O3. Id Line

331 59 5
                                    

Disinilah mereka berdua, sesuai dengan janji dan suruhan Aji. Sedikit canggung, dengan posisi duduk berhadapan dan hanya 2 kursi begini. Aji selalu menunduk dan Sahel selalu berusaha agar Aji menunjukan mukanya.

"Kamu kaya mau di tahan aja. Naikin kepalanya, udah pesen kan?" Tanya Sahel masih tetap membuat manusia yang lebih muda darinya itu menunduk.

"Udah kok tinggal di tunggu aja."

"Pesenan punya aku apa?"

Aji sempet kaget. Yang benar saja, dia juga asal-asalan memesan minuman untuk Sahel, tidak tahu dia suka minuman atau tidak bisa minum apa.

"Matcha latte sih."

Sahel sempat ingin menolak, bagaimana lagi? Sudah di pesan. Sahel tidak ingin mengecewakan Aji, tapi juga ia tidak suka matcha. Pahit sekali rasanya.

"Suka matcha?" Tanya Aji melihat mata Sahel sebentar, dan menundukan kepalanya lagi.

"Suka banget kok. Kamu pesen pilihan yang pas." Jawab Sahel dengan acungan jempolnya dan menepuk kepala Aji pelan.

Aji menatapnya, menatap dengan tajam. "Ngapain tepuk-tepuk? Gak sopan." Ujar Aji memegang kepalanya yang di tepuk barusan.

'Gemes.'
"Gapapa, kan nepuk doang. Gak ngelecehin jugaan."

Aji kembali menundukan kepalanya, jelas membuat Sahel semakin gemas dengan tingkahnya.

"Permisi, atas nama Aji? Ini pesanannya." Ujar pelayan itu memberikan minuman dari nampannya.

"Oh iya terima kasih." Ujar Sahel menundukan kepalanya, di balas oleh pelayan itu.

Aji langsung meminum minumannya. Kelihatan haus sekali.

"Pelan-pelan minumnya, belepotan noh." Ujar Sahel berniat untuk membersihkannya, malah di tepis oleh Aji.

"Di bilangin. Jadi orang yang sopan. Jangan megang-megang muka orang juga, skincare mahal." Omel Aji membuat manusia didepannya cengengesan.

"Skincare itu murah, asal punya duit aja." Jawaban Sahel ada benarnya.

Aji menunjuk kepada Sahel. "Skincare-an?" Tanya Aji, tapi entah kenapa pergerakkannya aneh. Tidak pakai nama, tidak pakai sebutan.

"Ngomong aja pakai gue-lu atau aku-kamu gapapa. Panggil Sahel aja juga boleh. Selama diri kamu masih kamu, kamu bebas ngelakuin apapun. Sama saya." Jawab Sahel yang menyadari Aji merasa aneh jika menyebut gue-lu atau aku-kamu kepadanya, terlebih lagi memakai namanya.

"Cepetan di minum minumannya, biar minumannya gak hambar karena es." Ujar Aji meminum minumannya sendiri. Enak sekali kelihatannya. Sahel jadi ragu ingin meminum pesanan Aji.

Sahel pun terpaksa minumannya. Tidak berekspresi. Biasa saja. Namun hatinya mengumpat segalanya. Coba saja kalau matcha manis, pasti ini udah habis dari tadi.

"Kenapa? Gak suka matcha ya?" Tanya Aji meyakinkan.

"Ya ampun, matcha favorit aku nomor 1. Gak mungkin gak suka." Ujar Sahel. 'Iya, nomor 1 dari belakang.'

"Nanti kalau mau nambah bilang aja ya. Nanti tetep tak bayarin kok." Ujar Aji.

"Gak usah, 1 aja udah cukup. Nanti aku anter pulang aja ya? Gak boleh pulang sendirian malem-malem." Ujar Sahel padahal rumah Aji sangat dekat dari cafe.

"Gak usah, deket sini kok rumahnya." Jawab Aji menolak mentah-mentah ajakan Sahel.

"Ya udah."

Pukul 17.45 mereka berpisah dari cafe itu. Aji berjalan kaki ke rumahnya dan Sahel terus mengikutinya agar Aji sampai rumah dengan selamat. Aji tidak mengetahuinya bahwa Sahel menemaninya selama perjalanan.

Hellaven of Ji(e)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang