" Bolos lah. Lagian sekali-kali jadi badgirl. Nggak bosen apa jadi good girl mulu."
Diana sontak melotot ketika mendengar perkataan cowok di depannya ini. Ingin sekali Diana menampol wajah tampan cowok ini kalau tidak mengingat ini di area sekolah.
Sebenarnya, Diana juga ingin mengiyakan ajakan cowok berlesung pipi itu. Tapi dia takut ketahuan ayah ataupun ibunya. Bisa kecewa besar kedua orang tuanya ketika mengetahui anak yang begitu mereka banggakan malah membolos.
Hening. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Diana tampak meremas kedua tangannya. Bingung. Lebih baik bolos atau tidak. Kalaupun masih nekat menerobos masuk ke dalam sekolah, Diana juga akan mendapatkan panggilan orang tua karena terlambat datang. Resiko yang akan di tanggung mungkin akan sama kalau dia memilih untuk bolos.
" Nama lo siapa?" tanya Diana tiba-tiba.
Cowok itu langsung menoleh ke arah Diana yang menatapnya datar.
" Nama gue Nathan Rifky Ardidaksa. Panggil aja gue Nathan," ucap cowok bernama Nathan itu dengan gaya congkak.
Diana manggut-manggut. Tampaknya cowok ini berasal dari keluarga terpandang. Dari segi nama saja Diana sudah tahu kalau cowok itu berasal dari keluarga yang kaya raya.
" Nama lo?"
" Nama gue Diana Aqilah. Panggil aja Diana," ucap Diana sambil tersenyum tipis.
Nathan mengerutkan keningnya. Beberapa detik kemudian, cowok itu tertawa terbahak-bahak di tempat. Diana pun hanya menatap datar Nathan yang memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa.
" A... apa? Aqilah? Hahaha," ejek Nathan masih bertahan dengan tawanya.
Diana menoyor kencang kepala Nathan hingga cowok itu oleng sedikit.
" Kenapa lo noyor pala gue?" tanya Nathan sambil mengusap-usap kepalanya. Matanya melirik Diana tajam.
Diana mengangkat kedua bahunya acuh. Kemudian tangan Diana terlipat di bawah dada. Nathan menghela nafas. Untuk pertama kalinya ada seorang cewek yang menolak pesonanya. Biasanya para ciwi- ciwi terutama cabe-cabean kelas kakap akan mengantre sepanjang beberapa ratus meter dari hadapannya guna untuk menjadi gebetan atau simpanannya.
Kembali, suasana menjadi hening. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Nathan sibuk membalasi setiap chat masuk dari beberapa pacarnya. Melihat itu Diana mendengus. Apakah hanya tampang saja yang di jadikan modal? Apakah hanya harta yang bisa di jadikan patokan?
" Lo kenapa, sih, nggak bisa menetap pada satu hati?" tanya Diana kesal.
Nathan menyimpan ponselnya di saku seragam. Cowok itu menatap Diana yang hanya sebatas dadanya saja.
" Cewek polos kayak lo itu sebaiknya belajar aja. Nggak usah ngurusin hidup gue," ucap Nathan lembut sambil mengelus rambut Diana yang seperti singa.
" Lo tahu? Sebagai sesama cewek gue juga bisa ngerasain gimana sakit hatinya ketika tahu cowok yang kita cintai ternyata memiliki banyak hati di luar sana. Gue juga ngerasain itu. Dan rasanya sakit. Benar-benar sakit." Diana mengucapkan kalimat itu dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Tangannya meremas kuat baju seragamnya. Menyalurkan rasa sakit yang selama ini menggerogoti hati dan pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Rute
Teen Fiction" Jarak kita memang dekat, tetapi hati kita saling berjauhan." *** Diana Aqilah, remaja cantik berusia 16 tahun yang tidak ingin berbaur dengan para pentolan sekolah. Dirinya hanya ingin berperan sebagai tokoh figuran yang cuma numpang lewat. Yang...