Pagi ini Singto terbangun karena mendengar suara Krist yang sedang mual-mual dikamar mandi. Ia segera bangun dan menghampiri Krist kemudian memijat tekuknya agar mudah mengeluarkan isi perutnya, meskipun yang keluar hanya cairan berwarna kuning.
Setelah selesai dengan muntahnya, Krist langsung menepis tangan Singto dengan kasar. "Aku tidak butuh bantuanmu."
Krist membasuh mulutnya kemudian keluar dari kamar mandi dan duduk disofa sambil menyenderkan kepalanya pada sandaran sofa. Ia memejamkan matanya dan merasakan tubuhnya yang sangat lemas.
Singto menjadi geram karena Krist memperlakukannya seperti itu namun tetap ia tahan. Singto lalu mengambil handuk dan pergi untuk mandi.
Sejak kejadian Krist yang ingin mengakhiri hidupnya Singto memaksa Krist untuk tidur dikamarnya. Singto beralasan jika Krist kembali ke kamarnya ia akan melakukan perbuatan yang nekat lagi namun jika dikamar Singto ia bisa mengontrol Krist dengan mudah. Krist awalnya menolak karena ia tidak suka tidur dengan orang lain apalagi orang yang tidak ia kenal dengan baik, namun Singto terus saja memaksa hingga Krist akhirnya menyetujuinya.
Krist tidak tau apa yang akan terjadi dikemudian hari, ia mulai ragu apa Singto serius dengan apa yang diucapkannya atau itu hanya permainannya saja untuk membuat Krist semakin menderita.
Krist berpikir mengapa Singto menerima semuanya dengan mudah? Jika memang Singto menginginkan anak ini mengapa ia memukuli Krist setelah tau bahwa Krist hamil? Pertanyaan itu terus berputar-putar dalam benaknya namun tak kunjung mendapatkan jawaban.
Sampai pintu kamar mandi terbuka dan menampilkan Singto yang baru saja selesai membersihkan diri.
"Kenapa makananmu tidak kau makan?" Tanya Sinto.
"Aku tidak lapar."
"Cepat makan, jangan membantah!"
Krist masih tak bergeming, ia hanya menatap makanan itu namun tidak menyentuhnya sama sekali.
"Bolehkan aku bertanya sesuatu padamu?"
Singto menaikkan satu alisnya dan menatap Krist heran, beberapa detik berikutnya Singto mengangguk.
"Mengapa kau tidak mau membunuhku?"
"Aku sudah memberikanmu hak untuk bertanya jadi aku juga punya hak untuk tidak menjawab."
"Baiklah jika kau tidak ingin menjawab itu tapi untuk pertanyaan kali ini berikan aku jawaban. Kenapa kau mau bertanggung jawab?"
"Karena aku bukan pengecut yang lari setelah membuat kesalahan."
"Jadi kau bertanggung jawab hanya karena kau tidak ingin dikatakan pengecut?"
"Hm."
Krist tersenyum remeh, bodoh sekali dirinya yang sempat berpikir bahwa Singto akan menerimanya dan anak yang sedang dikandungnya dengan tulus. Krist memejamkan matanya, merasakan hatinya yang berdenyut nyeri karena harapan yang baru ia bangun patah begitu saja. Memang benar apa yang ia pikirkan tadi, Singto hanya main-main saja.
"Kalau begitu aku tidak butuh pertanggung jawabanmu!" Ucap Krist dengan tegas.
Krist keluar dari kamar Singto dan kembali ke kamarnya. Ia tidak ingin berlama-lama berada didalam kamar itu bersama dengan Singto. Entah apa yang Krist rasakan saat ini, yang ia tau ada rasa yang tidak nyaman dalam hatinya. Ia meminta lebih, bukan hanya sebuah pertanggung jawaban, tapi ia juga butuh pengakuan.
Krist tidur tengkurap dikasur dan memeluk gulingnya, ia menangis untuk meluapkan rasa sesak yang terus menekan dadanya. Krist tidak tau apa yang akan ia lakukan selanjutnya, Krist tau bahwa ia tidak bisa kabur dan jika ia meminta dibebaskan pada Singto jawabannya pasti tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stockholm [Singto X Krist]
Fiksi Penggemar[COMPLETED] Warning NC (21+) 🔞🔞🔞 Krist tau bahwa ini akan terdengar sangat bodoh, tapi Krist tidak peduli. Krist benar-benar jatuh cinta pada orang yang telah menculiknya. Meskipun ia disakiti, dihina, bahkan direndahkan, tapi hati Krist tetap ya...