09. Seseorang yang Takut Bermimpi

167 37 3
                                    

hi! dont forget to vote and leave a comment :b
follow Instagram @delightmare

Happy reading <3

Langit sudah berubah jadi gelap ketika Shaga memarkirkan mobil di garasi rumahnya. Ia sedikit memincingkan mata ketika melihat ada satu mobil yang sudah terparkir di garasi tersebut. Pemuda itu menghela napas pelan ketika tahu mobil itu milik siapa.

Begitu Shaga keluar dari garasi, angin malam berhembus menerbangkan rambut, hanya sebentar, karena ia sudah bergegas untuk segera masuk ke dalam rumah. Di sambut dengan cat tembok berwarna gading dengan suasana sunyi serta aroma apel, Shaga melangkahkan kaki dengan santai, hendak menuju kamar.

“Baru pulang?”

Langkah Shaga terhenti ketika mendengar suara berat tersebut. Ia menggerakkan kepalanya ke samping kanan, menatap pria paruh baya tengah bersandar pada sofa, menggunakan kacamata dengan tablet yang menyala di tangannya.

“Shaga habis latihan taekwondo, Pa.”

Pria itu, papanya Shaga, melirik tabletnya sekilas sebelum kembali menoleh pada Shaga. “Jam tujuh malam. Nggak biasanya kamu pulang telat banget. Mentok juga setengah enam, sebelum maghrib.”

Shaga menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Tadi ada masalah, Shaga cedera.”

Seakan tak khawatir dengan pernyataan yang dilontarkan anaknya, Papa malah memandangi Shaga layaknya tengah menghakimi sesuatu. “Look,” ujarnya menggantung. “Kamu bandel, Shag. Udah Papa bilang, stop melakukan hal-hal yang nggak berguna, yang bisa membahayakan kamu.”

Shaga mengerutkan kening, tak terima dengan ucapan Papa. “Pa, taekwondo nggak berbahaya, justru dengan itu Shaga bisa jaga diri.”

“Kamu nggak inget? Berapa kali kamu udah cedera gara-gara hal itu?” tukas Papa cepat. Kemudian hening selama beberapa detik karena Shaga tidak menjawab pertanyaan tersebut, membuat Papa menghela napas. “Forget it. Percuma juga Papa nasehatin kamu, nggak pernah kamu dengerin.”

Tak ada yang menyadari, namun Shaga dengan jelas menunjukkan ketidaksukaan pada wajahnya ketika Papa melontarkan kalimat tersebut.

“Duduk dulu,” suruh Papa. Shaga tak meresepons apa-apa dan segera menurut. “Papa mau tanya, kamu udah nggak pulang bareng Shena lagi?” lanjutnya bertanya yang langsung dibalas anggukan oleh Shaga.

“Kenapa gitu? Shaga, kamu tau 'kan kalau Pak Yusuf masih belum pulang? Shena juga belum bisa naik kendaraan sendiri. Kalau aja Shena bisa naik kendaraan sendiri, Papa nggak akan minta tolong hal simple kayak gini ke kamu, Shag. Begitu juga dengan Tante Airin. Jangan lepas tanggung jawab gini.”

“Shena yang nggak mau, Pa.” Shaga dengan cepat menyahut.

“Oh ya?” Kedua alis Papa terangkat. “Menurutmu kenapa bisa gitu?”

Shaga mengernyit. Kenapa seakan-akan papanya itu tengah menaruh curiga padanya?

“Shaga nggak tau.”

“Kamu yakin nggak melakukan sesuatu ke Shena?”

“Melakukan sesuatu?” Shaga mengernyit dalam kemudian menggelengkan kepala. “Shaga nggak ngelakuin apa-apa.”

Papa terlihat diam mendengar respons Shaga, seperti memikirkan sesuatu, namun Shaga tidak tahu apa itu. Ia ikut terdiam, kembali memikirkan kalimat Shena sekitar satu minggu yang lalu. Dimana ketika gadis itu menghampirinya di warung Bu Dhe.

Sejujurnya, Shaga sudah tahu bahwa Shena akan pulang terlambat, dikarenakan ia mendengar bahwa Hanna dengan suara beratnya itu berteriak pada Shena, menyuruh gadis itu untuk mengikuti rapat demo ekskul. Shaga bukan tidak sengaja untuk tidak pulang duluan hari itu. Ia sengaja melakukannya untuk menunggu Shena, namun agar ia tak kentara melakukan hal tersebut, ia berpura-pura ikut nongkrong di warung Bu Dhe dengan alasan mengawasi murid-murid nakal yang hobi bolos di sana.

Sesuai Titik Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang