O6. Sahel

246 50 3
                                    

Waktunya istirahat, semua temannya Aji ke kantin, tapi Sahel tidak melihat Aji sama sekali. Dimana anak itu sebenarnya?

"Aji kemana? Kok gak ada disini?" Tanya Sahel sembari memakan kebab favorit nya.

"Aji lagi ngumpulin data calon osis. Tunggu aja dulu, palingan bentar lagi nongol," jawab Chris dan Sahel hanya ber 'Oh' ria.

"Tumben tuh anak mau jadi jadi anggota sekolah, dari dulu perasaan di tawarin pakai apapun gak mau mau," ujar Jeno.

"Lho? Kirain dia mau jadi osis gara-gara dulu pernah jadi osis? Bukan ya?" Tanya Sahel penasaran.

"Gak, dia mana mau jadi gituan. Gue juga kaget waktu denger dia nyuruh Rey, sama Chris buat ngedata calon osis," jawab Yogi.

'Keren' batin Sahel.

"Bang, gue lelah," ujar Aji menyusuli mereka dan duduk di sebelah Sona yang memang kosong khusus Aji.

"Emang disuruh ngapain aja?" Tanya Sona.

"Ngumpul in kertas sama di tanya aja sih."

"Terus apa yang buat lu capek?"

"Berdiri terus, gak di kasih duduk." Aji ngambek dan Sona mengelus rambut belakang nya.

"Lesehan kan bisa?" Tanya Jeno.

"Ndasmu lesehan, lu tau kan lantai guru bk sama ruangan osis kotornya kayak apa?" Ujar Aji menekan kata 'Kotornya'.

"Tau sih, harusnya mau kek beli sapu? Atau emang males nyapu?" Tanya Jeno membuat Aji mengangkat kedua bahu nya.

"Males kali." Jawab Aji disusul anggukan persetujuan Jeno.

"Pesen makan sono, gue gak ngerti makanan favorit lo apaan tadi," ujar Yogi.

"Lu gak mesenin gue? Jahat lu pada." Ujar Aji kemudian memesan makanan sambil ngambek.

Teman-temannya tau akan itu, jadi mereka hanya cengengesan kecil. "Gak usah ketawa lu pada!" Omel Aji dan semua menurutinya.

'Sialan, makin gemeeesssss'.

***

Laboratorium, iya benar. Ruangan yang paling banyak orang suka hanya karena isinya yang luar biasa. Dimulai dari gelas yang panjang, gelas yang berbentuk segitiga dan ada corong nya, ada alat seperti stetoskop, tidak tahu namanya apa.

"Ini namanya stetoskop ya? Gue sering lihat tapi gak tau namanya?" Tanya Sahel kepada Jeno.

Jelas Jeno memukul jidatnya. "Mikroskop ege, stetoskop yang buat cek detak jantung!" Sahel cengengesan. "Oh iya ya." Jawab nya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Eh cok? Kesini disuruh ngapain?" Tanya Chandra menyusul Sahel dan Jeno.

"Disuruh belah durian." Jawab Jeno.

"Yang bener dong!"

"Lagian lo, udah tau ini di ruang lab, masa gitu aja gak tau dah?" Tanya Jeno menggosok kepala Chandra.

"Santai bang santai. Gue gak ngerti praktek gini." Ujar Chandra memasuki tangannya di kantung jubah khusus lab nya.

"Palingan ya ngemicro kayak beginian," ujar Jeno mengangkat daun kecil yang sudah sedikit basah.

"Pak Bulan bilang tugasnya kelompokan, 1 kelompok 4 orang, pas dah ni," ujar Jevan yang tiba-tiba datang membawa tabung reaksi.

"Disuruh ngapain emangnya?" Tanya Jeno.

"Bentar-bentar, materinya ada di halaman 26, nah ini, disuruh silet daun? Terus kasih air? Taruh kaca, terus di pakai micro, Jen. Bawa sini micronya." Suruh Jevan kepada Jeno.

"Terus di apain?" Tanya Chandra.

"Yaudah bikin data nya udah selesai." Jawab Jevan.

"Cih, ribet ipa."

Mereka pun mulai fokus membuat penelitian tentang itu. Beberapa menit kemudian mereka sadar.

"Ini pelajaran smp bukan sih?" Tanya Sahel dan Jeno memukul pundak Sahel.

"Gue pikir gue doang yang mikir ginian."

"Mengulang materi paling," jawab Chandra.

"Mengulang tapi ini kelewatan."

"Yaudah sih Jen, yang penting jadi."

"Sahel? Tolong gambarin noh yang ada disini, posisi udah bener kok. Jeno nulis data, Chandra.."

"Gue gak ada kan?"

"Mijit gue." Jawab Jevan membuat Chandra malas.

"Ogah," ujar Chandra mendorong punggung Jevan.

"Jeno? Gue boleh nanya?" Tanya Sahel sembari menggambar yang disuruh Jevan tadi.

"Boleh, nanya apaan emang?"

"Dulu waktu SMP, Aji sekolah dimana?" Tanya Sahel membuat Jeno heran, mengapa tiba-tiba dia bertanya hal seperti itu?

"Kenapa nanya begitu?" Tanya Jeno balik.

"Cuman kepo aja, muka Aji gak asing bagi gue. Ya mungkin aja dulu dia anak yang pernah gue temuin di SMP." Ujar Sahel menjelaskan semuanya. Jevan dan Chandra dari tadi hanya bercanda, tidak mendengar apa yang Jeno dan Sahel bicarakan.

"Ohh Aji sekolah di Culture High School, muka Aji mirip siapa emang?" Tanya Jeno.

Sahel merasa asing dengan sekolah itu, mungkin yang di pikirnya beda orang.

"Gue udah lupa sih namanya siapa." Jawab Sahel masih dengan posisi menggambar.

"20 menit lagi di kumpul, cepetan ya," ujar Jevan.

***

"Bang, dugun-dugun gue sumpah." Ujar Aji kepada Dev karena ia sedikit takut jika keterima di osis, dan juga takut jika tidak keterima. Aneh.

"Jangan deg-degan, biasa aja. Pasti keterima kok, jam berapa di kasih taunya?" Tanya Dev.

"Gak tau deh, intinya nanti di panggil aja gitu haduhh," Aji masih takut dengan pengumuman nanti. Masih lama, namun greget nya menjadi jadi.

"Sabar, Ji sabar. Lo kalau khawatir terus nanti ya takutnya malah kagak keterima. Ayo posthink bos." Ujar Gery menyemangati Aji.

"Kalau gak keterima gimana?"

"Gapapa, keterima atau enggak itu udah nasib," ujar Yogi.

"Ok I'll breathe. Huftt," ujar Aji menarik napas agar tetap tenang.

"Nanti kalau kamu jadi osis, aku traktir, semuanya." Ujar Sahel membuat Chandra kaget.

"Semua? Semua murid?" Jeno memukul kepala Chandra.

"Pala lo, dikira barang di dunia ini cuman 100 rupiah?" Kesal Jeno, Chandra memang begitu, anaknya kalau mau ngomong tidak bisa berpikir dulu.

"Lagian lo sih, Hel. Ngomong semuanya tuh harusnya ya temen lo. Ngerti?" Tanya Chandra dan Sahel mengangguk. Tidak ada yang waras.

"Balik aja dulu ke kelas, udah agak lama kita disini." Ujar Jeno dan semuanya baru menyadari, hanya mereka yang ada di sekitaran kantin saat ini.

"Lah iya udah sepi woi, cepetan balik ke kelas."

*****

Hellaven of Ji(e)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang