Warnanya ungu pekat. Dia terus mengalihkan pandangannya dariku saat berbicara, tetapi sepertinya ia tak tahan karena beberapa detik kemudian mata kami kembali bertemu. Sesaat kemudian, ia menyesali tindakannya, berhasil mengalihkan tatapannya selama ia berbicara.
“Gagal, deh.” Dia mengeluh, mengusap wajahnya sembari mendesis. “Kamu pasti membacanya. Ah, sial! Seharusnya Janti tidak menyuruhku. Yah ... pokoknya kamu harus bilang pada Bu Dian untuk bertukar kelompok dengan Maliqa. Kalau tidak, kamu bisa kena masalah, dan aku juga bakal diusir.”
Aku menatap kepergiannya, warna ungu pekat itu bercampur dengan merah, kemudian menghilang di balik pintu. Aku menghela napas, membuka kotak bekal buatan mama, lalu memakannya.
Ini bukan pertama kalinya aku diusir dari tugas kelompok. Berkali-kali, sampai rasanya bosan bercampur marah. Walaupun mereka mencoba menendangku, pada akhirnya mereka gagal melakukannya. Namaku tertulis di halaman pertama tugas, tentu bukan hanya sekadar numpang nama. Aku juga bekerja.
Sekesal-kesalnya aku pada mereka yang nganggur sementara aku bekerja, aku tidak bisa protes atau namaku akan terhapus dan masalah lain menghampiriku. Yah, pada akhirnya mereka mengomel karena nilainya kecil—aku memang sengaja melakukannya.
Kadang, aku dilemparkan ke kelompok lain seperti bola. Mereka tidak suka aku berada di kelompok mereka. Alasannya mudah sekali. Aku malas, hanya diam tidak ikut berdiskusi. Hebat sekali mereka berbohong. Namun, terkadang aku merasa bersyukur para cowok tidak memperlakukanku seperti itu. Sayangnya, kebanyakan tugas kelompok didasarkan pada gender.
“Ah! Jangan tatap mataku! Aku tidak mau rahasiaku terungkap.” Seorang cewek yang baru masuk kelas menutup wajahnya dariku, berjalan miring menuju mejanya untuk mengambil ponsel yang tertinggal. Kemudian dia tersandung dan menyalahkanku. Aku diejek.
Mereka menyebarkan gosip besar, dan itu merupakan dosa besar. Berita yang memuat “Anak cewek yang memiliki kelainan pada matanya bisa membaca pikiran. Berhati-hatilah. Jangan sampai mata kalian bertemu dengannya”, menyebar dalam tiga hari selama masa orientasi. Sejujurnya aku tidak bisa membaca pikiran mereka. Yah ... walaupun aku tahu kalau mereka sedang marah atau berbohong. Hanya saja, mereka salah paham. Aku tidak benar-benar tahu apa yang mereka pikirkan.
Katakanlah aku punya rahasia. Aku bisa melihat warna setiap emosi: sedih, senang, takut, marah, dusta, bahkan kematian. Setiap kali kami bertatapan, warna itu akan muncul, dan akan hilang selama lima detik setelah tatapan kami terputus. Hanya saja, tidak semua orang yang bertatapan denganku akan muncul warna di sekelilingnya. Jika mereka sedang tak memiliki emosi apa pun, mereka terlihat normal.
Kedengarannya hebat sekali, seolah tokoh film yang memiliki kekuatan super. Namun, aku justru tidak menyukainya. Selain dijauhi karena kesalahpahaman, warna-warna yang muncul juga menggangguku. Apalagi jika warna yang muncul adalah kematian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Incandescent #1
Genç Kurgu[Kelas X] Completed Synesthesia yang ia miliki, terus membuatnya tidak bisa hidup dengan tenang. Murid-murid sekolah menjauhinya karena kesalahpahaman, tak berani menatap matanya, menduga dirinya bisa membaca pikiran. Sampai di mana dia mendapat seo...