09. Aku Memuntahkan Segalanya

136 61 1
                                    

Aku tidak masuk sekolah selama dua hari sampai kakiku bisa berjalan tanpa bantuan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tidak masuk sekolah selama dua hari sampai kakiku bisa berjalan tanpa bantuan. Alif yang melihatku sekolah padahal plester di lututku masih menempel, dia panik, hampir menggendongku padahal kami sudah ada di depan kelas.

"Seharusnya kamu istirahat lagi." Alif masih berusaha membantuku berjalan, padahal tangannya sudah kutepis berkali-kali.

"Aku sudah bisa berjalan, kok." Aku mendudukkan diri, meringis saat tasku tak sengaja menyentuh luka di lututku.

"Tapi, kan, perbannya―"

"Ini cuma plester," tegasku.

Alif terdiam, pandangannya terus tertuju pada wajah, lalu lututku sampai aku harus memukul kepalanya dengan buku tulis.

"Bisa aku lihat buku catatan Matematika kamu? Gambar yang kamu kirim waktu itu kurang jelas." Aku memberi alasan karena risi terus ditatap olehnya.

"Ini, kan, masih pagi―"

Entah kenapa sekarang aku berani memukul Alif berkali-kali. Bahkan aku melakukannya pun, cowok itu tetap senang. Apa memang benar kelap-kelip di kepalanya itu karena suasana hatinya yang selalu bagus? Kalau diingat-ingat, dia tidak pernah marah atau kesal terhadapku. Aku sempat mengira dia memiliki gangguan jiwa, dan saat aku memikirkannya, aku jadi merasa bersalah.

Farrel datang beberapa menit kemudian, mengalihkan atensiku dari buku matematika milik Alif yang kacau. Cowok itu tiba-tiba saja menodongku dengan satu pertanyaan yang dilontarkan berulang-ulang.

"Alif bilang, katanya kamu nggak bakalan masuk sekolah selama seminggu," ungkap Farrel, membuatku menoleh pada Alif yang tersenyum lebar tanpa rasa bersalah. "Katanya, aku disuruh menghafal perkalian sampai angka seratus. Itu bohong, 'kan?"

Aku masih terdiam, belum menjawab, tetapi Farrel sudah lebih dulu memukul kepala Alif. "Sudah kuduga. Tapi lututmu ...." Farrel melongok pada lututku, membuatku refleks menutupinya dengan buku catatan. "Apa ... kelompok belajarnya ditunda saja sampai minggu depan?"

Alisku terangkat, diam-diam bersorak dalam hati. "Ya. Minggu depan." Aku menyetujui. Padahal sekarang pun aku bisa. Toh, cuma lutut. Kita, kan, bisa belajar di sekolah tanpa lari-lari.

Namun, lima belas menit kemudian, Farrel menyadarinya. Bu Yanti mengumumkan pasal UTS yang diadakan dua minggu lagi. Jadi, ulangan harian merajalela di setiap mata pelajaran sampai ruang kelas dipenuhi keluhan sampai rasanya kepalaku sakit.

Guru-guru bilang, latihan menjelang pertempuran sesungguhnya. Padahal biasanya ulangan harian tidak dilakukan secara bersamaan seperti ini. Kata Farrel yang kudengar tanpa ikut bergabung dengan keluhannya bersama Azul, "Ini, sih, namanya ulangan sungguhan. Bukan harian." Aku setuju dengannya, dan aku juga menolak tegas saat Farrel merayuku untuk kembali menjadi guru lesnya menjelang ulangan. Matematika saja tidak apa, tetapi jika semua mata pelajaran, aku mundur.

Incandescent #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang