PROLOG
***
Langkah kaki itu terhenti. Dengan kedua tangan berada dibalik saku celana, pria yang masih mengenakan jas kerja itu melayangkan tatapan tajam dan dingin pada sosok wanita yang tengah berbincang dengan seorang bocah lelaki berusia 10 tahun. Keduanya tampak menikmati obrolan hingga sesekali tertawa bersama. Bahkan saking asiknya, mereka tidak menyadari kehadirannya yang telah berdiri angkuh diambang pintu.
Melihat bagaimana wanita itu bisa tertawa tanpa beban membuat ulu hatinya terserang rasa tak terima. Tangan yang berada dibalik saku celana pun turut mengepal seiring rasa sakit yang masih bersarang dengan jelas dibalik tubuhnya.
Masa lalu membuatnya sulit memaafkan wanita itu meski orang lain lah yang seharusnya mempertanggungjawabkan segala hal buruk yang terjadi di hidupnya.
Kehilangan yang teramat menyakitkan membuatnya terus hidup dalam angan masa lalu yang sulit terlupakan. Kenangan yang terlampau indah sekaligus menyakitkan itu selalu memenuhi isi otaknya hingga akhirnya ia terjebak dan tak mampu keluar dari sana.
Siapapun tak bisa menolongnya keluar karena cintanya telah mati dan hanya menyisakan harap semu yang terlalu menyakitkan. Kenyataan cinta yang tak lagi ia genggam membuatnya sakit hingga nyaris menginginkan kematian. Namun ia tak bisa mati karena kini ada seorang anak yang mengharapkan dirinya tetap hidup.
"PAPAAAA.."
Panggilan 'Papa' yang berasal dari bocah 10 tahun itu menyentak kesadaran pria yang berdiri angkuh diambang pintu. Wajah yang sebelumnya memamerkan ekspresi dingin tak tersentuh, kini berhasil melengkungkan sebuah senyuman bersama lambaian tangan.
Dan saat bocah lelaki itu turun dari kursi dan berlari menuju ke arahnya, pria itu pun berjongkok dengan tangan terbuka lebar. Bersiap menyambut anak lelakinya.
"Reano kangen."
"Papa juga kangen Reano."
"Kakak baru pulang?"
Mendengar sebuah tanya yang berasal dari seorang wanita yang tak ia sangka ikut menghampirinya, membuat kedua tangan miliknya mengepal kuat.
"Papa bawa banyak mainan buat Reano. Ayo kita ke depan."
"Tapi Papa belum jawab pertanyaan Mama."
Memberi senyum tipis pada sang putra, pria itu segera mengangkat tubuh besar Reano.
"Dia bukan Mama Reano. Jadi berhenti memanggilnya seperti itu."
Reano membuka mulut sesaat sebelum kemudian menutupnya rapat.
"Iya Papa. Maafin Reano." Ujar bocah 10 tahun itu dengan gurat sedih yang ketara. Terlebih saat mendapati senyum kecut wanita dewasa dihadapannya.
"Papa maafin."
Pria itu segera berlalu pergi membawa sang putra dari hadapan wanita yang tak pernah ia harapkan kehadirannya di rumah ini.
Bukankah sudah ia katakana jika cintanya telah mati? Kehadiran wanita itu jelas tidak akan mengubah apapun dalam dirinya. Termasuk hati yang sudah mati rasa.
***
YUP!!! INI CERITA ANAKNYA BAPAK SENA & IBU SERA YA GUYS 🤭
Nggak kerasa ya mereka udah gede🤩
Kayaknya tahun kemarin aku sempet publish cerita ini tapi di unpub lagi soalnya mau ngelarin cerita yang lain dulu kan. Nah, berhubung semua udah kelar (tinggal Jejak Lara) aku juga ngetik ini kalo ada waktu senggang tapi 🤭
Sebenarnya aku mau ngetik cerita Bunda Asha, tapi belum mateng idenya padahal udah bikin cover 🤣 Karena Aruna yang lebih mateng dan mantap, aku cicil ngetik ini.
Busetttt ya, Bang Devan aja gagal aku bikinin cerita. Ini malah keponakannya yang digaskeun duluan.. wkwk
Btw, ada yang bisa nebak alur cerita ini??? Hayo, hayo, hayo..
Jangan lupa vote & komen guys 🤗
Di Karya Karsa juga udah aku publish ya 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNA
ChickLitMereka bertahan bukan karena rasa, melainkan paksa. Masa muda yang seharusnya menjadi perjalanan menyenangkan, justru berjalan dengan penuh kerumitan. Di usianya yang belum genap 18 tahun, Arkana Narenda Akbar tiba-tiba saja menjadi seorang ayah dar...