Semenjak Alif tiba-tiba pergi meninggalkan kami di depan toko buku, Alif sering kali tidak masuk sekolah karena urusan keluarganya. Saat Azul bertanya alasan yang lebih spesifik, Alif hanya menjawab, “Urusan keluarga.”
Alif tidak berbohong. Namun, urusan macam apa yang sampai membuatnya tidak masuk sekolah selama dua hari, bahkan satu minggu. Dia juga tidak ikut penilaian di klub Desain, tidak semangat bermain basket sampai membuat beberapa cewek yang masih mengaguminya kecewa. Kendati Alif jarang masuk sekolah, pesan grup terus saja ramai olehnya.
“Seperti yang sudah dijanjikan. Hari ini saja. Terserah mau makan apa. Aku yang bayar.” Begitu kalimat itu terlontar dari mulut Alif, Azul bergegas memesan sesuatu pada ibu kantin. Aku memperhatikannya yang lancar sekali menunjuk makanan. “Kana? Kamu mau pesan apa? Biar aku yang ambilkan.”
Segera aku menolaknya. Ingin sekali aku menasihatinya untuk tidak menghambur-hamburkan uang. Alif sudah banyak melakukannya untuk kami. Jika dihitung-hitung, jumlahnya sudah pasti membuat mama terus bergumam sembari mengelus dada. Cowok ini terlalu baik di balik sikap menyebalkannya, kembali membuatku berasumsi pasal kelap-kelip di sekelilingnya.
Apa kemurahan hatinya ini yang memunculkan kilauan ajaib itu? Sesaat setelah memikirkan itu, aku dilanda rasa bersalah lantaran menyembunyikan sesuatu darinya.
Kami sudah menjadi teman. Mengingat hal itu, rasanya aku ditimpa dosa yang besar sekali. Alif sudah melakukan banyak hal untukku, tetapi yang kulakukan malah sebaliknya. Haruskah aku memberitahunya sekarang? Kantin masih terbilang sepi, Azul masih sibuk mencamil remahan gorengan di warung sana.
Namun, aku tidak bisa melakukannya. Mungkin lain kali, saat di mana kami hanya bertiga dan keberanian dalam diriku berkumpul. Hanya saja, kapan itu?“Kana?”
Aku mengerjap, tahu-tahu wajah Alif begitu dekat sampai aku terkinjat dan hampir terjengkang.
“Kamu nggak suka, ya?”
Eh? Aku kembali mengerjap karena pertanyaannya.
“Setiap kali aku mentraktir kalian. Kamu nggak suka?” Warna biru terselip di antara kelap-kelipnya. Alif tampak kecewa, menambah rasa bersalahku padanya.
Segera aku menggeleng. “Tidak. Aku suka—maksudku ....” Melihat sekeliling yang ternyata sudah ramai, aku terdiam sejenak sebelum menjawab, “Jangan terlalu sering seperti ini. Apa kamu tidak sayang uangnya? Sekali-kali biar aku dan Azul yang melakukannya.”
Aku menghitung jumlah yang Alif keluarkan untukku selama kami berteman dalam kepala, kemudian segera berkata saat Alif hendak protes. “Terutama aku. Kamu nggak perlu membujukku dengan traktiran.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Incandescent #1
Teen Fiction[Kelas X] Completed Synesthesia yang ia miliki, terus membuatnya tidak bisa hidup dengan tenang. Murid-murid sekolah menjauhinya karena kesalahpahaman, tak berani menatap matanya, menduga dirinya bisa membaca pikiran. Sampai di mana dia mendapat seo...