Info pembagian rapor telah membuat heboh anak laki-laki di kelasku. Mereka menyayangkan sistem pembagian rapor yang menurut mereka merepotkan.
“Kenapa yang mengambil harus wali? Kalau bunda tahu nilaiku jelek dan terjadi obrolan dengan Bu Yanti, aku pasti kena marah.” Farrel mengeluh, dan aku bisa melihat warna ketakutan darinya.
Perasaan Farrel menular pada Azul. Saat aku bertanya, dia menjawab, “Padahal aku sudah janji dengan ibuku kalau aku bakalan masuk peringkat sepuluh besar. Kenapa aku membuat janji mustahil itu?” Aku bisa saja tertawa saat melihat wajah takut dan masamnya, tetapi kondisi dan suaranya yang serius telah menahanku untuk tidak melakukannya.
Sementara itu, Alif tidak mempermasalahkan nilai yang akan tertulis di rapornya. Papanya tidak akan marah jika dia mendapat nilai kecil, asalkan itu bukan nilai jeblok. Namun, saat papanya tidak sengaja mendengar percakapan kami, pria itu lantas berucap, “Kata siapa? Papa bakalan marah kalau nilai rapormu di bawah KKM.” Alih-alih takut setelah mendengarnya, Alif justru mengangkat bahu tak acuh, seolah papanya hanya bercanda.
Hingga hari pembagian rapor, Alif sudah pasti tidak akan kena marah, bahkan Azul. Justru Azul dapat pujian dari sang ibu. Cowok itu pamer pada Farrel yang merenung lantaran bundanya ngambek, atau pada Yusril yang sedang berusaha menghibur diri sendiri dengan makanan kantin.
“Ini berkat kamu. Biar aku traktir. Makan apa saja, biar aku yang bayar semuanya.” Azul menyombongkan diri, dan aku hanya bisa tersenyum saat dia menjadi pusat perhatian. Dia bahkan menahan Farrel berbicara. “Sori, Rel. Duitku cuma buat Kana.”
Namun, hiburan yang Azul berikan hanya bertahan sementara. Sejak kemarin, mendapati bengkak di kaki Alif, aku terus memikirkannya. Aku tidak berani berspekulasi macam-macam, atau aku bakalan memiliki kantung mata dan hanya terdiam saat Azul menghiburku.
“Kana?”
Aku sedikit tersentak kala Azul meletakkan semangkuk bakso di hadapanku. Cowok itu mendudukkan diri, menghela napas sebelum berkata, “Aku tahu apa yang kamu pikirkan.”
Tentu saja dia tahu. Memangnya apa lagi yang bisa membuatku termenung selama empat hari ini?“Alif sudah bilang, 'kan, dia bakalan keluar dari rumah sakit? Apa kamu melihat dia berbohong?”
Aku menggeleng.
“Nah!” Azul membantuku menuangkan sedikit saus ke dalam mangkuk bakso milikku. “Kamu nggak perlu khawatir seperti itu.”
Diam-diam aku menyelisik wajah Azul. Dia jelas sama khawatirnya denganku, tetapi Azul punya pengendalian diri yang bagus.
“Zul,” panggilku. Azul menatapku, jadi aku melanjutkan, “Kalian, kan, berteman sejak SD. Apa kamu pernah melihat Alif ke rumah sakit, atau tiba-tiba pingsan, atau apapun itu yang berkaitan dengan kondisinya saat ini?”
Azul tampak berpikir sebelum menjawab, “Nggak. Dia sehat-sehat saja, tuh.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Incandescent #1
Fiksi Remaja[Kelas X] Completed Synesthesia yang ia miliki, terus membuatnya tidak bisa hidup dengan tenang. Murid-murid sekolah menjauhinya karena kesalahpahaman, tak berani menatap matanya, menduga dirinya bisa membaca pikiran. Sampai di mana dia mendapat seo...