Bab 15 || Dunia Pertengkaran

542 97 38
                                    

Happy Reading

Nayara POV

Aku marah.

Tapi juga takut.

Mobil yang dikendarai suamiku melaju kencang membelah jalan tol yang dilewati. Di balik kemudi, ada buku jari yang mengepal erat. Sorot dingin dari matanya mengalahkan dinginnya angin malam yang menggelitik. Aku tidak tahu alasan apa yang membuat Jeika membuka kaca mobil sejak berada di jalan tol. Mungkin saja ini salah satu hukuman darinya, membuatku kedinginan.

Begitu mobil sudah terparkir di garasi, Jeika keluar dari mobil dengan penuh emosi. Membanting pintu kemudian berlalu masuk ke dalam rumah. Aku ingin menangis karena sikapnya.

Biar saja aku memupuk kekuatan dulu dengan berdiam diri di mobil sebelum menemui kekacauan. Banyak prasangka di kepalaku.

Apa Jeika akan memukulku nanti?

Bisakah dia bersikap sangat kasar?

Kalau dia malu karena aku jadi istrinya, aku harus apa?

Mendengus kasar, aku meremas rambut hitamku. "Sial! Gue panik."

Tapi mau sampai kapan bersikap pengecut di dalam mobil begini Nayara?

"Ah elah, gue padahal udah mau jujur," gerutuku emosi. Biar bagaimana pun, aku sadar diri telah melakukan kesalahan. Setelah mengambil napas dalam, aku membuka pintu mobil dan masuk ke rumah. Hanya bisa pasrah mengikuti alur kapan Jeika ingin mengajakku berbicara.

Saat membuka pintu kamar, tidak ada Jeika di sana. Tanpa sadar aku menghela napas lega. Kelegaan yang hanya menyenangkan hati sesaat karena begitu aku berbalik badan setelah menutup pintu, bahuku merosot lemas. Jeika ada di hadapanku, sedang menatapku dengan sorot matanya yang tajam dan dingin.

"Apa maksud kamu?" tanyanya dengan nada rendah. Aku mengatupkan bibir, tidak berani menjawab karena tatapan Jeika seperti mengulitiku.

"Kenapa diam aja? Takut?" sarkasnya.

"Aku udah ada rencana mau ngasih tahu kamu soal ini, Ka. Cuma--"

"--Percuma Ra, percuma. Udah kebongkar sekarang 'kan." Jeika memotong ucapanku, suaranya mulai meninggi. Kamar jadi terasa panas dan kepala jadi sakit mendengar teriakan. "Kenapa gak ngomong kalau punya penyakit asma? Malu sama penyakitmu sendiri, hah?!"

Kepalaku yang tadinya menunduk, aku tegakkan. "Ka?" cicitku tidak percaya.

Tuduhan itu kejam dan melukai hati. Tapi, aku masih mencoba menahan diri karena ingat pesan papa dan mama tidak boleh meninggikan suara dengan suami.

"Apa?! Benar 'kan? Oh, atau mungkin biar aku dipandang buruk sama orang tua kamu karena gak bisa jaga anaknya? Gak becus jadi suami. Iya, Ra?" terkanya kembali.

"Apa-apaan sih kamu?!" sahutku tidak bisa menahan diri. Aku bahkan tidak berpikir ke arah sana. Tidak ada niat seperti itu sedikit pun.

"Tanya sama diri kamu kenapa aku bisa nutupin hal ini?" sambungku sebelum berjalan menaruh barang yang ada di tangan ke atas meja.

Jeika langsung menarik lenganku setelah aku selesai meletakkannya di meja. "Kenapa harus aku? Kamu Ra pelakunya. To the point, langsung kasih tahu alasannya 'kan bisa."

Masih butuh alasan dariku ternyata. Aku kira dia akan teguh pada alasan yang dia buat sendiri.

"Karena kamu, Ka! Aku nutupi hal itu ya karena perkataan kamu. Kamu yang dorong aku," ungkapku geram. Rahangnya mengeras lalu Jeika tertawa sinis.

Travelling DecisionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang