Bisa saja aku balas dengan menimpuknya. Keberanianku sudah muncul berkat Alif dan Azul. Namun, aku tidak bisa melakukan tindakan bodoh hanya karena kesal dan marah. Jadi, aku mengabaikannya biarpun Maliqa memanas-manasiku. Janti yang duduk di kursinya, hanya menyeringai, tidak berbuat apa-apa. Kendati demikian, dialah yang menjadi dalang di balik semua hal buruk yang terjadi padaku.
"Senang, ya, sudah punya teman―Oh! Jangan bilang kamu mau pacaran dengan salah satu dari mereka."
Mengabaikannya tentu lebih baik. Sudah ada beberapa orang di kelas, tetapi para cewek itu justru mencemooh melalui tatapannya.
"Hey! Kalau orang lagi ngomong, dengarkan. Kamu, kan, anak baik. Kesayangan guru. Ternyata sikapnya nggak sopan." Maliqa berdecak-decak, dan cewek-cewek tertawa, menimpalinya dengan celaan untukku.
Maliqa, yang punya hobi menggangguku, mendudukkan dirinya di sampingku. Dia memelukku erat dari samping dan menggerak-gerakkanku dengan heboh sampai aku hampir terjatuh.
Cewek itu mendesis, "Kesal banget, tahu nggak? Kenapa nggak pindah sekolah saja. Berhenti sekolah kalau bisa. Gara-gara kamu aku―aduh!" Kepalanya kena lemparan buku tulis, lantas membuatnya segera menjauh dariku, mengira Alif sudah datang, tetapi yang berdiri di belakangnya justru Farrel.
Cowok itu selalu berwajah tenang, saat melihatku, warna ungu muda seketika muncul di kepalanya. Farrel menghampiri kami, berhenti tepat di hadapan Maliqa untuk memungut bukunya, dan sesaat kemudian dia memukul pelan kepala Maliqa dengan bukunya.
"Apa lagi ini?! Mau jadi pahlawan?" desis Maliqa. Dia berdiri, kemudian mendorong Farrel yang masih tenang. "Waktu itu kamu diam saja. Tapi sekarang, tiba-tiba membela. Apa ini? Kamu terkena mantra dari dia." Nada suaranya jelas menunjukkan bahwa ia begitu marah, dan pasti kebenciannya terhadapku semakin meningkat.
Aku terkesiap saat Maliqa menghentakkan kakinya sembari melotot ke arahku sebelum bergabung bersama Janti. Tanpa sadar aku mengelus dada, menghela napas lega. Kulihat Farrel menduduki kursinya, kemudian bertanya, "Kamu baik-baik saja?"
"A−ah, iya. Ma−makasih." Padahal Maliqa sudah biasa melakukan hal seperti itu padaku, tetapi entah kenapa sekarang aku menjadi takut. Kata-katanya beberapa menit lalu telah mengetuk sesuatu dalam diriku, seolah-olah Maliqa akan melakukan hal yang lebih buruk dari yang aku kira jika aku tidak segera mangkat dari sekolah ini.
Waktu itu, aku memang pernah berkeinginan untuk pindah sekolah. Aku tidak mau dirisak. Cari sekolah yang tak ada satupun alumni dari SMP-ku dulu. Hingga aku tersadar, aku bukan lagi anak kecil. Mama bilang, aku harus bersikap dewasa. Bukan hanya dalam menanggapi mereka yang merundungku, tetapi dalam berbagai hal.
"Nih!" Farrel mengulurkan bungkus cokelat padaku. "Ambillah. Bukan sogokan, kok."
Baru saja aku hendak mengambilnya, tetapi seseorang lebih dulu merebutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Incandescent #1
Roman pour Adolescents[Kelas X] Completed Synesthesia yang ia miliki, terus membuatnya tidak bisa hidup dengan tenang. Murid-murid sekolah menjauhinya karena kesalahpahaman, tak berani menatap matanya, menduga dirinya bisa membaca pikiran. Sampai di mana dia mendapat seo...