Saat kecil, cita-cita Alpha ingin menjadi pahlawan seperti di film yang sering dia tonton saat libur sekolah. Membayangkannya saja seru saat bisa terbang dengan sayap baja mengelilingi kota atau berayun antar gedung dengan jarring laba-laba. Lalu, entah bagaimana cita-cita itu mengerucut dan menjadikan dirinya pribadi yang sekarang.
Banyak orang bilang, bekerja di bidang pertahanan dan keamanan sama saja dengan mempertaruhkan nyawa cuma-cuma. Tapi jika semua orang memiliki pola pikir seperti itu, bukankah akan lebih bahaya untuk bertahan hidup karena banyak sekali penjahat berlalu lalang di luar sana. Apa jadinya jika setiap orang tidak punya kesadaran diri untuk tidak menyakiti satu sama lain? Mungkin bernapas saja akan terasa begitu menyesakkan.
Ada banyak hal yang sudah dia korbankan untuk menyandang lima bintang di bahunya. Lencana yang didapatkan dengan bercucuran darah dan mandi keringat. Tulang dadanya remuk dan kakinya hampir lumpuh. Alpha hampir tidak pernah tidur saat masih remaja, menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar sebelum tes. Selalu meluangkan waktu untuk berolahraga setiap pagi dan sarapan dengan makanan sehat.
Lalu, hanya karena tidak mampu melacak seorang buronan mafia saja dia harus rela melepas lencana dan berbalik mundur? Bukan tipikal Alpha sekali.
Bahkan jika kelompok mafia itu memiliki sarang di palung Mariana sekalipun, Alpha tetap akan menyelam meski hanya berbekal peralatan sederhana demi mengejar mereka. Bahkan jika mereka memiliki satelit luar biasa di puncak Everest, Alpha akan pastikan dia mampu merobohkan hingga gunungnya sekalian.
Alpha benci jika pekerjaannya tidak beres.
Tapi masalahnya, yang sekarang terasa sulit dan membuatnya menyerah bukanlah kelompok Trinity. Sebuah kartu nama di tangannya yang membuat Alpha hanya diam mirip orang bodoh di cafetaria kantor.
"Alpha!" teriak seseorang yang melesak masuk dan menggebrak meja. "Aku mencarimu kemana-mana."
Alpha mendongak kemudian menatap kesal. "Siapa yang mengajarimu menggebrak meja atasan?"
Laki-laki muda itu nyengir. "Agust bilang, tidak masalah."
Alain, nama laki-laki itu. Umurnya dua tahun lebih muda dari Alpha. Masuk dalam tim khusus Alpha sejak satu tahun lalu dan ahli dalam bidang meretas dan menjelajahi dunia cyber.
Dia melirik kartu nama yang ada di tangan Alpha. "Kau ingin pesan bunga untuk kekasihmu? Memangnya kau punya kekasih?" tanyanya saat melihat kartu nama toko bunga yang buru-buru disimpan Alpha di saku kemejanya.
"Ada apa?" Alpha malas meladeni ucapan Alain. Karena Alain berbicara soal takdir membuat Alpha menghampiri seorang wanita beberapa hari lalu. Sialan sekali. Dia meneguk kopinya yang sudah tidak lagi mengepulkan asap.
"August menunggumu di ruang monitor. Aku sudah berhasil menemukan anggota Trinity yang kau cari," jawab Alain enteng sembari berjalan ke mesin kopi dan menyeduh kopi untuk dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLY BY NIGHT; ENCOUNTER [On Going]
Romance[ACTION] | Some part will be delete soon. Locked for stranger, follow first for reading. ACT. 1 - Saudade (Complete) ACT. 2 - Encounter (On Going) "Bisa aku mempercayaimu? Laki-laki yang dipegang adalah janjinya." Tidak seharusnya bertemu. Tidak seh...