"Tak ada yang bisa diharapkan dari angin kemarin yang telah pergi membawa rindu."
*Selamat membaca*
***
Sebelum jantung yang berdegup tak karuan, mata yang hilang arah pandangan, gugup dan gelagapan, sebelum kau berdiri tegak di hadapanku, lalu meraih dua bahu rapuhku. Kau tak tahu ada rindu yang ku titipkan pada siang dan malam, yang terasa berjalan pelan-pelan membuatku seperti pecundang, terbujur di sudut ruangan, dengan lautan tisu yang berserakan.
Aku ingin mengatakan, ini rinduku.
Akhirnya kau datang setelah lama tak berkabar, lalu kemudian terlihat seutas senyum yang kerap kali ku rindukan.
Tapi tampaknya rindu ku yang selalu menjadi teman mentari dan rembulan tak mendapatkan balas sesuai harapan.
Entah sudah berapa batang pohon habis disulap sebagai penghapus lara ku kini terasa sia-sia. Rinduku selama ini tak pernah kau anggap ada. Dengan adanya sosok cantik yang kau bawa berdiri menggandeng lenganmu kini, habis sudah harapan ku tak bersisa.
Seperti hujan yang hadir setelah awan memuram, lalu membasahi bumi yang gersang, harapku benar-benar jauh dari genggaman. Kupikir kau bagai tirta amarta untuk gersangnya sang bumi, menunggu hadirmu. Nyata, salah.
Munafik jika aku baik-baik saja. Munafik jika ku doakan kau bahagia bersamanya, itu terlalu sakit untuk waktu yang kulalui dengan tertatih-tatih menunggu bahu tangguh, tempatku bersandar, lalu berbagi perihnya hariku yang dibelenggu rasa ingin bertemu. Kini semuanya telah menyatu dengan butir-butir debu yang berhamburan ke sana ke mari, menjatuhkan hingga aku benar-benar merasa bersalah pada diriku. Kenapa aku menaruh rindu, walau aku tau itu menyakitiku.
Kau berawal dari orang asing yang kuharap bisa jadi pendamping, kala aku digoyahkan jalan hidup yang tak mudah ini. Akan tetapi, harap hanya sebatas harap. Kau berakhir layaknya kau datang. Orang asing.
Sebelumnya, kau meminta ku menunggu dengan rindu setengah mati, tapi setelahnya kenapa kau malah mencari pengganti? Tadinya kupikir kau kembali hadir untuk kita sama-sama melepaskan rindu yang mencekik ini, nyatanya malah semakin menambah sesak dengan permintaan gila mu itu.
Dengan senyum manis pada bibir wanita di gandenganmu itu, kau begitu mudahnya meminta ku mencabut paksa tanaman rindu yang sejak kepergianmu selaluku rawat syahdu.
Luka, kala waktu memaksaku kembali pulang di mana kita mencintai dengan sangat, tanpa mengatakannya setiap saat. Malu, jika aku ingin meminta kembali pelukan hangat itu pulang kembali padaku.
Aku terlempar kembali di kala kita duduk berdua di depan rumahku, menghabiskan malam-malam penuh candu, membunuh waktu bersamamu. Berlomba menghitung bintang yang berserakan, hingga aku mengantuk dan menyuruhmu untuk pulang.
Apakah ini adil? Kau menghapus ribuan detik yang penuh canda tawa itu dengan membawa seorang gadis yang menggenggam jemarimu. Aku tak berusaha untuk menjadi orang yang tersakiti, apalagi untuk meminta keadilan atas siksa yang datang di hari-hariku saat menunggumu. Aku hanya bertanya, agar akal sehatku kembali dan segera membuatmu cepat berlalu.
Percuma saja, menangisi mu pun tak ada guna. Menyesal memang tidak akan pernah datang diawal, andai ku lebih memilih perjodohan yang orang tua ku atur ketimbang harus menantimu hingga tidur tak teratur.
Kisah kita mungkin akan sulit buat ku lupakan, tapi tak akan sudi ku kenang.
***
29 Agustus 2021
Merindu angin kemarinSalam Gsweet✊❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Merindu Angin Kemarin
Kısa HikayeAngin kemarin telah pamit pergi, Sejuk sesaatnya sudah tidak lagi di sini. Tinggal merindukannya yang entah kembali, atau akan terganti dengan kemarau panjang merobek hati. Merindu angin kemarin -Mbak Reen -Mas Sweet