0.1.1

1 0 0
                                    

KALERINA OSKART

Kale secara sah diundang ke Duchy.

Kabar kembalinya Kale memenuhi Kekaisaran.

Kalerina Oskart, sebenarnya sebelum ini dia orang seperti apa?

Ketika sadar dia menemukan hal hal yang mirip dengan kelahiran sebelum sebelumnya.

Warna mata, kulit serta rambut yang sama. Putih dan sedikit kekuningan yang jika diterpa cahaya matahari akan bersinar layaknya wujud Dewi.

Oh! Kale belum bertanya soal cerita Bintang Emas.

..

Terkaget kaget.

Dipikirnya dia hanya akan masuk kedalam rumahnya dengan mudah tapi dihadapnnya terdapat sebuah pesta yang dihadiri begitu banyak orang orang kelas atas.

Bahkan dia melihat Silhouette putra mahkota.

"Putri Kale anda pasti sangat kelelahan setelah beberapa tahun belajar diluar ya.

Perkenalkan saya Zuana dari keluarga Orpi."

"Saya Lilna dari keluarga Zonas dan ini Jena dari keluar Marios. Keluarga kami sudah melakukan transaksi dan bekerja sama sejak bertahun tahun."

"Ah, begitu." Kale diam sebentar karena sepertinya senyuman yang mereka lontarkan tidak sesuai dengan pikiran mereka masing masing.

Tatapan yang bangga kepadanya seakan akan ditutupi karena nama baik keluarga Kale.
Tampang dengan senyuman keji terbayangkan dengan baik dipikiran Kale.

"Lady Kalerina. Bisakah anda mengatakan hal hal yang tidak bisa didapatkan olehmu saat berada diluar negeri?"

"Banyak! Orang seperti anda sangat langkah ditemukan disana. Mungkin anda bisa mencoba datang kesana untuk melihat langsung. Bukankah anda juga punya uang?

Atau anda sedang dalam krisis perekonomian karena produksi rambut palsu keluarga anda sudah tidak selaku dulu?" Kale membalas kali ini dengan tatapan mendalam. Dia kacau saat ini.

Terlalu ramai dan terlalu memberikan penekanan pada dirinya.

"Lady, anda berkata seperti itu?."

Kale tidak berfikir lagi. Dia terduduk dan menangis sejadinya.

Kikin bersama seorang pria paruh baya datang menenangkan dirinya.

"Berhenti bersikap seperti seorang terpuji Lady Zonas."

Siapa pemilik suara yang begitu familiar ditelingan Kale.

Dia ingin menoleh, tapi itu menjadi gelap.

Pandangannya tidak fokus, semua terlihat seperti ombak.

...

Apa dia pingsan? Berapa lama?

"Kikin." bisiknya pelan ditelinga adik laki laki yang tertidur disampingnya.

"Euh, KAKAK?!"

"Apa terjadi sesuatu?"

"Kakak pingsan seharian, dokter juga memeriksa kakak. Katanya kakak sangat stress, ayah bilang itu mungkin efek belajar kilat kakak."

'Uh, BELAJAR KILAT APANYA! BERTAHUN TAHUN AKU MEMPELAJARINYA BUKAN BELAJAR KILAT NAMANYA!'

"B-begitu ya."

"Mari saya antar ke ruang makan. Ayah berpesan, jika kakak bagun tepat diwaktu sarapan kakak harus makan bersama."

Ini gila.

Seluruh meja makan penuh dengan makanan tapi dihadapannya hanya ada berbagai macam sayuran yang diolah menjadi beberapa menu.

"Apa itu tidak enak?"

"Tidak."

"Lalu kenapa tidak dimakan?"

"T-tidakkah ini terlalu hijau?"

"Hoho. Putriku sayang, kau baru saja bangun, tidak mungkin untukmu makan makanan berlemak begitu."

"Ah, benar juga."

Bukan ingin mengalah, tapi dia merasa canggung dihadapan orang yang disebut ayahnya ini.

Setelah selesai makan Kikin mengantar kakaknya itu kembali ke kamar.

"Jika kakak pulih lebih cepat, bisakah kita berkeliling?"

"Ya? Tentu saja."

Kale terhenti sebentar. "Kikin, apa putra mahkota datang?"

"Putra mahkota? Aku tidak pernah melihatnya setelah pekerjaannya dengan ayah selesai beberapa minggu lalu."

"Maksudmu? Kalian tidak mengundangnya?"

"Hey, tentu saja kami mengirim undangan. Tergantung putra mahkota saja mau datang atau tidak."

"Apa tadi dia berada disana?"

"Aku tidak melihatnya. Kenapa bertanya soal dia? Apa terjadi sesuatu?"

"Tidak juga, aku hanya penasaran saja."

"Baiklah. Rasa penasarannya selesai bukan? Selamat malam."

Sesuatu menganjal dipikiran Kale.

Duchy dan tempat tinggal lalunya cukup jauh, bagaimana bisa putra mahkota berada disana? Dan mereka juga bertemu dua kali disana.

Entah itu apa, pastinya Kale merasa hangat. Sesuatu yang baik sepertinya akan datang.

"Huh? Badai ya?"

Berlalu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang