SEBUAH PENGAKUAN

13 3 0
                                    

Malam semakin beranjak, suara ringkikan hutan belantara sudah mulai bersahutan dengan aktifitas manusia yang sedang bermalam di ketinggian Gunung Ciremai. Beberapa kelompok kecil mengitari api unggun yang sangat bersahabat dengan suasana malam yang menusuk. Aroma daging panggang serta irama petikan gitar dan celoteh para pendaki Gunung Ciremai seakan memberikan kesan bahwa hutan itu bersahabat, kesan seram hilang dengan kehangatan suasana kali ini.

Yuda, Agus dan Nadia duduk di depan api unggun sambil menikmati kacang rebus dan teh hangat yang telah mereka siapkan dari rumah. Mereka menikmati suasana malam itu dengan bercengkrama tanpa pegangan tema obrolan. Sementara Haris yang duduk tidak jauh dari mereka seperti tidak ingin melibatkan diri dari obrolan tidak penting para sahabatnya. Dia masih menikmati ayam panggang sisa makan malam mereka. Rupanya perjalanan luar biasa yang dia lakukan tadi siang telah menguras energinya sehingga perutnya tidak mau kompromi dengan makanan.

Agus yang duduk tepat di depannya tersenyum geli melihat Haris sedang menghabiskan sisa-sisa daging yang masih menempel di tulang daging ayam.

"Lahap benar makannya, Bos," seloroh Agus pada Haris.

Haris tidak mempedulikan ucapan Agus, dia terus menikmati makanan yang ada di hadapannya.

"Makan yang banyak, karena kita akan ke puncak pukul 4 dini hari." Ucapan Yuda membuat Haris menghentikan makannya. Dia menoleh pada Yuda dengan pandangan tidak senang.

"Acara naiknya belum selesai?" Mata Haris melotot melakukan protes dengan rencana Yuda.

"Kita sudah sampai sini, masa tidak mau menuntaskannya sampai puncak," kata Yuda berusaha meyakinkan Haris.

Haris mengembuskan napas berat tanpa berkeinginan untuk melakukan protes secara langsung. Dia yakin protesnya tidak akan di dengar. Para sahabatnya lebih mendukung rencana Yuda daripada kondisi dirinya yang sangat payah untuk melanjutkan pendakian. Kepalanya yang terluka seakan menjadi saksi bahwa dia jerih dengan kegiatan pendakian ini.

Nadia yang memahami suasana hati Haris tersenyum geli melihat sikap Haris. Dia mendekati Haris sambil mengeluarkan sebuah makanan kecil.

"Benar kata Yuda, kamu harus banyak makan agar kuat dalam pendakian pamungkas kita kali ini." Haris menoleh pada makanan yang di sodorkan oleh Nadia. Sebuah makanan ringan namun bisa menambah asupan energi.

"Baiklah, aku menurut saja daripada mubajir."

Mendengar pernyataan Nadia dan jawaban Haris, Agus langsung bereaksi.

"Wah, kamu salah, Nad. Bukannya menambah energi malah akan menambah berat badannya, nanti ketika mendaki bukannya kuat malah akan menambah susah saja," seloroh Agus yang dijawab tawa geli Yuda dan Nadia.

"Sialan!" umpat Haris sambil tangannya mengambil biskuit pemberian Nadia dan memasukkannya ke mulut. Untuk urusan makan, Haris memang jagonya. Perutnya kuat menampung banyak makanan. Makanya tubuhnya yang pendek terlihat bulat.

Setelah puas tertawa, Agus sudah tidak berkeinginan menggoda Haris lagi. Tapi pandangannya berkeliling kesetiap sudut perkemahan seperti mencari sesuatu.

"Meysa dan Aida kemana? Dari tadi aku tidak melihatnya." Yuda melakukan hal yang sama. Dia mencari keberadaan Meysa dan Aida yang tidak terlihat diantaranya.

"Dia tadi mengobrol dengan salah satu pendaki di sana," tunjuk Haris sambil mengunyah makanan.

Agus dan Yuda menoleh kearah yang ditunjukan oleh Haris. Mereka berpikir mungkin ada teman lama Aida atau Meisya yang mereka temui di sini.

"Main, yuk!" ajak Nadia tiba-tiba.

"Main apa?" tanya Agus.

"Ini," jawab Nadia sambil memperlihatkan sebuah botol minuman 5 ml kehadapan teman-temannya.

Antara Kita, Kau dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang