INDAH POV
"Loh Mak, banyak amat bunga 7 rupa nya. Buat apaan?"
Sambil membuka-buka plastik putih yang terdapat di meja dapur. Di dalam plastik itu masih ada bungkusan dari daun pisang yang dililit dengan lidi dan di dalamnya terdapat bunga khas kuburan. Jadi merinding.
"Kasihan mana masih muda, udah pelupa."
"Kok lama-lama Mak mirip banget sama si Arina. Sebel ah, ada kembaran Arina di rumah juga. Orang Indah nanya baik-baik juga Maakk!!"
Jawab gue sambil cemberut dan ngedumel terus ngga jelas. Ya gimana mau jawab dengan baik-baik, orang Mak nya sendiri responnya bikin naik darah mulu.
Dengan santai nya Mak gue mesem-mesem sambil menonton televisi tayangan si suami punya istri 3 itu. Yang konfliknya ngga ada habis-habisnya.
"Ngga inget kamu hari ini hari apa?"
Mana mungkin gue lupa sama hari yang bikin gue sial, dari tragedi ngerjain kutukan tugasnya Pak Pramono, terlambat sekolah, dihukum, pingsan, lebih parahnya... kalimat Kak Aldo yang membagongkan. Siap-siap aja dah hidup gue kena sial mulu.
"Jumat Kliwon Mak."
"Kamu tadi malam kenapa ngurung diri di kamar? Ngga kirim doa ke Mbah to?"
Menepuk jidat sambil membulatkan mulut. Aduh jadi ngerasa bersalah deh sama Mbah. Sayang gue ke Mbah lebih besar daripada sayang gue ke Mak Bapak, ya walaupun masing-masing ada kasih sayang sesuai takarannya. Tapi buat Mbah ngga ada takarannya. Pokoknya sayang sesayang sayangnya orang sayang. Nahloh pening pala kelean.
Nenek lebih tepatnya, tetapi di Semarang kita memanggilnya dengan sebutan 'Mbah uti' untuk nenek dan 'aki' untuk kakek.
Gue dari lahir sampai usia 14 tahun tepatnya kelas 2 SMP, dirawat sama beliau, Mbah uti di Solo kampung halamannya Bapak. Walaupun Mbah uti sudah di tinggal aki ke Rahmatullah, tetapi beliau masih sangat setia mengirim doa untuk aki.
Saat gue usia 13 tahun, kami sekeluarga beserta Mbah uti pindah ke Semarang dan sampai sekarang masih menetap di sini. Mba uti ninggalin gue untuk selama-lamanya, waktu gue lagi study tour ke Jakarta, karena penyakit jantung nya kambuh sampai tidak bisa terselamatkan. Selama di Jakarta gue ngga bisa fokus, pikiran gue cuma pengen ketemu Mbah uti.
Mbah uti adalah dari sekian banyak orang yang paling gue sayangi. Mbah uti mata pencahariannya adalah seorang petani. Jarang memegang uang, tetapi sekalinya beliau mendapat uang entah itu besar atau kecil pasti sebagian diberikan ke cucu-cucunya.
Dari gue kecil, bapak suka bolak-balik dari solo ke Semarang karena pekerjaan menjadi pekerja kuli di pembangunan. Dan Mak memilih bekerja di salah satu perusahaan rambut di solo. Jadi yang ngejagain gue otomatis adalah Mbah uti.
Dengan bergegas berlari ke kamar yang jaraknya dekat dari dapur. Menutup pintu dengan keras sampai Mak terjungkit kaget.
BRAK
"Pintunya rusak, baru minta-minta kamu ya!"
Meletakkan tas sembarang tempat. Mengambil hodie hitam dipadukan dengan celana olahraga, karena mengirit cucian. Menggantinya dengan terburu-buru sampai tidak sengaja jempol kaki kanannya terpentok kaki lemari kayunya.
GLEDEK GLEDEK
"Lahaulawalaquwwataillabillah."
Berlari membungkuk sambil memegangi jempol yang terpentok tadi supaya meredakan rasa nyeri yang merambat ke seluruh tubuh.
"Itu itu ada dinding yang lancip, pentokin sekalian!"
"Ya Allah Mak tegaa!!"
"16 tahun kayak bocah Ndah Ndah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kok, Kakel Cupu?! (SELESAI)
Teen FictionGimana kalau ngga ada angin, ngga ada hujan. Temen-temen laknat kelakuan kayak setan kalian melakukan hal yang membuat kalian malu seumur hidup? Pastinya kalian akan menggebuki mereka bukan? Ya udah kalau gitu, Indah juga bakal ngelakuin hal itu kep...