☕ Happy Reading ☕
Jeika POV
Namanya Nayara Lumia Stellina, seorang perempuan berumur 25 tahun yang bekerja di D'Company Group, tepatnya seorang staf di divisi keuangan.
Begitulah aku memperkenalkan Nayara pada mama saat kembali ke rumah pertama kali, setelah kepindahanku dari Bali. Ya, aku langsung memberitahu bahwa aku ingin menikah.
Mama bertanya apa aku yakin sudah siap untuk menikah, sudah yakin dengan pilihanku, dan sederet pertanyaan interogasi lainnya. Bagiku semua tidak ada masalah, Nayara cukup memenuhi kriteria sebagai pasanganku nantinya.
Perempuan yang lebih muda dua tahun dariku itu, memiliki rambut hitam sabahu, matanya cukup memukau bahkan aku rasa kunci kecantikannya ada di mata bulat itu. Dia juga cukup pintar meski memang sedikit bawel jika mendapati hal yang tidak sesuai keinginannya.
Setidaknya sejauh ini, tidak ada celah untuk orang mengolok-olok Nayara. Itu saja sudah cukup. Karena jika Nayara menghadirkan celah itu, maka artinya sama saja dia mempermalukanku, dan aku tentu tidak ingin hal itu terjadi.
I'm a perfect person.
Hari ini aku membawa Nayara bertemu dengan papa dan mama untuk pertama kalinya. Kami masih berada di mobil, menuju ke rumah mereka. Layaknya seorang calon menantu yang gugup saat dikenalkan ke mertua seperti pada umumnya, begitulah yang dialami Nayara saat ini. Kelihatan sekali gurat kegugupan di wajahnya, sedari tadi dia benar-benar tidak bisa tenang.
"Gugup banget?" tanyaku berusaha mengambil fokusnya.
Nayara melirikku singkat kemudian menghela napas panjang. "Iya. Gue takut bakal canggung banget. Terus juga kepikiran gimana penilaian orang tua lo soal gue. Demi apapun, gue sama sekali belum mengenal tentang kehidupan lo. Kebayang gak sih, nanti gue harus bersikap gimana?" curhatnya frustasi.
Tanganku bergerak memegang tangannya dan menautkan jari-jarinya dengan milikku, berusaha mencoba menenangkannya dari ketidakpastian. Biasanya perempuan jadi lebih percaya diri dan rileks kalau digenggam tangannya seperti ini, ya setidaknya itu kata teman-temanku yang sudah berpengalaman dengan beberapa wanita.
"Gak usah berlebihan mikirnya. Santai aja Ra, mama gue mau lihat yang jujur. Jadi, ya, tetap jadi diri lo yang seperti biasa." Aku menyahuti kegelisahannya. Itu benar, mama tidak memiliki kriteria tinggi untuk dijadikan menantu. Mama juga tidak mungkin menolak, karena ini adalah keinginanku.
Nayara mengiyakan dengan patuh. Dia berusaha keras menetralkan detak jantungnya yang mungkin sedang jumpalitan. Asik mengamati usahanya menghembuskan napas beberapa kali, membuat kedua sudut bibirku terangkat.
Bibir mungilnya menyita perhatianku.
Dibandingkan dengan pacarku yang sebelumnya, aku rasa Nayara jauh lebih baik dan tentu sangat berbeda dengan mantan yang tidak sudi ku sebut namanya lagi.
Setelah berkendara selama hampir dua jam karena kepadatan ibu kota yang mengorbankan waktu berharga, akhirnya kami sampai di kediaman orang tuaku.
"Ayo turun." Melihat Nayara tidak merespon, aku segera memalingkan wajah ke arahnya. Yang aku dapati adalah wajah perempuan itu yang menatapku datar. "Kenapa?" tuntutku.
"Are you kidding me?"
"What?"
"Rumah lo," decak Nayara, dia terlihat shock. Belum juga tersadar dari rasa terkejutnya, Nayara memijat pelipisnya. "Lo kok gak bilang sih? Perbedaan kita terlalu jauh."
"Apa yang jauh?"
"Lo orang kaya. Sangat kaya. Kebanting banget kalau gue sama lo, Ka." Nayara mengamati sekitar dari jendela di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Travelling Decision
Literatura Feminina[Follow-follow aku gais. Maaciw.] *** "Aku berubah pikiran." Aku menoleh bingung, berubah pikiran apa? Jeika duduk di sampingku tergesa, dia menatapku serius. "Aku pengen punya anak sekarang." WHAT?! "Ta-tapi kesepakatan kita gak gitu," tolakku cepa...