---03 Candu---
Apapun yang berkaitan denganmu adalah candu untukku.
---
Sinta menatap langit kamarnya, hari ini ia belum ketemu sama Daffa teman sekaligus sahabatnya.
"Daffa lagi ngapain ya," gumannya beranjak untuk kerumah Daffa.
Gadis berpawakan mungil ini meraih hoodie oversize lalu berjalan keluar kamar. Melihat abangnya sedang tiduran, sifat usil Sinta keluar untuk mengerjai sang kakak. Berjalan mengendap untuk mengangetkan Andre.
"Gak usah mengendap-endap gitu, aku tahu rencanamu," guman Andre dengan mata masih tertutup.
Sinta mendengus, rencananya gagal "Bodoh ah," sebalnya langsung duduk diatas perut Andre.
"Sinta turun!!! Berat," kesal Andre langsung bangkit. Sinta hanya senyum tanpa berdebat sekalipun.
"Mau kemana? Tumben rapi?" tanya Andre meneliti pakaian adiknya, ia paham betul kelakuan adiknya. Kalau sudah pakai pakaian rapi berarti anak itu mau keluar rumah.
"Mau kerumah Daffa ya bang, gabut pengen gangguin Daffa," pamit Sinta.
"Jangan pulang lebih jam 9, pulang suruh anterin Daffa" peringat Andre tipikal kakak posesif, padahal rumah Daffa hanya nyebrang jalan saja.
"Abang posesif banget, Daffa rumahnya depan situ bang bukan di Amerika," kesal Sinta meninggalkan Andre.
Sinta terkadang risih dengan Andre yang kelewat posesif terhadapnya, harus pulang tepat waktu, harus share loc ketika ngopi, pap setiap menit, tapi Sinta juga sayang banget sama Andre.
Senyum dibibir Sinta tak pernah pudar ketika melihat tante Sarah sedang menyiram tanaman.
"Assalamualaikum tante, wah bunganya sudah mekar," salam Sinta langsung berlari menemui Sarah.
Melihat anak gadisnya berlari Sarah langsung berteriak "Sinta jangan lari lantainya licin nanti kamu jat__"
Brukk
Belum saja Sarah berhenti berbicara, ia sudah melihat Sinta jatuh dengan keadaan yang sangat tidak esthetik. Baju Sinta terkena tanah, sebenarnya bukan perkara sakit tapi rasa malu sudah sampai ke ubun-ubun.
Sarah berjalan membantu Sinta berdiri "Tante Sinta malu," cicitnya menahan malu, pipinya sudah merah seperti tomat matang.
"Gapapa kok, mana yang sakit?" tanya Sarah langsung mengajak Sinta masuk kedalam rumah.
Mengobati dengan telaten luka dilutut Sinta, tak lupa juga memberikan Sinta jus Alpukat kesukaanya.
Daffa keluar dari kamarnya hanya menggunakan celana pendek tanpa atasan, ya emang kebiasaan Daffa kalau dirumah seperti itu katanya kalau pakai baju gerah dan panas.
Kalau cewek lain pasti akan histeris melihat perut Daffa yang banyak kotaknya, tetapi kalau cewek itu Sinta pasti akan mengejek Daffa seperti sekarang, "Daf, kamu udah miskin ya, sampai enggak bisa beli kaos," ejek Sinta.
"Enak aja, uangku banyak ya, untuk memebli pabrik kaos aja masih turah-turah," sombongnya lalu memperhatikan penampilan Sinta yang sangat menyedihkan.
"Dih habis ngapain kamu berlumuran tanah gini, cosplay jadi tikus got?" tanya Daffa heran, karena biasanya Sinta kalau keluar rumah selalu rapi. Kali ini benar-benar kayak tikus, memang mulut Daffa terlalu pedas habis makan sambal.
Sarah hanya menatap tajam putranya, memberikan isyarat untuk diam karena ia tak mau mmebuat Sinta semakin malu. Tetapi, Sinta tetaplah Sinta yang akan membalas omongan Daffa.
"Heh Daffa tuh mulut belum pernah ditabok pakai cabe ya, anjir banget kalau ngomong," kesal Sinta bangkit mengejar Daffa.
Sarah hanya menyaksikan sambil memakan keripik, sudah jadi tontonan wajib, Daffa dan Sinta bak tikus dan kucing yang gak pernah bisa akur sama sekali padahal Sarah berencana akan menjodohkan mereka.
"Sini kamu jangan lari Daffa, lelaki pengecut," teriak Sinta mengejar Daffa mengelilingi kursi.
Tanpa rasa kasian Sinta melempar bantal sofa tepat dikepala Daffa. Sinta tertawa kemenangan.
"Loser," gumannya bangga langsung meminum minuman yang sudah diberikan oleh Sarah.
"Sialan kamu Sinta, tamu gak ada sopannya sedikitpun," gerutu Daffa langsung bangkit ke kamarnya, kesal dengan Sinta padahal tadi ia hanya berniat bercanda.
Melihat Daffa sudah kalah Sinta berniat menyusul Daffa ke kamarnya "Tante Sinta mau ikut Daffa ya?" tanyanya ke Sarah. Dia harus merusak hari santai nya Daffa.
Sarah mengangguk "pintunya jangan ditutup ya". Sinta tampak girang mendapat persetujuan dari Sarah "Oke tante,".
Kamar bernuansa abu-abu ini tampak elegan, banyak novel yang berjajar, gitar dan miniature mobil. Kamar yang ada balkonnya sangat nyaman buat bersantai. Sinta suka nuansa kamar milik Daffa, tempat ternyaman selain rumahnya.
"He beban keluarga, pinjem baju dong," pinta Sinta tanpa rasa sopan sedikitpun.
"Ngapain sih kesini, mending pulang rusak pemandangan," ketus Daffa menyerahkan kaosnya.
Daffa tetaplah Daffa yang akan memberikan apapun untuk Sinta, tipikal bucin banget kalau udah sayang. Sikap menyebalkan Daffa adalah manipulasi dari sikap sayangnya pada Sinta.
Senyuman di bibir Sinta merekah dengan sempurna, semenyebalkan apapun Daffa dia tetap mempunyai sisi baik.
"Kata tante Sarah gak boleh pulang dulu sebelum papa pulang," jawab Sinta langsung merebahkan tubuhnya di samping Daffa. Sinta langsung mengganti hoodienya dengan kaos pemberian Daffa.
"Andre kemana?" tanya Daffa. Sinta menyamping menikmati wajah Daffa yang semakin hari semakin tampan ini. Harusnya Daffa ini gak jomblo, sayang banget punya muka ganteng tapi jomblo.
Sepersekian detik memandangi wajah Daffa membuat kinerja jantung Sinta berdetak cepat. Masih sama, meski ia kerap kali menepis perasaannya, tetap saja mata itu menjadi alasan utama jantungnya berdetak cepat.
"Kamu kenapa si Daf jomblo?" tanya Sinta random, "Oh pasti gara-gara mulutmu pedas kalau ngomong, jadi gak ada cewe yang betah sama kamu," jawab Sinta.
Daffa mendengus, kebiasaan Sinta banget. Dia yang bertanya, dia juga yang menjawab. Tapi ia selalu suka Sinta yang banyak Tanya, entah suara Sinta adalah candu baginya.
"Daf gue benci sama lo," pungkasnya namun tetap dengan posisi berbaring tanpa bergeser sedikitpun.
"Gue lebih benci sama lo, beban banget hidupku ketemu kamu," kata Daffa tak mau kalah dengan Sinta. Sinta mendengus, mengubah posisinya menatap langit kamar milik Daffa.
"Daf numpang tidur bentar ya, ngantuk banget aku," ucap Sinta memejamkan matanya.
Daffa memperhatikan Sinta yang sudah memejamkan matanya, ia berniat mengusir Gadis ini malah dia izin tidur. Daffa beranjak menjauh lalu mendorong Sinta agar terjatuh dari kasurnya.
Arghh
Tubuh Sinta berguling jatuh dari ranjang dan mendarat sempurna di lantai, layaknya api tersulut diwajah Sinta. Tak ada lagi tatapan teduh, hanya tatapan emosi "Daffa berengs*k, sialan," teriak Sinta penuh emosi dan langsung bangkit.
Daffa tersenyum penuh kemenangan "Akhirnya nenek lampir pulang," gumannya dengan angkuh. Wajah kesal Sinta adalah candu untuk Daffa.
"Titisan setan aku dengar ya omongamu, awas saja" dendam Sinta menggebu, ia pamit pulang dan menyusun rencana jahat untuk membalas Daffa.
Selalu seperti itu, sehari tanpa adanya perkelahian seperti dunia tampa oksigen. Hampa. Begitulah pertemanan keduanya, meski begitu, tidak ada yang benar-benar pergi.
---)))---
![](https://img.wattpad.com/cover/279594105-288-k419068.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambivalen
RomanceSelamat membaca ✨❤ jangan lupa follow ya Tahap Revisi Mungkin akan menjadi kisah yang tak pernah berakhir. Tak ada lagi alasan untuk aku hidup selain bersamamu. Kita hanya diperbudak ragu, Lalu menepis jauh kenyataan, Menyembunyikan perasaan mas...