Endah Pratama

357 34 0
                                    

*Halim POV*

Akhirnya aku mengakui perasaan sukaku kepada Sarah beberapa minggu yang lalu, tapi itu tidak berarti apa-apa baginya. Setelah kejadian nekat yang kulakukan ditoilet kami tidak pernah lagi saling jumpa. Sekali sekali aku berusaha mencuri lihat ketika kakaknya datang tapi hasilnya nihil. Hanya ada Pak Brian dan Ayana.

"Hey, pagi pagi sudah melamun. memangnya kamu tidak pergi kerja?"
"Eh ibu, ngagetin aja"
"Bukan ibu yang ngagetin kamunya aja yang menghayal"
"Entahlah Bu"
"Ada masalah?"
"Nggak ada Bu, Imah boleh peluk ibu?"
Otomatis ibu merentangkan kedua tangannya.
"Ah, tempat teraman ku" aku menyesapi aroma ibuku, masih sama dari aku kecil. Bagaimana kalau ibu menemukan sebuah fakta menyedihkan kalau anak perempuan nya tidak normal? Bagaimana bisa aku menghancurkan hati ibu? Sementara didoanya namaku disebut untuk segala doa terbaiknya?
"Lho anak ibu nangis?" ibu berusaha melihat wajahku.
"Ah nggak koq Bu"
"Apa masalahnya nak?"
"Imah menyukai seseorang Bu, dan dia sama seperti Imah" jawabku hanya dalam hati.
"Imah? Koq malah jadi liatin ibu?"
"Kalau misalnya nih imah ngelakuin kesalahan besar ibu maafin nggak ya?"
"Kamu ini, ibu kan ibu kamu. Memangnya kesalahan apa yang anak ibu perbuat hah?"
"hanya misalnya aja Bu"
"Kalau bukan ibu yang bisa mencintai anaknya tanpa syarat lalu siapa lagi nak? Ibu sangat menyayangimu dari pandangan pertama nak. jadi semisal seluruh dunia membencimu, ibu tidak"
"Imah sayang banget sama ibu"
"Ah kamu Imah, pagi pagi udah buat ibu mewek. sarapan yuk, ibu masak makanan kesukaan kamu"

Saat sarapan pagi ini hanya ada aku, ibu, dan ayah. Alif sudah pergi sekolah. kata ibu dia ada kegiatan bazaar disekolahnya dan dia juga panitia. Anak itu memang selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik dan berusaha tampil di segala kegiatan.

"Halim gimana kerjaan kamu?"
"Lancar lancar aja yah"
"Oh baguslah, tapi jangan lupa dengan kesepakatan dengan Ayah ya"
Mendengar perkataan ayah yang seperti tuntutan di setiap acara makan membuatku sedikit muak.
"Iya yah" jawabku sedikit kesal.
"Kamu pendekin rambut?"
"I iya yah, panas" jawabku asal.
"Kamu ini, kamu anak gadis sudah kelihatan seperti anak laki laki, ditambah lagi pendekin rambut"
"Ibu yang anjurkan yah, coba ayah pikir kerja panas panas dengan rambut panjang yang ada malah mengganggu"
"Makasih Bu" batinku. padahal ibu tidak ada menganjurkan. Ibu memang selalu menjadi penolongku.
"Ibu selalu manjain Halim"
"Lha gimana dong yah, namanya Imah anak kita, masa iya ibu manjain anak orang lain?" Jawab ibu terkekeh sambil mengedipkan sebelah mata ke arahku.
"Terserah ibu deh, lihat karena ibu manjain Halim berlebihan tampilannya jadi seperti anak Lanang"
"Ayah ada-ada aja, apa yang salah memangnya? Lah ayah manggil namanya aja Halim, ngajarin nya juga pencak silat dari kecil"
"..." Ayah terdiam. perdebatan kecil seperti ini memang sering terjadi antara ayah dan ibu kalau menyangkut aku.
"Aku sudah selesai sarapannya, Halim berangkat ya Ayah, Imah pamit ya ibu" aku memang sengaja cepat cepat menyudahi acara sarapan ini untuk menghindari tuntutan ayah yang membuat sakit kepala. Ada aja yang dipermasalahkan. Padahal dulu sewaktu kecil ayah tidak seperti ini.
"Tunggu Imah"
"Iya Bu?"
"Kamu nggak salim ayah sama ibu nih?"
"Oh iya, lupa" jawabku, kemudian segera menyalim mereka.
"Oh ya Halim, ayah hampir lupa. kamu sudah lama tidak latihan kan?  minggu ini kita latihan dan ayah sudah daftarin nama kamu untuk jadi calon pertandingan bulan depan"
"Halim kan kerja Yah, mana mungkin bisa ikut tanding?"
"Tenang tandingnya di hari Minggu"
"Ya sudah yah, Halim berangkat dulu"
"Iya hati hati"

Begitulah Ayahku, sedikit aneh. Benar kata ibu, dia ingin anak perempuannya tampil feminim tapi ngajarinnya jadi atlet pencak silat bukan jadi balerina.

Sesampainya di tempat kerja semua berjalan seperti biasanya, hanya saja Iwan tingkat keceriwisannya semakin menjadi-jadi.
"Eh, Halim da dateng lu"
"Iyalah datang, masa iya arwah gue yang jawab lu?"
"Mbak cantik tadi kesini nyariin lu, perasaan dia emang nyariin lu mulu deh. ngerasa nggak?"
"Apaan sih Lo, wajarlah dia nyariin gue kalau ada yang dia butuh masalah kerjaan"
"Gue rasa nggak lah bro, kesannya jelas banget. dia berusaha dekat ke elu. berusaha ngintilin lu kemana mana "
"Idih, apaan sih? ngaco Lo wan"
"Seriusan gue Lim"
"Ah, kerja lu sana. ntar gue laporin Lo makan gaji buta ke Pak Brian. mau Lo?"
"Iya iya, PMS lu bro?"
"Iya, gue lagi dateng bulan, puas Lo?"
"Emang bisa?"
"Ya ampun dah Iwan, gue cewek ya dan hakikatnya memang gitu. kecuali gue lansia yang udah menopause"
"Menopause itu apa?"
"Daripada gue tabok Lo pake ini obeng, mending Lo menjauh deh. ntar sampe rumah tanya pacar, ibu atau nenek Lo"
"Hehehehe"

Tak berselang lama dari acara pengusiranku ke Iwan, Ayana muncul.
"Minta laporan ini lagi?" tanyaku langsung dan memberikan sebuah buku yang biasa dia minta.
"Oh bukan"
"Gue mau minta tolong ke Lo"
"Minta tolong? gue?"
"Iya, handphone gue ketinggalan dirumah"
"trus? kan tinggal dijemput? atau digosendkan?"
"Nah itu dia, gue takut gosend ntar abang gosend nya ambil"
"Astagfirullah, nggak boleh soudzon Ayana"
"Gimana dong? bantuin gue jemput bentar yuk"
"tapi..."
"Tenang, gue dah permisiin Lo ke Pak Brian. boleh ya bantuin gue?"
"ya udah, mana kunci mobil Lo?"
"Gue kan nggak punya. itu mobil bos"
"Oh iya ya? gimana dong?"
"Motor kamu?"
"Itu motor trail, boncengan susah"
"Susah tapi bisa kan?"
"Ya bisa sih, tapi..."
"Atau kamu memang gamau bantu?"
"Bu bukan gitu, lihat itu motor gue! tadi gue bongkar mau perbaiki rantai"

Dalam hati aku bersyukur tadi otak-atik motor sendiri. digandeng aja gue merasa risih, bayangin boncengan lagi membuatku makin bergidik. tapi kenapa beda dengan Sarah aku juga tidak tau. malah sampai melakukan ke tahap yang paling ekstrim. apa semua pasangan sesama jenis di luaran sana memang semua seperti itu? kalau iya, berarti itu mematahkan anggapanku yang sebelumnya bahwa misalnya seorang wanita lesbian pasti akan menyukai semua wanita dengan mudahnya.

"Jadi gimana dong?" dia bertanya penuh harap. aku jadi tidak tega.
"Iwan! Gue bisa pinjam motor bebek Lo?"
"Bisa! ambil aja tapi jangan lupa isi bahan bakar" dari kejauhan dia melempar kunci motornya.
"Ah bangke! kesempatan lu!"
"Hahahaha kan lumayan bro"
"Yuk buruan"
"Iya ayo"

Di tengah perjalanan Ayana minta untuk berhenti sebentar. rupanya ke sebuah gerai kopi.
"Gue haus, mampir bentar yuk lim. Lo mau apa? gue yang bayar"
"Take away aja ya. ntar takut kelamaan, gak enak ke bos makan gaji buta"
"penakut banget sih jadi orang. udah ayok aja" dia malah maksa.
"Nggak lama kan?"
"Nggak lah, duduk bentar doang koq. mau apa tadi?"
"Coffee brown sugar aja"
"Mau extra Boba nggak?"
"Nggak usah ntar gue susah BAB"

Tidak menunggu lama setelah Ayana memesan, seorang pekerja gerai kopinya mengantarkan pesanan.
"Thanks mas"
"Sama sama mas"
"Eh?"
"See? That was what I feel firs I met you Lim" Ayana malah tertawa dengan kejadian barusan.
"Kamu minum espresso?"
"Iya, kenapa?"
"Nggak merasa terlalu pahit?"
"Enak koq. dulu juga gak gitu suka cuman penasaran karena kak Sarah suka minum ini"
"Sarah suka minum kopi?"
"Kamu kenal kak Sarah?"
"Yah, kenal gitu doang sih" aku merasa tidak nyaman dengan tatapan Ayana.
"Oh gitu, tapi koq kak Sarah bilang nggak kenal sama Lo Halim"
"Sarah bilang gitu?"
Ayana hanya mengangguk tapi dengan wajah bingung.

"Halim"
"Iya yan?"
"Gue mau tunjukin sesuatu ke elo, nih" dia mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan menyodorkannya kearah ku. sebuah photo.
"Ini siapa? Ibu nya Sarah?" tanyaku mengernyitkan kening sangat bingung. Ayana ini random banget tingkahnya.
"Bukan, itu mami kandung gue. Endah Pratama"
"Gila mirip banget sama ibu nya Sarah, plek ketiplek"
"Masalahnya bukan itu Lim"
"Masalah?"
"Coba deh Lo tanya ke bokap atau nyokap Lo tentang Endah Pratama"
"Maksud Lo apa sih Ayana? Lo kenal dengan orang tua gue? dan sori, apa kaitannya orang tua gue sama mami Lo?"
"Kamu tanya aja sendiri ya, yuk kita berangkat"
"Memangnya Lo nggak bisa jelasin? jangan buat penasaran dong''







Dosa KebahagiaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang