[Début = Awal]
■■
■■
Malam kian larut, semilir angin berembus menemani hening malam di pertengahan tahun ini. Di sana, di sebuah bangku kecil nan usang terlihat gadis kecil yang tetap bergeming sejak gelap malam menelan cahaya mentari. Bahkan dinginnya malam sama sekali tak mengusiknya, tatapannya menatap lurus ke depan namun hanya kekosongan yang tercipta.
Kekehan pelan keluar dari bibir mungilnya. "Dipaksa dewasa oleh keadaan," gumamnya.
"Itu sebabnya kamu harus kuat."
Gadis itu tersentak, seketika bulu kuduknya meremang. Hei, ada apa dengannya?
"Di belakangmu."
Ia menoleh ke belakang, seketika kedua netranya membola. Siapa sosok di hadapannya ini? Manusia atau jangan-jangan han—
Sebentar. Kakinya menapak tanah, kulitnya tidak pucat, senyumnya juga indah, dan wajahnya sangat tampan. Memangnya ada hantu dengan ciri seperti itu?
"Aku manusia. Bukan hantu seperti yang kamu pikirkan," ujar sosok di depannya.
Gadis itu kembali menatapnya, menampilkan ekspresi polos yang menggemaskan. "Jadi, kamu manusia?"
"Hm."
"Kamu masih kecil, kenapa keluar malam-malam?"
Tanpa berniat menjawab, laki-laki itu- ah bukan, bocah laki-laki itu berjalan mendekat. "Bagaimana dengan kamu jika begitu?"
"A–aku sedang melihat bi–bintang, iya melihat bintang," jawabnya gugup
"Hm? Mana bintangnya?"
"A–ada kok."
Bocah laki-laki itu menggeleng kecil dan duduk di bangku usang yang sempat menjadi tempat bercengkerama gadis kecil di sampingnya. "Sini, duduk."
Menurut, gadis kecil itu langsung terduduk dan menatap bingung.
"Siapa namamu?"
"Agatha Viona."
"Namanya cantik. Aku Dionaz Ravelino. Kamu bisa panggil aku Avel."
"Avel?" Ravel mengangguk membenarkan. "Aku panggil kamu Aga, ya?"
Mendengar nama itu, senyum ceria terukir di bibir Agatha. "Iya," serunya senang.
"Avel, kamu ngapain di sini?"
"Aku juga tidak tahu, Aga. Aku kabur dari rumah, ayah tiriku jahat sama aku. Jadi aku kabur."
Agatha hanya manggut-manggut mendengarkan, ia tidak tahu harus merespon bagaimana. Cukup lama mereka terdiam, pandangan mereka menatap lurus ke depan. Menatap air danau yang bersinar terkena sinar rembulan. Mereka seakan lupa dengan usia, saat-saat di mana keduanya seharusnya bersikap seperti anak seusianya. Tidur. Itu yang harusnya mereka lakukan, bukan duduk termenung di pinggir danau seperti ini. Namun, apa mereka bisa?
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAVEL
Teen FictionIni tentang dua remaja untuk mendapat akhir bahagia. Sebuah perjuangan di atas lika-liku hidup dan kejamnya takdir yang saling bersanding. "Aku tak ingin kehilangan kenangan yang dulu tercipta di antara kita." (Aga) "Entah bagian mana yang sebenarny...