01. Tâche Secrète

97 46 198
                                    

[Tâche Secrète = Tugas Rahasia]

■■

■■

“Aga!!”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Aga!!”

Gadis cantik dengan seragam masa putih abu-abu menghentikan langkahnya. Sekadar menoleh ke belakang dan melanjutkan jalannya kembali, membuat seseorang yang tadinya tersenyum langsung berlari mengejar.

“Berhenti dong!”

“Kena kamu! Bandel banget sih, dipanggil juga,” gerutu seseorang yang tengah memeluknya dari belakang.

Agatha terkekeh. “Iya-iya, maafin Aga?”

“Ck. Yaudah, Avel maafin.”

Agatha memutar tubuh menghadap Ravel, melepas pelukan mereka. Seketika wajah cemberut Ravel terpampang. Perlahan, Agatha menyentuh pipi kanan Ravel dan mengelusnya pelan.

“Jangan digituin wajahnya. Jelek.”

Ravel melebarkan matanya hendak protes, sebelum jari telunjuk Agatha membungkam bibir Ravel.

Ssstt ... ceritanya 'kan kita lagi jadi murid yang irit bicara. Jangan gitu ih ekspresinya, paham?”

Ravel yang tengah mengamati wajah perempuan cantik di depannya langsung mengangguk patuh. Yang ia pikir hanya membuat Agatha senang dan bahagia.

“Pacaran terus .... yang jomlo langsung mampus ....”

Agatha dan Ravel tersentak. Mereka memusatkan perhatian pada dua makhluk pengganggu itu. Cowok berjambul yang bersandar pada dinding sembari memakan permen karet dan cewek berambut hitam pekat yang tengah cengengesan di sana.

“Ganggu.” Ravel menatap tajam cowok berjambul itu.

Allahu Akbar, santai dong.”

"Zia," sapa Agatha dengan senyum tipis.

Sang empu tersenyum lebar, ia menepuk bahu cowok di depannya. “Vano! Udahlah, biarin aja. Mending kita yang uwu-uwunan. Yuk!”

“Ih, lo mah ... jangan gitu dong. Gue 'kan jadi malu.” Dengan percaya diri Vano menunjukkan wajah imutnya, membuat Zia menggeram.

“Jijik gue. Lo mau ikut gue atau diterkam Ravel?”

“Ha?” Vano mengerutkan dahi tak tahu maksud perkataan itu.

“Tuh liat! Bisa bolong badan lo gara-gara tatapan Ravel. Mending buru cabut,” bisiknya.

Vano bergidik saat menoleh ke arah Ravel, tatapannya itu seperti laser yang siap melubangi targetnya.

“Beb, kita cabut aja yuk, Beb. Buruan.”

“Idih, segala panggil 'Beb', dikira gue bebek apa?” dengus Zia.

“Tuan Muda dan Nona Muda, saya izin undur diri dulu. Demikian gangguan dari saya, sekian terima gaji.”

AGAVELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang