Part 3

13 10 6
                                    

Dhea mendaratkan bokongnya kasar ke kursi ruang tunggu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dhea mendaratkan bokongnya kasar ke kursi ruang tunggu. Duduk di samping lelaki asing dan kaku, membuatnya merasa takut dan tidak nyaman secara bersamaan.

Ekor matanya melirik tangan Reza yang masih setia memainkan pisaunya. Tatapan fokus ke benda berujung lancip itu tanpa menghiraukan ada kehadirannya yang siap menerima perintah.

Reza memasukkan pisau lipatnya ke dalam saku jasnya. Ia menoleh sekilas pada Dhea, lalu memberi kode pada Bara untuk meninggalkannya. Setelah Bara pergi, Reza menggeser duduknya dan menghadap Dhea.

"Anda sudah tahu tugasnya? Mungkin Kak Lutfi sudah memberimu bocoran informasi."

"Sedikit dan kurang detail."

Reza mengangguk samar, ia memperbaiki posisi duduknya. Kali ini ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

"Oke, saya akan menjelaskan lagi tugas Anda, Nona Dhea Amanda. Pertama, Anda akan bekerja menjadi seorang sekretaris di The LuRe."

"Maaf, bisa Anda ulangi? Sekretaris?"

"Kurang jelas?" tanya Reza dengan satu sudut bibir yang terangkat.

Dhea menggeleng sekilas. "Bukan itu maksud saya. Saya seorang petarung, bukan gadis yang identik dengan pulpen dan kertas. Apalagi harus memakai rok sepan selutut, saya tidak bisa."

"Anda boleh memakai pakaian yang nyaman dan tetap mengenakan hijab. Itu bukan masalah buat saya. Untuk masalah pulpen dan kertas, belajarlah menjadi seorang wanita yang feminim. Siapa tahu, jodoh Anda akan datang jika gadis garang berubah menjadi jinak."

"Anda!" seru Dhea dengan jari telunjuk yang mengacung tegas pada Reza.

Alis Reza terangkat satu, ia suka dengan gadis pemberontak seperti Dhea. Gadis itu mengingatkannya pada Lilian. Reza terkekeh-kekeh, ia melihat karakter istrinya pada diri Dhea.

Reza mengeluarkan sebuah amplop putih dan memukulkan ke telunjuk Dhea. Gadis itu langsung menarik jarinya dan kembali mengatur laju emosinya.

"Jangan terbiasa berteriak dan mengacungkan jari pada lelaki. Pelajari semua tugasnya. Saya tunggu jawaban Anda."

Reza bangkit dan langsung berjalan pergi, tanpa menoleh lagi ke arah Dhea.

"Huft!" Dhea menghembuskan napas lega.

Ia membuka amplop putih dengan segera. Selembar kertas surat dengan tulisan tangan rapi menyita perhatiannya. Membaca seksama semua kata demi kata yang tertuang di sana.

"Jadi, tugasku hanya menjadi sekretaris palsu? Apa perlu aku belajar mengetik sepuluh jari? Atau, belajar lagi tentang surat-menyurat?" tanya Dhea pelan.

Dhea memasukkan kertas surat itu ke dalam amplopnya. Merogoh pematik api di dalam tas, kemudian ia membakar amplop putih itu.

"Jangan terbiasa meninggalkan dokumen rahasia sebagai pajangan dan koleksi. Cukup Anda ingat setiap kata-katanya di dalam memori. Hancurkan setelah Anda membacanya. Belajarlah bermain serapi mungkin," ucap Dhea menirukan perintah di akhir tulisan yang ada di dalam surat dari Reza.

My LilianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang