Setelah apa yang terjadi kemarin, Maliqa hanya mendapat pelototan dan jari tengah dari Alif. Azul juga sudah kembali seperti biasanya, dan aku mendapat dua anggota baru di klub belajarku. Kendati demikian, aku tetap membatasinya. Maksudku, Farrel dan Farhan boleh bergabung dengan klub kami, tetapi hanya untuk Matematika saja. Farrel sempat protes, sampai beberapa saat kemudian dia menerimanya dengan setengah hati. Namun, dengan satu syarat: aku harus memulainya dari sekarang.
Sekarang dalam artian saat itu juga. Karena Bu Dian tidak masuk dan jam pelajaran kosong, Farrel memaksa. Aku tidak bisa menolaknya sebab itu satu-satunya hal yang bisa mengisi kekosongan daripada mendengar godaan Alif.
Aku tidak menyangka. Sungguh. Farrel dan Farhan sepertinya harus mengulang kelas. Mereka tidak bisa menghitung perkalian! Aku harus merampas ponsel mereka demi meningkatkan kinerja otak. Alih-alih, mereka justru semakin kebingungan dan memunculkan warna merah di kepalaku.Sabar .... guru Matematika mereka lebih menderita dariku.
Setelah satu jam lebih harus bersabar, aku memutuskan untuk memberi mereka tugas.
“Loh? Baru juga pertama.” Farhan mengeluh.
Sembari membereskan buku dan menyerahkan ponsel pada mereka, aku berkata, “Kalau nggak mau, lebih baik keluar dari kelompok.”“Eh? Oke, oke. Aku bakalan hafal perkalian sebelum hari Senin.”
Itu artinya, aku tidak harus menjadi guru mereka sampai hari Senin datang. Aku bersyukur karena itu.
Hanya saja, kali ini aku tidak bisa menolak tawaran Alif untuk mampir ke kafe dekat sekolah. Beli es krim, lantas duduk di dalamnya sembari mengobrol tidak jelas.
“Kayaknya aku harus request ke papa untuk menyediakan menu es krim di kafenya.” Alif berucap, tatapannya terus berjalan mengelilingi setiap sudut kafe. Aku yakin sekali dia sedang meng-copy, lalu mem-paste-nya di hadapan sang papa.
“Jangan lupakan gelato.” Azul menimpali.
Alif mengangguk-angguk, hingga sesaat kemudian dia menyadari sesuatu. “Kamu bakalan beli atau nggak?”“Eh? Bukannya ke teman itu gratis, ya?”
“Matamu!”
Aku kelepasan tawa. Walau kecil, tak bersuara, Alif tetap bisa mendeteksinya, lantas memangku dagu dan terus menatapku bersama senyum menjijikkannya.
“Setelah ini, ayo ke kafe papaku.”
Aku langsung menolak. “Tidak. Lain kali saja. Aku mau istirahat di rumah.”
Ini sudah pukul tiga sore. Akan sampai pukul berapa aku pulang ke rumah? Lagi pula, badan dan kepalaku lelah, ingin tiduran walau hanya sebentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Incandescent #1
Ficção Adolescente[Kelas X] Completed Synesthesia yang ia miliki, terus membuatnya tidak bisa hidup dengan tenang. Murid-murid sekolah menjauhinya karena kesalahpahaman, tak berani menatap matanya, menduga dirinya bisa membaca pikiran. Sampai di mana dia mendapat seo...