10. Aku Mendapat Hal Tak Terduga

173 60 24
                                    

Sama sekali tak ada kecemasan pada diri Alif dan Azul saat berbicara denganku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sama sekali tak ada kecemasan pada diri Alif dan Azul saat berbicara denganku. Mereka bersikap seperti biasanya alih-alih menghindari tatapanku. Namun, mereka lebih menyebalkan lagi setiap kali Maliqa berusaha mendekatiku. Alif berteriak sampai membuatku kaget kala Maliqa berusaha menarikku lantaran alasan Janti menjadi pendiam masih belum terungkap. Alif datang seperti halimun di saat para murid belum memenuhi kelas, dan cowok itu hampir membuat Maliqa menangis. Sementara Azul, dia mencatat siapa saja yang membicarakanku di kelas, lalu mengancam akan memberitahukannya pada Bu Yanti. Hal itu ia lakukan berulang-kali walau para cewek tak menghiraukannya.

Alih-alih aku merasa bersyukur karena perlindunganku mengetat, justru aku merasa tidak nyaman. Para cewek semakin menjadi-jadi merundungku, dan Maliqa semakin membenciku, menggerakkan Farrel berjalan ke ruang BK. Beruntungnya aku bisa menghentikannya. Aku masih belum siap menghadap Bu Riska sambil menjelaskan deretan kesalahan para cewek.

“Merasa menjadi putri, dia.” Begitulah para cewek di kelas sepuluh menjulukiku.
Aku tidak peduli. Ulangan tengah semester diadakan kurang dari dua minggu lagi, sia-sia jika aku terus memikirkan ulah para cewek.

Lebih baik, aku menerima ajakan Azul ke rumahnya di hari Minggu. Tentu untuk belajar.
Semenjak hari itu, memberi kepercayaan pada Alif dan Azul, aku sudah tidak masalah dengan ajakan mereka selepas sekolah—tetapi tetap menolak bayaran ongkos Alif.

Sempat aku mengira kami sudah sampai di daerah rumah Azul, tetapi justru kami cuma mampir di mini market untuk membeli camilan. Kemudian berjalan kaki selama entah berapa menit di pinggir jalan raya. Alif menjadi cerewet selama perjalanan, menyuruhku untuk menjaga pandangan agar kejadian tempo lalu tidak terjadi lagi. Padahal aku tahu, dia hanya curi-curi kesempatan buat memegang tanganku.

Hingga pada akhirnya kami masuk ke gang sempit, sekitar tiga belokan, akhirnya kami sampai di rumah Azul. Kami disambut seorang gadis berusia lima tahun, heboh lantaran kantung plastik di tangan Alif. Saat mendapat satu bungkus keripik singkong, dia pamit pada kakaknya untuk main di rumah tetangga, tepat di sebelah.

“Rumahku memang selalu berisik,” kata Azul. Warna hijau muda muncul di kepalanya. Kenapa dia harus malu?

Padahal tidak berisik-berisik amat.
Saat kami memasukinya, wajahku diterpa angin entah dari mana. Namun, kala Azul memaki sang adik, aku jadi tahu. Dia langsung keluar rumah, mengintip rumah tetangga melalui pagar tembok setinggi dagunya, lalu melemparkan boneka yang ia pungut dari atas meja.

“Zel, kalau pinjam barang harus segera dikembalikan. Dan jangan menyetel kipas angin banyak-banyak. Ketahuan ibu nanti kamu nangis.”

Aku dan Alif saling berpandangan, lantas tersenyum, menahan tawa.

“Kan .... Azul kalau sudah di rumah, sifatnya berubah. Mirip ibu-ibu—”
Alif kena pukul tangan Azul. “Duduk saja dulu, biar aku ambil minum.” Sebelum Alif protes, Azul menambahkan, “Air putih. Kamu nggak beli itu.”

Incandescent #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang