17. Kami Berhasil Menyambung Tali

110 51 9
                                    

Pikiranku kalut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pikiranku kalut. Bu Yanti sama sekali tidak menjawab pertanyaanku, sibuk berusaha menghubungi orang tua Alif, bahkan saat Alif ditangani dokter. Jadi, yang kulakukan hanya duduk menunggu, bersama Azul, dan berbagai macam gambaran dalam kepala yang tidak ingin kulihat.

Kutepis semua bayang-bayang itu sembari berusaha keras menahan diri untuk tidak menangis, atau panik berlebihan seperti yang kulakukan saat nenek terjatuh. Aku pandai dalam hal itu, begitu pun dengan Azul. Cowok itu berpeluh, berkali-kali ia mendesis dan memejamkan mata. Rasa khawatirnya lebih besar dariku kendati dia tidak cerewet bertanya selama perjalanan ke rumah sakit.

"Kamu tahu apa yang terjadi pada Alif?" Aku bertanya pada Azul, tetapi cowok itu menggeleng tanpa perlu menatapku.

Ingin sekali aku menyinggung masalahku dengannya akhir-akhir ini, tetapi situasinya tidak memungkinkan. Melihatnya sudah mau berbicara denganku saja sudah membuatku lega. Juga, semoga hubungan kami berjalan dengan baik setelah pemeriksaan Alif selesai.

"Maaf ...." Ucapan Azul membuatku menoleh cepat ke arahnya. Dia masih tidak menatapku, tetapi dia sungguhan berbicara denganku. "Selama ini aku menghindarimu. Aku cuma ... merasa kesal kamu membela Alif."

"Aku tidak membela siapa pun," sanggahku. Sesaat aku menyadari sesuatu. "Aku ... membela kalian berdua. Dasar. Usahaku jadi sia-sia."

Lengang selama bermenit-menit. Aku kira Azul marah, tetapi aku salah. Azul mencuri-curi pandang ke arahku. Saat aku memergokinya, dia berpura-pura menatap tanaman di sebelahku, lalu membandingkannya dengan yang ada di depan. Dia tidak pandai berakting.

Hingga semenit kemudian, bu Yanti datang bersama papanya Alif. Kepanikan jelas terlihat dari wajah pria itu, khawatir dengan kondisi anaknya yang masih dalam pemeriksaan. Pria itu pasti buru-buru meninggalkan pekerjaannya. Entah di mana, yang pasti jauh dari rumah sakit sampai penampilannya kacau. Pria itu mengingatkanku akan papa yang mangkir dari pekerjaan demi melihat anak laki-lakinya terbaring akibat kecelakaan parah.

Saat netra hitam papanya Alif berlari ke arahku, saat itu juga aku berdiri untuk memberi salam, begitu pun dengan Azul.

"Kalian di sini, rupanya." Raut wajah papanya Alif seketika dibuat setenang mungkin. "Terima kasih sudah membawa Alif ke sini."

Tidak tahu harus menjawab apa. Bukan kami yang membawa Alif ke rumah sakit, tetapi Bu Yanti. Kami hanya mengikuti lantaran khawatir. Lebih-lebih lagi bu Ze tidak bisa menanganinya seperti biasa, padahal bu Ze pandai sekali menyembuhkan murid-muridnya yang sakit dadakan, atau membangunkan para cewek yang pingsan saat upacara. Namun, saat melihat beliau panik, sesuatu dalam kepalaku berteriak bahwa Alif tidak baik-baik saja. Dokter bahkan belum keluar dari ruangan di mana Alif terbaring, padahal aku sudah menunggu lama ingin mendengar hasilnya.

Incandescent #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang