisten pribadiku majukan jadi pukul enam sore.
"Perlu saya belikan roti dulu, Pak?" tanya Andi, asistenku. Tadinya dia memanggilku tuan tapi menurutku itu terdengar aneh seperti ada batas yang tinggi. Jadi aku suruh dia mengganti panggilan, Andi bilang ia akan memanggilku bapak saja.
"Tidak perlu. Langsung saja ke tempat meeting."
"Apa tidak apa-apa, Pak? Hari ini jadwal bapak padat sekali." Aku menepuk pundaknya lalu berkata untuk jangan khawatir. Lalu masuk ke mobil yang hari ini dikendarai oleh Andi. Biasanya memang tidak sepadat ini karena aku biasa menugaskan orang, menggantikanku. Tapi aku sengaja mengambil alih itu sendiri beberapa waktu belakangan, lembur lebih baik.
Aku tahu harus menyelesaikan masalah di antara kami tapi aku ingin memberi Nayara waktu untuk merenungkan perbuatan yang ia lakukan. Menyembunyikan penyakitnya adalah hal yang cukup sensitif. Bagaimana bisa dia melakukan itu? Harusnya dia menumpukan hidupnya padaku, memberi kepercayaan bahwa semua bisa diatur sebaik mungkin.
Setelah sempat terjeda ibadah, meeting selesai pukul setengah delapan malam. Sekarang sedang menunggu pesanan datang, rencananya sebelum pulang akan makan malam sekalian. Merasa sudah agak santai, aku mengecek ponsel pribadiku. Ponsel yang sejak siang belum sempat terpegang. Aku memang memisahkan hal pribadi dengan yang umum. Orang-orang terdekatku akan diberikan nomor yang ada di ponsel pribadi dan tidak banyak yang mengetahui nomorku yang lain--digunakan untuk urusan pekerjaan.
Netraku menangkap hal yang janggal. Ada banyak panggilan tak terjawab dari Nayara. Bukannya aku sengaja mengabaikan, tapi ponsel ini memang dalam mode diam. Saat membaca pesan dari Pak Joko, aku langsung pamit pergi membawa mobil sendiri dan menyuruh Andi memesan taksi.
Mobil yang digunakan Pak Joko mogok dan harus dibawa ke bengkel sehingga beliau tidak bisa menjemput Nayara. Sialnya saat aku menghubungi Pak Joko, ponsel beliau mati. Dari sana aku bisa menyimpulkan, Nayara tidak tahu kabar tersebut karena itulah dia menghubungiku.
Di perjalanan, aku mencoba menghubungi satpam di rumah. Barang kali Nayara pulang sendiri, mengingat ini sudah malam dan bahaya untuknya. Info yang ku dapat berbeda, Nayara belum sampai rumah. Tanpa sadar aku membawa mobil dengan kecepatan tinggi. Beruntung jalanan yang dilalui tidak macet, sehingga bisa cepat sampai.
Hanya perlu waktu sekitar tiga puluh menit mobilku sudah memasuki area perusahaan. Langsung memanggil orang, meminta bantuan untuk mengurus mobilku. Sementara aku langsung mencari keberadaan Nayara. Mataku berpendar ke sekeliling lobby, sambil berjalan aku berniat menelepon perempuan yang merupakan istriku. Belum sempat ku tekan nomornya, atensinya tertangkap. Sendiri dan kedinginan.
Shit!
Dengan langkah lebar seraya melepas jas, aku menghampirinya yang menunduk. Berhenti didepannya tanpa kata. Gemuruh di dada membuat keributan ketika pandangan polos itu menyapa penglihatan. Selesai memakaikannya jas, aku menarik tangannya.
"Ayo pulang."
Lagi, dalam perjalanan hanya ada kesunyian. Ada baiknya juga begini. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Berbelok ke salah satu rumah makan sebelum sampai rumah, aku tinggalkan Nayara di dalam mobil. Lalu berlalu memesan dua porsi nasi padang untuk makan malam. Tenang saja, Nayara tidak pilih-pilih makanan. Bukan juga orang yang membatasi makan malamnya. Semua yang dibeli sejauh ini selalu dihabiskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Travelling Decision
Literatura Feminina[Follow-follow aku gais. Maaciw.] *** "Aku berubah pikiran." Aku menoleh bingung, berubah pikiran apa? Jeika duduk di sampingku tergesa, dia menatapku serius. "Aku pengen punya anak sekarang." WHAT?! "Ta-tapi kesepakatan kita gak gitu," tolakku cepa...